Mohon tunggu...
A. Jalal Ramdani
A. Jalal Ramdani Mohon Tunggu... -

Saya ingin kembali ke jaman dulu saja lah...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mentari

16 Oktober 2011   06:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:54 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebut saja namanya Mentari. Seorang perempuan yang lahir 20 Maret di kota Madiun 20 tahun lalu. Dia adik kelas saya 2 tahun dibawah saya di sekolah yang sama waktu SMK. Namun kita berkenalan setelah 1 tahun saya lulus dari sekolah tersebut. Statusnya, saya sudah bekerja dan dia masih sebagai pelajar yang duduk di bangku kelas 3.

Lugas saja, saya akan bercerita apa adanya. Sebelumnya, kalau diantara para sahabat semua mungkin ada yang bilang kurang pas jika tulisan saya ini diposting di Kompasiana dengan alasan apapun. Mungkin ada yang bilang tulisan ini adalah "Curcol",Curhat Colongan (padahal saya kan enggak nyolong) hehee...

Begini, saya berkenalan dengan Mentari lewat jejaring sosial Facebook. Meski saya dan Mentari satu almamater bersekolah di sekolah yang sama, hanya saja kita beda angkatan jadi wajar jika kita berkenalan justru setelah saya lepas dari sekolah. Berawal dari pertemanan di dunia maya hingga berlanjut ke dunia nyata sebagai teman curhat. Jumpa pertama saya dengan Mentari berjalan lancar begitu saja tak ada yang mengganjal ataupun perasaan yang bagaimana. Waktu itu dia ingin mendaftar kuliah di salah satu kampus di Surabaya, kebetulan saya juga sedang libur kerja dan pulang ke Madiun. Karena tempat kerja saya juga dekat dengan daerah Surabaya, Mentari ingin ke Surabaya bareng dengan saya dan saya menyanggupi permintaannya. Hingga kita bertemu, dan tak butuh waktu lama untuk sekedar basa-basi bertanya kita langsung meluncur ke kota tujuan, Surabaya. Sempat berhenti sekali diperjalanan untuk istirahat sekalian sholat dan isi bensin. Dan Alhamdulillah kendaraan saya yang hanya mempunyai 2 roda ini mampu mengantarkan kita dengan selamat sampai di kota tujuan. Namun sayang, saya tidak bisa mengantarkan ke kampus yang dia tuju karena saya tidak tahu tempatnya.hehee... Sungguh tidak tega saya melihat Mentari pergi sendiri mencari tempatnya.Hingga hari-hari berlalu ternyata semuanya baik-baik saja,meski Mentari tak jadi kuliah di Surabaya karena apa ya, saya lupa. Tapi itu sebuah kesyukuran melihat Mentari dalam keadaan baik, tetap semangat, terus tersenyum dengan cerahnya. Sekarang Mentari kuliah di kota Malang.

Hingga dari waktu ke waktu berjalan kita terus berteman dekat, saking dekatnya Mentari sudah seperti adik saya sendiri. Semua cerita-cerita yang dia ceritakan pada saya membuat keseharian saya menjadi berwarna. Semua keluhan yang dia keluhkan pada saya membuat saya merasa bermakna. Sungguh indah dan damai rasanya jika diri ini mampu meneduhkan hati seseorang yang dalam keadaan resah, gundah dan bimbang. Bukan hanya kepada Mentari, tapi juga kesemua sahabat-sahabat saya.

Permasalahan datang,

Ketika pepatah jawa yang mengatakan "tresno jalaran soko kulino" (cinta ada karena terbiasa) itu benar terjadi pada saya. Perasaan yang berada diluar kendali saya. Lama memendam, ternyata tercium juga bangkainya. Mentari sadar bahwa saya menyimpan rasa, rasa yang manusiawi. Saya kokoh pada pendirian saya untuk tetap mencintai dia dalam diam. Bukan karena takut cinta ditolak, tapi Mentari sudah ada kekasih yang menemani. Sebagai pria tangguh dan tau etika, saya tak mau menjadi benalu. Antara iya dan tidak tahu, tentang perasaan yang juga dia rasa pada saya. Jika seperti ini saya jadi teringat dengan lirik lagu yang dinyanyikan oleh Too Phat ft Siti Nur Haliza...

"Bukan rupa parasmu yang jadi ukuran

Atau suaramu yang jadi bahan tuturan

Ku bukan mahu hubungan tapi kejujuran

Hadiah sepatah darimu satu kesyukuran

Tapi bila bertentang mata tidak  terbentang kata

Kata apa sahaja...iya tapi tentang apa

Wajahmu yang cantik manis lagi

Senyuman sepasti mentari timur tiap pagi"
Sungguh saya takut jika tali persahabatan ini putus hanya karena perasaan yang tak berujung. Sekuat-kuatnya saya, ternyata kerapuhan saya yang terus mendikte. Dan kerapuhan itu mengajarkan saya untuk melakukan kesalahan. Memang bukan keharusan, tapi sebuah kesalahan mengajarkan saya tentang pembelajaran yang sesungguhnya.

Untuk Mentariku...

Tersenyumlah, sungguh senyummu itu mampu menghangatkan orang-orang disekitarmu, juga aku. Semangati dirimu, ayah-ibumu, saudara-saudaramu, orang-orang disekitarmu,dan juga aku. Rianglah kembali, sebagaimana cerahnya mentari menyingsing pagi. Kejar cinta, raih cita, wujudkan mimpi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun