Suara teriakan terdengar nyaring sesaat sepeda motor matic yang ku kendarai berhenti di teras rumah. Meski tak pasti apa yang diteriakan, suara itu jelas menggambarkan kerinduan.
Segera Emil, anak pertamaku, membuka pintu rumah dengan tangan mungilnya. Tentu dibantu oleh mbah utinya. Senyum bayi yang sudah menginjak 16 bulan itu merekah. Gigi-gigi kecilnya mungil dan putih terlihat jelas.
Ekspresi-ekspresi lucunya seolah digunakan untuk menyambutku. "Tatatatata. Yahyahyah" itu suara yang kerap keluar dari mulut mungilnya. Entah makna apa yang terkandung dalam deretan kalimat itu. Aku hanya sanggup mengartikan, "Emil senang ayah pulang".
Aku pun langsung menyahut tubuh mungilnya sambil bilang beragam kata, yang mungkin Emil juga tidak paham artinya. Bagiku itu ga penting, yang terpenting aku bisa menggendong bayi lucuku itu.
Momen-momen seperti itu sangat menyenangkan. Segala rasa capek dan rindu rontok seketika. Karena sebagai ayah perantau atau LDR, momen bertemu anak tidak dapat dilakukan setiap hari.Â
Aku biasanya menjadwalkan kepulangan dua pekan sekali. Itu menghitung dengan jauhnya lokasi kerja sampai ke rumah. Kalau ditempuh saban hari atau sepekan sekali, tentu bisa tekor waktu dan uang gaji habis untuk transport.
Emil pun tertawa-tawa, entah apa yang membuatnya tertawa. Ia kemudian turun dan berjalan dengan sempoyongan menunjukkan beberapa mainannya. Ia mau memperlihatkan kemampuan berjalannya jauh lebih baik dibandingkan dua pekan sebelumnya.
Sumpah, itu kejutan paling menyenangkan. Sebenarnya istri telah menceritakan perkembangan-perkembangan si kecil melalui video call maupun komunikasi handphone. Tetapi, melihat tingkah lucunya secara langsung itu jauh lebih menyenangkan.
Teknologi memang bisa memberi tahu apapun yang terjadi di lokasi lain. Tapi, gambar yang terpampang dalam layar nihil rasa. Lebih terkesan dan bermakna saat kita melihat secara langsung.
"Emil, maafkan Ayahmu yang belum bisa memberikan sepenuh waktunya untukmu. Tapi yakinlah kasih sayangnya untukmu tidak akan terpisah oleh jarak dan waktu."
Daya responnya terhadap suatu hal atau perkataan juga semakin jeli. Beberapa perintah yang ku ucap pun dengan cepat direspon. Bukan hanya anggukan atau gelengan, bahkan Emil sudah bisa menjawab dengan tindakan nyata. Meski tidak semua perintah mendapatakan reaksi nyata.
Sangat berat meninggalkan buah hati bersama sang ibunda di kampung. Tentu, ada sebagian hak-haknya sebagai anak belum bisa ku penuhi setiap hari. Tetapi, berbagai pertimbangan menjadikan LDR ini sebagai jalan sementara untuk menata hidup ke depan.
Aku sadar betul periode emas bayi terjadi pada 1000 hari pertama kelahirannya. Masa itu dimulai sejak 270 hari di kandungan hingga dua tahun pertama setelah bayi dilahirkan.Â
Pada masa emas ini perkembangan otak bayi akan berkembang sangat pesat. Untuk itu pengawasan dan pengarahan sangat penting.
Karena masuk dalam masa emas ini, Emil saat ini terlihat lebih mudah menirukan sesuatu. Beruntung, istriku sigap untuk mendidik Emil dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
Emil, Aku Menyebutnya Iron Boy
Kalau ada sebagian bayi yang ku temui biasanya sulit diajak bepergian menggunakan transportasi umum. Itu ditunjukkan dengan si bayi rewel selama perjalanan dan biasanya sakit seusai bepergian. Justru Emil terlihat sangat senang dan menikmati setiap perjalanan. Terutama saat menumpang kereta api.
Selama mengajak bepergian dengan kendaraan umum, Emil jarang sekali merengek atau muntah. Biasanya ia menghabiskan waktu sepanjang perjalanan untuk tidur di pelukan ibunya.
Dalam usianya yang belum genal satu setengah tahun itu, Emil sudah nglayap ke berbagai tempat yang jaraknya sampai ratusan kilo meter. Karena lokasi dinas saya di Madiun, Jawa Timur, Emil pun sudah berkali-kali pulang pergi naik kereta dari Kebumen menuju Madiun.
Emil juga sudah dua kali perjalanan menuju Jakarta dengan kereta. Ke rumah neneknya di Demak, Jawa Tengah, Emil sudah pernah mencicipi naik kereta maupun bus dengan rentang waktu perjalanan hampir 8 jam. Huft... capeknya! Tapi toh si bayi itu tidak menunjukkan rasa menyesalnya. Hahaha
Beberapa waktu lalu, Emil juga ajak ke Purwokerto untuk bersilaturrahmi di rumah budhenya dan bertemu dengan kakak-kakaknya. Kala itu kami naik bus, karena kehabisan tiket kereta. (maksudnya kehabisan tiket kereta yang murah, wkwkwk)
Aku jadi teringat, mungkin Emil bisa bertahan saat diajak melancong itu karena sedari dalam kandungan sudah diajak jalan-jalan oleh ibunya. Saat mengandung Emil, ibunya sedang menyelesaikan study magisternya di Yogyakarta. Sedangkan kami tinggal bersama di Madiun.
Ketika ada jadwal kuliah maupun bimbingan tesis di kampus Jogja. Ibunya biasanya menggunakan transportasi umum, baik bus maupun kereta api. Bus jurusan Jogja-Madiun-Surabaya itu terkenal horor dan ugal-ugalan, sebut saja ada Sugeng Rahayu, Mira, dan Sumber Selamet.Â
Saat naik bus itu, kamu akan tahu rasanya "terbang" dalam waktu sepersekian detik. Ya, itu karena sangat kencangnya laju bus. Dalam spot-spot tertentu, bus-bus itu akan balapan dan adu kecepatan yang sangat memacu adrenalin.
Ya mungkin dari pengalaman-pengalaman di dalam kandungan itu, Emil tumbuh jadi bayi yang kuat dan tahan terhadap goncangan kendaraan. Hahaha.
Menurut para ahli 'kan memang bayi dalam kandungan sudah bisa belajar dan merespon apa yang terjadi di luar, terutama yang dirasakan oleh ibunya.Â
Bahkan beberapa ahli menyarankan kepada orang tua untuk selalu mengajak komunikasi bayi dalam kandungan. Ini supaya si jabang bayi nantinya setelah dilahirkan memiliki kecerdasan lebih tinggi  pada saat usia sekolah.
Sebagai orang tua tentu harapan dan doa untuk anak setiap hari dirapalkan. Supaya nantinya bisa menjadi anak yang berbakti dan berguna bagi sesama.
Emil, maafkan Ayahmu yang belum bisa memberikan sepenuh waktunya untukmu. Tapi yakinlah kasih sayangnya untukmu tidak akan terpisah oleh jarak dan waktu.
Selamat tidur anakku, Emil Narendra Athaillah, si Iron Boy. *()*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H