Mohon tunggu...
Jainal Abidin
Jainal Abidin Mohon Tunggu... Wiraswasta - jay9pu@yahoo.com

Wiraswasta

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Inspirasi Tak Bertepi Seorang Ibu

23 Desember 2022   18:43 Diperbarui: 23 Desember 2022   18:49 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Selamat hari ibu, Mak!

Mak, nama panggilan ibuku. Beliau adalah tipikal orang yang sangat rajin. Sangat super duper rajinnya. Dari mulai bangun pagi sampai tidur lagi, kegiatannya tidak ada jeda.

Bangun pagi sekali untuk sholat subuh berjamaah di musola. Kemudian memasak nasi dan sayuran untuk kami para anaknya. Tidak itu saja, beliau juga bersih-bersih rumah dan sekitarnya.

Kami yang masih kecil kala itu, seperti termagis oleh semangat Mak. Sudah ikut bangun meski hanya ikutan bermain-main menemaninya. Dan emak tak memaksa sedikit pun untuk membantunya.

Keinginan membantu itu tiba-tiba tumbuh dan muncul saat kami sudah masuk sekolah. Kami anaknya setiap pagi hari bangun pagi bersama. Kemudian membagi wilayah bersih-bersih. Membersihkannya dan menjadi tanggungjawab masing-masing sampai kami dewasa.

Setelah semua selesei, kamipun membersihkan diri dengan mandi pagi bergantian. Sarapan pagi sudah tersedia dan kamipun sarapan serta bersiap untuk ke sekolah. Mak adalah seorang penjahit, saat kami sekolah ia menjalankan kegiatannya, full menjahit.

Aku anak petani yang tidak punya sawah. Salah satu pendukung biaya sekolahku adalah jerih payah Mak. Ada semangat membara dalam diri Mak yang tak ingin kami para anaknya menderita sepertinya karena tidak mengenyam bangku sekolah.

Masih aku ingat di suatu siang emak berkata, "Jadi guru itu enak Le, kerja setengah hari tidak kepanasan, tidak capek-capek nanti siang sudah bisa berkumpul lagi dengan keluarganya". Emak ingin aku jadi PNS kala itu.

Aku pernah guyoni emak, "Mak tukang parkir di pasar kota itu juga PNS lho!". "Yo ojo seng ngono" (jangan yang seperti itu) kata Emak waktu itu. Inti sederhana pemikiran emak, ingin anaknya sekolah setinggi-tingginya agar mendapat kerja yang enak.

Sejak itu ambisiku sekolah terus menyala. Bahkan kutulis dengan jelas dalam azamku aku ingin sekolah sampai dengan strata 2. Padahal saat itu aku masih duduk di sekolah jenjang SMA.

Tidak itu saja, semangatku untuk mendapat cuan juga menyala. Pertama untuk meraih mimpiku dan kedua sebagai teori ekonomi usiaku adalah usia produktif. Sehingga aku tak ingin berpangku tangan semakin memberatkan perekonomian keluarga terutama Emak.

Setelah lulus sekolah setingkat SMA, aku harus terminal atau berhenti meneruskan. Bukan apa-apa, aku terminal setahun untuk mencari tambahan pengalaman sekaligus tabungan untuk kuliah. Aku sama sekali tidak bermimpi untuk kuliah di luar kota.

Selain biaya kuliah luar kota mahal, belum biaya hidup. Mulai dari biaya kos, makan kemudian tranportasi dan sebagainya. Semuanya berat di ongkos, sehingga aku memutuskan kuliah di tanah kelahiranku. Minimal tempat tinggal dan makan aku sudah ikut Emak. Tinggal mencari uang saku untuk mobilitas dan kuliah.

Kuliah strata 1 yang seharusnya ditempuh cukup 4 tahun, aku tempuh 5 tahun. Molor setahun dikarenakan harus mencari tambahan cuan untuk bayar kuliah. Bahkan sempat di awal kuliah Emak menggadaikan BPKB motor butut bapak buat membayar uang kuliah pertama kali. Ternyata uang kuliah yang kelasnya pinggiran saja tidak mampu dibayar kontan.

Semenjak itulah kegiatanku super padat. Namun karena latihan yang diberikan emak sejak kecil telah membuatku kebal dan kuat dengan disiplin kuliah. Meski disela semua itu, aku tetap prioritas juga mencari tambahan cuan.

Setelah 5 tahun aku lulus, namun semua tak sesuai harapan. Hampir setahun aku menjadi sarjana pengangguran. Jadi gunjingan tetangga. Bahkan saat itu Emak sempat menawarkan kalau memang harus bayar untuk mengajar di sekolah tidak apa-apa. Tapi pada waktu itu, aku yang sok idealis tidak mau.

Tepat setahun aku menganggur, akhirnya aku mendapat tempat mengajar meski di luar kota. Di sana pengalamanku di tempa, jauh dari emak. Pada saat itulah ujian terberatku. Tapi di sana juga aku benar-benar tumbuh menjadi anak emak yang dewasa.

Kemudian aku menikah, akan tetapi semangat meneruskan jenjang pendidikan lebih tinggi belum padam. Bahkan setelah menikah keinginaku melanjutkan strata 2 tambah menggebu. Dan bisa sampai lulus karena super power dari 2 emak (emak-emak). Emak-ibuku dan emak-dari anakku.

Terimakasih Emak-emak, engkau inspirasi tak bertepi dan tak lekang waktu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun