Kabar gembira bagi umat Katolik warga Tionghoa yang tinggal di wilayah Keuskupan Agung Pontianak. Uskup Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus memberikan dispensasi kepada mereka untuk tidak melaksanakan pantang pada hari Jumat, 16 Februari 2018.
Agar kita ketahui, 40 hari sebelum hari Raya Paskah, mengikuti dan menghayati apa yang dilakukan Tuhan Yesus, maka umat Katolik yang berusia 17 tahun keatas wajib melaksanakan Pantang dan Puasa pada hari Rabu Abu dan setiap hari Jumat. Nah, perayaan Tahun Baru Imlek 2556 tahun 2018 bertepatan dengan hari Jumat, hari umat Katolik melaksanakan Pantang. Nah, agar umat Katolik yang beretnis Tionghoa tetap bisa merayakan Tahun Baru Imlek, maka Uskup memberikan dispensasi.
Mengapa dispensasi tersebut dibeirkan? Berikut saya kutipkan dari pernyataan resmi Keuskupan Agung Pontianak yang dimuat dalam situs majalah Duta (http://majalahdutapontianak.blogspot.co.id).
Kebijakan Pastoral KAP ini dibuat untuk menanggapi berbagai pertanyaan tentang Tahun Baru Imlek yang tahun ini jatuh pada hari Jumat Pantang dalam masa Prapaskah tahun 2018.
Â
Orang Katolik Boleh Merayakan Imlek:
Kata "Imlek" berasal dari dialek bahasa Hokkian yang berasal dari kata Yin Li, yang berarti "Penanggalan bulan" atau lunar calendar. Perayaan "Imlek" sebenarnya adalah perayaan menyambut musim semi yang disebut dengan Chun Jie.
Permasalahan Misa Imlek harus dilihat dalam kerangka hubungan antara iman dan budaya. Iman selalu, membutuhkan budaya, baik dalam penghayatan maupun dalam pewartaan. Iman tak pernah melayang di udara tanpa bungkus budaya (GS 53). Iman kristiani tidak terikat pada satu budaya tertentu, tetapi bisa diungkapkan dalam sebuah budaya. Dalam arti itulah, iman kristiani bersifat Katolik (Yun: catholicos berarti umum). Agar penghayatan iman bisa sungguh mendalam dan pewartaan iman dapat sungguh menarik dan dimengerti, maka iman perlu dibungkus dengan budaya yang sesuai (GS 58). (bdk. Romo Dr. Petrus Maria Handoko, CM. 2014. Bolehkah Merayakan Misa Imlek. Jakarta: Hidup.(25 Januari 2014).
Dasar teologis hubungan antara iman dan budaya yang sedemikian itu ialah peristiwa Inkarnasi Sang Sabda. Sang Sabda menjadi manusia dalam budaya Yahudi dan mengungkapkan penghayatan iman-Nya melalui bungkus budaya Yahudi. Inilah ajaran resmi Megisterium Gereja. Pasti setiap Uskup Katolik mengikuti ajaran ini. (bdk. Romo Dr. Petrus Maria Handoko, CM. 2014. Bolehkah Merayakan Misa Imlek. Jakarta: Hidup.(26 Januari 2014).
Secara kongkret, penggunaan warna liturgi merah, hio, pai-pai, membagi buah, membagi angpau, barongsai, dan yang lain haruslah selalu pemaknaan kembali secara Katolik. Penggunaan ungkapan budaya ini juga harus menjaga kesakralan liturgi yang ada. Lebih tepat jika barongsai tidak dilakukan didalam liturgi dan tidak didalam gereja. Pemberkatan buah jeruk dan angpau bisa dilakukan setelah komuni dan kemudian dibagikan sesudah Misa.(bdk. Rm. Samuel Pangestu, Pr. 2018. Kebijakan Pastoral KAJ: Perayaan Tahun Baru Imlek Pada Hari Jumat Pantang Masa Prapaskah, Tanggal 16 Februari 2018).