Mohon tunggu...
Ki Ageng Joloindro
Ki Ageng Joloindro Mohon Tunggu... -

dari Pekalongan untuk Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lebaran: Kebersamaan, Maaf-maafan dan Makanan

3 September 2010   17:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:28 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang selalu menarik dari lebaran bagi anak-anak? Selain baju baru, tentu saja makanan dan uang. Ya. Bagi anak kecil, lebaran sel

http://parasatria.files.wordpress.com/2008/09/suikerfeest.jpg

alu identik dengan banyak uang, karena ibu, bapak, saudara-saudara akan memberikan uang lebih banyak dari hari-hari biasanya. Dalam kacamata kepolosan kanak, lebaran juga berarti akan banyak sekali makanan dan masakan yang siap disantap, baik itu makanan di rumah sendiri, maupun makanan kiriman dari para tetangga. Semakin bertambahnya usia, rasa ketertarikan dan semangat menyambut lebaran karena ketiga hal tersebut semakin terkikis oleh segala macam pertimbangan dan pikiran rumit orang dewasa.

Ngomong-ngomong tentang makanan dan lebaran, ada beberapa tradisi di kampung halaman saya, sebuah desa di tepi Sungai Sengkarang, Pekalongan. Yakni tradisi pengumpulan dan pembagian makanan setelah sholat idul fitri, dan jajan gratis sepuasnya. Sedangkan di Pekalongan secara umum, terdapat tradisi Syawalan, yakni perayaan tujuh hari setelah lebaran. Di beberapa tempat di Pekalongan, syawalan berlangsung sangat meriah, misalnya, di Krapyak, sebuah daerah di dekat pantai Pekalongan, syawalan selalu dimeriahkan dengan pembuatan kue lepet raksasa. Kue yang terbuat dari bahan beras ketan sampai berton-ton ini bahkan telah masuk MURI. Sedangkan di daerah wisata Linggo Asri, dimeriahkan dengan arak-arakan gunungan nasi megono, makanan khas Pekalongan.

Sudah lazim dilakukan di kampung saya, bahwa seusai shalat idul fitri, kaum lelaki terutama para kepala keluarga, tidak langsung beranjak dari masjid. Setelah acara salam-salaman, mereka kembali duduk melingkar di masjid dan memulai membaca tahlil bersama. Sementara, para remajanya atau anak-anak pulang ke rumah masing-masing dan kembali lagi ke masjid dengan membawa bermacam-macam makanan. Tidak ada kewajiban tertulis atau ketentuan yang mengikat, namun setiap rumah atau keluarga akan menyerahkan makanan ke masjid.

Masing-masing rumah atau keluarga menyerahkan makanan sesuai dengan kemampuan dan kemauan. Tidak ada kesan saling berlomba untuk menyerahkan makanan yang paling banyak ataupun paling enak. Paling lazim adalah beberapa batang lontong atau ketupat lengkap dengan lauk pauknya: sambal goreng kentang, petis tempe, mie goreng, suwiran ayam srundeng. Ada juga yang menyerahkan satu nampan ketan putih dan biru yang ditaburi parutan kelapa. Ada yang menyerahkan beberapa bungkus roti, baik roti tawar atau roti bantal, maupun roti yang telah dimodifikasi menjadi beraneka macam kue. Ada juga beberapa orang yang menyerahkan kue-kue tradisional seperti kue Nagasari, kue lapis, kue poci, sebangsa goreng-gorengan, dan sebagainya. Singkat kata, beraneka macam kue dan makanan.

Makanan-makanan itu diserahkan kepada sebuah tim kecil dadakan yang bertugas untuk menerima, mengumpulkan dan membagi-bagikan makanan itu kepada orang-orang yang sedang tahlilan di masjid. Tidak pernah ada penunjukan secara birokratis ataupun hierarkis organisasional tentang siapa-siapa yang masuk ke dalam tim ini. Beberapa orang yang aktif di masjid dan di masyarakat, sudah tahu apa yang harus mereka lakukan untuk menangani makanan-makanan tersebut. Mereka mengumpulkan makanan tersebut di sebuah ruangan di dekat masjid, yang pada hari-hari biasa digunakan sebagai ruang kelas madrasah.

Mungkin inilah yang menjadi kelebihan antara masyarakat desa dan masyarakat perkotaan. Gotong royong dan kesadaran untuk saling bekerjasama melakukan sesuatu demi kepentingan bersama tidak harus dengan perintah yang sifatnya menyuruh ataupun paksaan. Masing-masing pribadi telah menyadari peran dan posisinya masing-masing dan melakukan sesuatu demi kebaikan bersama.

Karena waktu pembacaan tahlil sangat singkat, maka tim kecil ini harus bekerja ekstra cepat untuk mencampur dan membungkus makanan-makanan yang ada ke dalam kantong-kantong plastik kecil untuk dibagikan kembali. Sekali lagi, tidak ada prosedur khusus tentang hal ini, sehingga jangan kaget jika dalam sebuah kantong plastik, akan terdapat beberapa kepal ketan, bercampur dengan sambal goreng kentang atau mie goreng, satu lontong, satu ketupat dan satu lembar roti tawar. Atau bisa jadi, dalam satu kantong terdapat satu bungkus roti tawar utuh dan dua batang lontong. Kantong-kantong berisi makanan campur aduk ini segera dibagikan kepada orang-orang yang ikut tahlilan, dari orang tua sampai anak-anak kecil.

Seringkali, mereka tidak punya cukup waktu untuk membagi-bagikan makanan. Sehingga ada beberapa orang yang belum kebagian sementara acara tahlilan sudah selesai dan orang-orang yang sudah kebagian satu persatu meninggalkan masjid. Nah, orang-orang yang belum kebagian makanan ini, jika mereka cukup sabar, mereka akan menunggu. Namun seringkali, orang-orang ini tidak cukup sabar dan akhirnya menyerbu ruang kelas tempat makanan-makanan dikumpulkan, untuk membawa pulang apa saja yang bisa dibawa pulang.

Semasa kanak, saya sangat menikmati tradisi ini. Selepas sholat Ied, saya akan pulang ke rumah untuk membawa makanan yang telah dipersiapkan oleh ibu ke masjid. Setelah itu, menunggu beberapa saat di masjid sampai acara tahlil selesai. Pulang dari masjid dengan membawa bungkusan makanan, menjadi sebuah kebanggaan tersendiri waktu itu. Saya masih ingat, pernah suatu ketika di masa kanak, saya belum kebagian bungkusan makanan sementara orang-orang telah menenteng bungkusannya masing-masing. Dan saya menangis. Saya masih ingat juga, pernah suatu ketika, pada usia yang beberapa tahun lebih tua lagi, saya menyerbu ruang kelas tempat pembagian makanan tersebut karena saya belum kebagian. Oleh petugas, saya diberi satu bungkus roti bantal utuh. Akhirnya saya bisa pulang dengan bangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun