Hidup adalah pilihan dan setiap orang harus memilih untuk hidup. Salah satunya adalah memilih untuk merantau. Namun, perlu adanya persiapan yang matang sebelum berangkat merantau. Salah satunya adalah mengenali lingkungan rantau agar tidak culture shock di perantauan. Sebab, lingkungan rantau sudah pasti memiliki kebiasaan dan kebudayaan (kultur) yang berbeda dengan kota kelahiran perantau. Perbedaan tersebut menyebabkan perantau sering menghadapi culture shock atau terkaget dengan kultur di lingkungan yang baru.
Makassar merupakan Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan yang tidak jarang dijadikan tujuan merantau. Baik dari luar pulau maupun dari pulau Sulawesi itu sendiri datang merantau ke Makassar demi mencari pekerjaan atau melanjutkan pendidikan. Sebagaimana kota-kota lain, Makassar juga memiliki kultur yang sering kali membuat perantau mengalami culture shock. Oleh karena itu, berikut dipaparkan kultur di Makassar agar perantau wajib tahu!
1. Kata "Kita" Berarti "Kamu"
Ini adalah culture shock paling sering dialami oleh perantau di Makassar. Secara harfiah, kata "kita" berarti melibatkan penutur dan mitra tutur dalam suatu konteks percakapan. Kalau sederhananya, kata "kita" melibatkan saya, kamu, dan dia. Namun, warga lokal di Makassar tidak mengartikan kata "kita" seperti itu, tetapi sebagai "kamu". Di sisi lain, hal tersebut turut mengundang kebingungan bagi perantau di Makassar.
"Kita dari mana?" atau "Kita mau makan apa?". Nah, contoh penggunaan kata "kita" pada dua kalimat tanya tersebut tentu akan membuat perantau terdiam dan kebingungan. Perlu diingat kembali bahwa kata "kita" berarti "kamu" di Makassar. Oleh sebab itu, perantau bisa mengganti kata "kita" menjadi "kamu" untuk memahami tuturan warga lokal, seperti "Kita dari mana?" yang berarti "Kamu dari mana?". Mudah, 'kan.
2. Kata "Ko" dan "Nu" juga Berarti "Kamu"
Selain kata "kita", terdapat kata "ko" dan "nu" juga yang berarti "kamu". Untuk memahami perbedaannya, perantau harus mengetahui terlebih dahulu konteks penggunaan ketiga kata tersebut. Konteks penggunaan kata "kita" terkesan sopan dan umum digunakan jika berbicara dengan orang yang lebih tua dan orang yang baru ditemui. Sementara itu, kata "ko" dan "nu" terkesan santai dan umum digunakan oleh anak-anak remaja atau dengan sesama teman dekat.
Sama halnya dengan kata "kita", perantau bisa mengganti kata "ko" dan "nu" menjadi "kamu". Misalnya dalam dua contoh kalimat berikut, "Ko sudah pulang dari sekolah?" yang bisa dipahami sebagai "Kamu sudah pulang dari sekolah?" atau "Ambil yang nu mau" yang bisa dipahami pula sebagai "Ambil yang kamu mau".
3. Terdapat Partikel "Ji", "Ki", "Mi", "Pi" dan "Di"
Dalam bahasa Indonesia, terdapat partikel "per", "pun", "lah", dan sebagainya. Sementara dalam bahasa Makassar, terdapat pula partikel berupa "ji", "ki", "mi", "pi" dan "di". Nah, keempat partikel tersebut memiliki konteks penggunaan yang terkadang membuat perantau mengalami kesulitan untuk membedakannya.
Partikel "ji" digunakan untuk penekanan, seperti hanya, cuma, jika, dan saja. Partikel "ki" digunakan untuk menegaskan ukuran dan kejadian. Partikel "mi" digunakan untuk menegaskan bahwa sesuatu telah terjadi atau boleh dilakukan. Partikel "pi" digunakan untuk menegaskan syarat, waktu, dan arahan. Terakhir, partikel "di" yang kegunaannya persis seperti partikel "ya" dalam bahasa Indonesia.
4. Pahami Penggunaan Kata "Tawwa", "Kodong", dan "Tabe"
Masih mengenai bahasa, tetapi kali ini mengenai kata yang umum dituturkan oleh warga lokal di Makassar. Di antaranya adalah kata "tawwa", "kodong", dan "tabe". Kata "tawwa" digunakan untuk menunjukkan, memperlihatkan, membenarkan, dan mengapresiasi. Kemudian, kata "kodong" digunakan untuk menyampaikan rasa kasihan, merasakan rasa kasihan, dan meminta dikasihani. Sementara kata "tabe" berarti "permisi" yang dituturkan ketika melewati orang lain. Ketika menuturkan kata "tabe", orang tersebut harus membungkukkan badan dengan tangan kanan turun ke bawah sambil melirik dan tersenyum kepada orang yang dilewati.
5. Tidak Mengenal Kata "Matikan", tetapi Kata "Bunuh"
Warga lokal di Makassar gampang sekali membunuh. Namun, bukan membunuh secara harfiah, ya. Penggunaan kata "bunuh" di sini sebagai pengganti kata "matikan". Contohnya, "bunuh lampu", "bunuh televisi", atau "bunuh keran air". Oleh karena itu, perantau tidak perlu ketakutan ketika mendengar warga lokal sering menuturkan kata "bunuh".
6. Bunting Bukan Berarti Hamil, tetapi Menikah
Secara harfiah, kata "bunting" berarti hamil. Bahkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mendefinisikan kata "bunting" sebagai hamil dan berbadan dua. Namun, warga lokal di Makassar mengartikan bunting sebagai menikah. Jadi jangan heran ketika ada warga lokal yang mengadakan acara bunting, ya.
7. Kata "Tanya" Berarti "Sampaikan" atau "Bilangin"
Kata "tanya" selalu digunakan untuk mendapatkan informasi atau mengetahui sesuatu. Namun, masyarakat lokal di Makassar tampaknya memanfaatkan kata "tanya" untuk hal yang lain, yaitu meminta seseorang untuk menyampaikan suatu hal ke orang lain. Contoh kalimatnya seperti ini, "Tanyaki dulu temannu untuk ke kampus lusa" yang berarti "Tolong sampaikan ke temanmu untuk ke kampus lusa".
8. Apa Pun Jenis Makanannya, Wajib Ada Jeruk Nipisnya
Beralih ke makanan, warga lokal di Makassar punya keunikan ketika menyantap makanan, yaitu wajib ada jeruk nipisnya. Sebenarnya jeruk nipis adalah hal yang lumrah dipakai untuk makanan berkuah. Namun, warga lokal justru memakai jeruk nipis untuk segala jenis makanan, baik berkuah, tumis, maupun yang digoreng. Inilah yang menyebabkan perantau, khususnya dari pulau Jawa tampak shock ketika melihat warga lokal sedang menyantap makanan dipadu dengan perasan jeruk nipis. Apalagi yang paling umum adalah makan nasi goreng dengan perasan jeruk nipis.
9. Menyantap Pisang Goreng dengan Sambal
Selain keunikan menyantap makanan dengan perasan jeruk nipis, warga lokal di Makassar pun menyantap pisang goreng dengan sambal. Hal ini tentu membuat perantau merasa keheranan karena pisang selalu dibayangkan sebagai buah yang manis. Sekalipun digoreng, rasa manis di pisang tetap ada sehingga terkesan aneh jika dimakan dengan sambal.
Namun, menyantap pisang goreng dengan sambal tidak seaneh itu, kok. Justru rasanya lebih enak dan bikin ketagihan. Tentunya tergantung jenis pisangnya yang tidak terlalu matang dan tidak terlalu mentah.
10. Ikan Bandeng Disebut Ikan Bolu
Salah satu jenis ikan yang umum dikonsumsi oleh masyarakat adalah ikan bandeng. Di sisi lain, masyarakat lokal di Makassar menyebut ikan bandeng dengan sebutan ikan bolu. Hal ini tentu memicu kebingungan bagi perantau, sebab bolu sendiri merupakan salah satu jenis kue.
11. Pastel Adalah Jalangkote dan Nagasari Adalah Roko-Roko Unti
Beralih ke kue tradisional, masyarakat lokal di Makassar pun memiliki kue tradisional dengan nama khusus yang berbeda dengan daerah lain. Jika di pulau Jawa disebut pastel, di Makassar disebut jalangkote. Kemudian, di Makassar mengenal roko-roko unti yang dikenal sebagai nagasari di pulau Jawa.
12. Musim Kemarau di Makassar Sangat Panas
Musim kemarau memang selalu identik dengan panas. Namun, suhu panas di Makassar sungguh sangat panas. Bahkan, pernah diberitakan di berbagai media bahwa suhu panas di Makassar mencapai 37C. Oleh sebab itu, perantau yang menetap di Makassar mau tidak mau harus siap dengan matahari yang seolah-olah ada di atas kepala.
13. Angkutan Umumnya Disebut "Pete-Pete"
Sebagaimana daerah lain, Makassar juga punya angkutan umum atau mikrolet yang disebut "pete-pete". Di Makassar, pete-pete memiliki dua warna yang menentukan daerah beroperasi. Pertama, pete-pete berwarna merah yang beroperasi di luar kota. Kedua, pete-pete berwarna biru muda yang beroperasi di dalam kota.
14. Banyak Juru Parkir Liar
Juru parkir liar hampir selalu ada di setiap daerah, termasuk di Makassar. Namun, jumlah juru parkir liar di Makassar sudah sangat banyak sekali. Saking banyaknya, ATM di pinggir jalan pun ada juru parkirnya. Fenomena ini tidak hanya membuat perantau shock, tetapi juga masyarakat lokal di Makassar yang terpaksa harus menyisihkan duit sebesar dua ribu untuk juru parkir liar.
Itulah 14 kultur yang membuat perantau mengalami culture shock di Makassar. Meskipun masih banyak kultur-kultur unik dan mengejutkan di Makassar, tetapi kultur yang telah disebutkan di atas adalah yang paling umum dirasakan oleh perantau.
Dengan demikian, 14 kultur di Makassar diharapkan dapat dipahami oleh orang-orang yang hendak merantau ke Makassar agar tidak terlalu mengalami culture shock. Di sisi lain, perlu juga menyiapkan fisik, mental, dan finansial saat ingin merantau. Jangan lupa untuk menjaga etika, tindak tutur, perilaku, dan menghargai perbedaan kultur masyarakat lokal di lingkungan rantau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H