Mohon tunggu...
Ki Ageng Joloindro
Ki Ageng Joloindro Mohon Tunggu... -

dari Pekalongan untuk Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Dari Ciseel untuk Indonesia

27 Juli 2011   13:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:19 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kamis, 13 Mei 2011, bertolak dari Bandung pukul 11.00, saya menggunakan Bus MGI jurusan Bogor. Suasana bus cukup nyaman, FULL AC dan tidak terlalu penuh, lumayan bisa buat tidur ataupun baca buku selama perjalanan. Namun, beberapa saat setelah bus keluar dari terminal Leuwi Panjang dan mulai melaju menuju pintu tol terdekat, apa yang saya dengar dari seorang penumpang tepat di belakang, benar-benar membuat tidak nyaman untuk tidur ataupun membaca buku. Selama setengah perjalanan, telinga saya “panas” oleh obrolan ala sinetron cinta remaja menye-menye bin lebay. Si cowok sedang bertelepon ria bersama kekasihnya yang ditinggalkan mendadak tanpa pamitan di Bandung karena si cowok mendadak dipindahtugaskan ke Bogor. Dengan suara yang keras sehingga dapat didengar oleh semua penumpang bus, dan dalam bahasa Indonesia logat orang luar pulau, si cowok menaburkan kata ‘maaf’, ‘sayang’, ‘cinta’, ‘setia’ dan tentu saja ‘cup cup muah muah’ selama setengah perjalanan.

Perjalanan ke Bogor, terakhir kali saya lakukan beberapa tahun lalu sebelum ada tol Cipularang. Pada waktu itu, entah berapa jam perjalanan yang harus ditempuh melewati jalur Puncak. Kini, setelah adanya tol Cipularang, perjalan Bandung – Bogor bisa ditempuh hanya dalam 4 jam, sehingga pada pukul 15.00 bus sudah merapat di terminal Baranangsiang.

Masjid Raya Bogor menjadi tujuan pertama setelah turun dari bus. Selain untuk mengerjakan salat Zuhur dan Asar, juga untuk beristirahat sejenak sambil memikirkan langkah berikutnya. Sesuai petunjuk dari Kang Ubai, berikutnya adalah naik bus kecil merk “Rudi” atau “Asli Prima” jurusan Rangkas, tetapi sewaktu turun dari bus MGI sambil melangkah keluar dari terminal, tidak ada satu pun dari kedua merk bus tersebut yang terlihat. Seusai salat, kembali saya menuju ke terminal dan stand by di depan pos polisi Baranangsiang, tempat bus-bus keluar dari terminal. Barangkali, tak berapa lama, salah satu bus tersebut akan muncul.

Setengah jam lebih, ternyata bus yang ditunggu-tunggu tidak muncul. Yang berseliweran malahan bus-bus besar jurusan Lebakbulus, Kalideres, dan entah mana lagi. Saya mulai berpikir jangan-jangan sudah terlalu sore dan bus ke Rangkas sudah tidak ada. Atau jangan-jangan, saya salah tempat menunggu. Tepat setelah pikiran itu terbetik, tiba-tiba ada satu bus bermerk “Asli Prima”  perlahan merayap keluar di antara bus-bus jurusan ke Jakarta. Bergegas saya mendekat dan mengadang. Eh, ternyata, bus tersebut sudah tidak narik penumpang, alias mau pulang. Kekhawatiran saya kian menjadi.

Satu jam lebih telah berlalu. Hari semakin sore. Saya memutuskan bahwa saya telah salah posisi mengadang bus. Untuk mencari informasi, saya gunakan trik lama yang biasa saya gunakan untuk bertanya arah. Saya dekati salah seorang pedagang asongan keliling dan membeli gorengan jualannya, beruntung masih cukup panas. Sambil menyodorkan uang dan menunggu kembalian, saya langsung bertanya dengan bahasa Sunda tentang keberadaan bus ke Rangkas. Si pedagang menjawab dengan tepat pada waktunya, ia menunjuk ke arah belakang terminal, tempat bus Rudi terakhir sedang mangkal. Pantas saja dari tadi tidak kelihatan yang lewat, lha wong lewatnya tidak di situ.

Bergegas saya mengikuti arah yang ditunjuk oleh si pedagang. Ternyata benar, masih ada satu bus Rudi terakhir yang sedang menunggu penumpang. Tak berapa lama, setelah bus penuh sesak oleh penumpang, Rudi terakhir pun mulai melaju keluar terminal dan membelah kota Bogor.

Pada awalnya, saya mengira, perjalanan akan ditempuh setidaknya dalam satu jam, kurang lebih. Saya sudah berpesan kepada kondektur untuk diturunkan di pertigaan Cipanas, sesuai petunjuk Kang Ubai lewat sms. Ternyata, dari kondisi bus yang penuh sesak sampai tinggal segelintir penumpang, dan jalan yang dilalui semakin masuk ke pedalaman, belum ada tanda-tanda saya akan sampai di tujuan. Karena penumpang sudah hampir kosong, dan tampaknya kondektur lumayan lelah, ia pun tidur di salah satu bangku. Waduh, kok kondekturnya malah tidur, pikir saya panik, sementara bus semakin melaju membelah kegelapan. Malam semakin dingin. Sewaktu saya melihat kondektur sedikit terjaga karena lonjakan bus, saya bergegas mengingatkan kalau saya minta diturunkan di pertigaan Cipanas. Ia mengangguk dan mengatakan kalau Cipanas sebentar lagi, dan kembali tidur. Walah, kok tidur lagi dia, pikir saya kembali khawatir.

Bus yang melonjak-lonjak melewati jalanan berlubang membuat kondektur beberapa kali terjaga. Sewaktu terjaga ia bergegas berdiri dan mengamati jalanan di depan dan kiri kanan untuk menandai posisi. Setelah ia yakin mengenali posisi, ia pun kembali duduk dan tidur. Saya mengamati tingkah laku kondektur dengan harap-harap cemas. Jam hampir menunjuk pukul sembilan malam. Baru setelah si kondektur bangun untuk ketiga kalinya dan menandai posisi, ia menyuruh saya untuk bersiap-siap turun.

Turun tepat di depan rumah makan simpang tiga Cipanas, saya langsung masuk ke dalam rumah makan, sambil menunggu Kang Ubai. Di rumah makan tersebut, tersedia juga penginapan sederhana, terdiri dari beberapa kamar. Tarif satu malamnya Rp. 50.000,-.

Kang Ubai datang bersama istrinya tidak lama setelah itu. Karena perjalanan ke Ciseel tidak bisa dilakukan pada malam hari, terlalu berbahaya, maka akan dilanjutkan keesokan harinya. Mengisi waktu, Kang Ubai mengajak silaturahmi ke salah sebuah perpustakaan kecil di dekat penginapan, yang kabarnya binaan Rumah Dunia.

Keesokan paginya perjalanan dilanjutkan dari Pasar Cipanas, tujuan: Pasar Ciminyak, angkutan: mobil carry, kondisi: seadanya, ongkos: Rp. 10.000,-, jarak tempuh: +  1 jam, kondisi jalan: aspal berlubang-lubang.

Spanduk “Sastra Multatuli” terbentang di persimpangan Pasar Ciminyak, seolah menyambut setiap pendatang. Untuk sampai ke Ciseel, tempat Rumah Baca Multatuli berada, perjalanan berikutnya hanya bisa ditempuh dengan menggunakan ojek. Menit pertama, ojek meluncur dengan mulus di atas jalanan aspal, berikutnya, harus mlipir-mlipir di sisi jalan yang sedang diaspal hotmix, berikutnya, mulai masuk ke jalan setapak kecil dari susunan batu-batu besar, berikutnya, naik turun belok kiri belok kanan, mlipir-mlipir di lereng jurang, dengan jalan tidak lebih lebar dari satu meter setengah. Dalam hati, tak henti-hentinya saya berucap bismillah.

Pengalaman ini mengingatkan saya pada perjalanan ojek menuju ke Rumah Baca Istana Rumbia di Wonosobo. Jalan setapak berbatu, kanan kiri jurang, naik turun tanjakan terjal. Namun, kali ini lebih ekstrem. Dalam benak saya penasaran, siapa kira-kira orang yang pertama kali mbabat jalur mlipir-mlipir lereng dan jurang, dan siapa orangnya yang pertama kali mbabat alas untuk membangun tempat tinggal di tengah-tengah hutan. Butuh lebih daripada doa agar selamat melewati jalur “teror” tersebut. Sampai-sampai ketika tiba di depan Rumah Baca Multatuli dan turun dari ojek, tangan saya masih gemetar. Ongkos ojek Rp. 50.000 rasanya pantas untuk perjalanan mengerikan dan berisiko tersebut.

Rumah Baca Multatuli bertempat di salah satu rumah warga di Ciseel, desa yang belum teraliri listrik. Di atas rumah-rumah warga, terdapat panel-panel surya untuk pembangkit listrik. Itu pun hanya bertahan selama beberapa jam saja untuk menerangi malam. Sungguh salut atas perjuangan Kang Ubai menemukan Ciseel dan mendirikan Rumah Baca Multatuli tersebut serta mengadakan Reading Group Max Havelaar secara rutin. Selain belum teraliri listrik, di Ciseel juga tidak ada sinyal telepon seluler, blank spot. Benar-benar bisa menjadi tempat untuk bertapa dan menyepi.

Rombongan dari Semarang: Kang Sigit, Esther, Thomas, Leni, dan Mbah Jamali; dan dari Jakarta: Husni dan Ita Siregar sudah tiba seusai salat Jumat. Tentu saja, dengan wajah pucat campur lega, setelah melewati jalur teror. Setelah persiapan dan istirahat seperlunya, pembukaan acara Sastra Multatuli pun dimulai di atas panggung yang didirikan di dasar turunan, diikuti dengan pertunjukan sulap oleh pesulap yang khusus datang dari Swiss, menampilkan serangkaian trik sulap beserta pernak-pernik sulapnya. Pada saat itulah, Daurie mendadak muncul di atas motornya, dari arah yang berlawanan dari jalur ojek. Beruntung dia tidak melewati jalur yang dilewati  oleh teman-teman.

Berikutnya adalah acara teater anak, menampilkan Drama Saijah Adinda. Para penonton digiring ke halaman sekolah, tak jauh dari Rumah Baca Multatuli. Di tanah lapang di samping sekolah, telah ditancapkan sebatang pohon, sebagai satu-satunya dekorasi panggung terbuka. Satu per satu adegan drama dimainkan oleh anak-anak Ciseel. Satu per satu pemain keluar masuk panggung terbuka, harimau jadi-jadian, tentara Belanda, tetapi kerbau yang ikut adegan adalah kerbau betulan. Dua ekor kerbau dimasukkan dalam adegan penyerangan kerbau Saijah oleh seekor harimau. Namun, bukan kerbaunya yang takut pada harimau, pemain harimaunya yang malah takut kepada kerbau.

Acara malam hari adalah hiburan warga. Ada cerita tentang kerbau bertanduk cahaya. Ada Gegendeh dan ngagondang, permainan musik yang berbasis pukulan lesung. Gegendeh dimainkan oleh enam perempuan, secara berbarengan memukul lesung menampilkan suara yang ritmis. Sedangkan ngagondang dimainkan oleh enam perempuan tadi bersama pasangan lelakinya, masing-masing kelompok saling melontarkan kalimat pertanyaan yang dilagukan. Ada juga pembacaan puisi multibahasa. Salah satu bait yang saya ingat: Hirup katungkul ku pati, ajal teu nyaho di mangsa.

Acara pagi harinya adalah Yoga di pinggir kali. Untuk mencari pinggiran yang cukup datar dan luas, terlebih dulu harus menyusuri jalan setapak di pinggiran sungai yang mengalir di sela-sela bebatuan besar. Anak-anak sudah bersiap dengan membelitkan handuk dileher mereka ataupun menyampirkannya sebagai kerudung. Beberapa kawan luar kota mengambil posisi di atas batu-batu besar, dan mulai melakukan gerakan-gerakan yoga sebisanya, seolah-olah para pendekar yang sedang dalam penempaan oleh seorang suhu dari padepokan Swiss.

Beranjak siang, sesuai yang telah direncanakan, selanjutnya adalah napak tilas jejak Multatuli di Rangkasbitung. Setelah berkumpul, para peserta berjalan kaki menuju kampung Cangkeuteuk untuk naik truk bak terbuka, mengingat, akses jalan yang bisa dimasuki truk hanya sampai kampung Cangkeuteuk yang berjarak kurang lebih 3 km dari Ciseel. Melewati jalur Cangkeuteuk-Ciseel dengan ojek ataupun jalan kaki, sama-sama melelahkan. Keringat deras bercucuran. Naik turun jalan setapak. Mlipir-mlipir jurang. Jalan berbatu besar. Kadang licin bekas embun dan hujan.

Sesampainya di Cangkeuteuk, berembus kabar ternyata truk yang akan digunakan tidak boleh memasuki Cangkeuteuk, karena satu-satunya akses jalan baru saja diaspal baru dan belum boleh dilewati. Alhasil, kami harus jalan kaki lebih jauh lagi. Bersama saya, Ervin dari VHRmedia, tak jauh di belakang, Kang Sigit dan Mbah Jamali. Saking enaknya mengobrol, kami tidak tahu kalau jalan yang diambil setelah sampai di jalan beraspal adalah jalan yang salah. Seharusnya kami berbelok ke kiri, tetapi kami malah berbelok ke kanan. Setelah beberapa waktu menunggu dalam ketersesatan akhirnya dua orang ojek pun menjemput dan mengantarkan ke jalan dekat Pasar Ciminyak, yang nantinya akan dilewati oleh truk bak terbuka yang mengangkut anak-anak.

Tak berapa lama, truk tiba. Kami bergegas naik, umpel-umpelan bersama puluhan anak-anak. Di atas truk ternyata sudah ada Kurnia Effendi yang baru tiba bersama Endah Sulwesi langsung dari Jakarta. Perjalanan kembali dilanjutkan menuju ke kota Rangkas, hamparan perkebunan sawit sesekali mengiringi  si sisi kanan kiri jalan. Di satu titik, truk dihentikan oleh patroli kepolisian. Setelah melewati sedikit obrolan, negosiasi dan diplomasi, truk pun akhirnya diperbolehkan untuk kembali melanjutkan perjalanan.

Pemberhentian pertama adalah Pendopo Kabupaten Lebak. Aula Multatuli seolah berucap salam, mempersilakan para rombongan untuk berkeliling. Di belakang pendopo, terdapat sebuah bangunan tua, bekas kantor Bupati Lebak. Di dinding sebelah kiri, terpajang nama-nama yang pernah menjabat sebagai Bupati Lebak, termasuk Adipati Kartanata Nagara, yang diceritakan dalam novel Max Havelaar.

Napak tilas berlanjut dengan mengunjungi Rumah Sakit Umum Daerah Adjidarmo. Di belakang rumah sakit, terdapat sebuah rumah terbengkalai yang kabarnya adalah bekas rumah yang dihuni oleh Multatuli semasa di Lebak. Sisa peninggalan rumah asli yang masih ada hanya berupa satu sisi tembok sebelah luar yang di atasnya ditumbuhi tumbuhan kersem—entah bagaimana tumbuhan itu bisa tumbuh di atas sana—sementara selebihnya adalah sisa-sisa bangunan yang lebih modern. Keseluruhan rumah itu pun benar-benar terbengkalai. Tidak ada upaya untuk merestorasi ataupun untuk melestarikan peninggalan sejarah.

Keberadaan serombongan anak dan beberapa orang dewasa yang mengunjungi rumah terbengkalai di belakang rumah sakit, membuat beberapa orang pengunjung rumah sakit bertanya-tanya, ada apa sebenarnya. Seorang pria muda bertanya kepada saya perihal rumah itu, dan saya pun menjelaskan dengan semampunya dibantu oleh Daurie. Mendengar jawaban kami, pria itu tampak kaget mengetahui bahwa rumah terbengkalai itu adalah bekas rumah Multatuli.

Perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri Jalan Multatuli, singgah di SDN Multatuli, sampai ke ujung, ke Sungai Ciujung, yang pada masa Multatuli kabarnya sering digunakan untuk pembuangan mayat korban kejahatan Adipati Kartanata Nagara. Dalam perjalanan ke Sungai Ciujung, terlihat dua orang peserta sedang kesulitan membuka tutup teh botol. Saya menawarkan diri untuk membantu membukakannya. Tutup botol saya ketuk-ketukan dengan menggunakan besi pagar sebagai penahan. Ups, ternyata ujung botolnya malah ikut pecah. Ya, maaf.

Dari Sungai Ciujung, perjalanan berlanjut ke Apotik Multatuli. Kabarnya, demi mengenang dan meneladani Multatuli, pendiri apotik tersebut menamakan apotiknya dengan nama Multatuli. Di sini, pedagang buah di depan apotik benar-benar ketiban rezeki, banyak anak-anak yang memborong buah-buahan, barangkali untuk oleh-oleh di rumah, atau untuk bekal perjalanan pulang.

Tujuan terakhir adalah Perpustakaan Saijah Adinda. Kaki sudah pegal-pegal, telapak kaki sudah terasa panas. Keringat bercucuran. Perpustakaan Saijah Adinda berukuran cukup luas dengan koleksi buku cukup banyak. Sembari beristirahat melepas lelah, hujan rintik mulai turun. Seusai dari perpustakaan, menembus rintik hujan, anak-anak mulai berlarian kembali ke pendopo. Di tengah jalan, hujan mulai menderas sehingga kami harus bertedih di emperan toko, berdesak-desakan. Setelah agak reda, kembali perjalanan dilanjutkan ke pendopo yang tinggal berjarak beberapa ratus langkah.

Sayangnya, saya tidak bisa mengikuti rangkaian acara Sastra Multatuli sampai selesai. Padahal, acara besoknya saya pikir adalah acara yang paling menarik, berkunjung ke Badui Dalam. Namun karena besoknya saya harus Ujian di Bandung, maka sore itu juga saya harus segera pulang. Saya berpisah dengan rombongan setelah sebelumnya berhujan-hujanan di atas truk yang melaju dengan kecepatan cukup kencang sampai ke daerah Sajira. Badan mengigil kedinginan. Jemari sudah keriput. Tadinya, dari Sajira saya berencana membonceng Daurie yang juga akan pulang ke Bogor. Namun, karena satu dan lain hal, akhirnya tidak jadi. Saya menumpang bus yang menuju ke Bogor, dan Daurie melaju dengan motornya.

Bogor menyambut dengan hujan malamnya. Dalam rintik hujan yang membasah, bus jurusan Bandung bergegas saya cari dan naiki. Di benak, masih terbayang kilasan-kilasan tentang Ciseel, perjalanan yang menegangkan, pengalaman yang mengasyikkan, dan suasananya yang adem dan damai. Juga, semangat anak-anak Ciseel untuk mengaji Max Mavelaar, yang tidak akan dijumpai di tempat mana pun. Entah kapan bisa kembali mengakrabi Ciseel. Semoga ada kesempatan berikutnya, dengan pengalaman yang berbeda.[]

Link terkait: http://readingmultatuli.blogspot.com/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun