Lima hari menjelang Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI 17 Oktober mendatang, tersiar kabar ada skenario yang dirancang sekelompok orang supaya KLB berakhir deadlock. Artinya tetap tidak ada Ketum baru yang menjabat.
Muncul pertanyaan kenapa ada pihak yang ingin PSSI gini-gini aja ? emang apa untung untuk orang atau kelompok tersebut jika PSSI tidak hidup. Bukankah pengurus PSSI tidak digaji dan bisa main proyek seperti anggota DPR.
Nah, ternyata ada harta karun dalam bungkusan bernama PSSI. Untuk pelaksanaan satu turnamen seperti Torabika Turnamen Soccer Champiomship (TSC), ada putaran uang ratusan miliar. Jumlah uang yang sangat banyak, tapi manfaatnya terbanyak dirasakan sedikit orang.
Dengan tidak adanya pengurus PSSI yang defenitif, maka pihak tersebut bisa mendapatkan keuntungan sendiri tanpa harus diawasi dan berbagi profit sharing dengan PSSI. Artinya mereka mendapatkan uang yang sangat besar.
Uang dalam jumlah besar didapat dari sponsor utama, sponsor pendukung, hak siar, dan pendapatan dari tiket penonton.
Soal pembinaan dan nasib pemain dari liga utama ataupun amatir, kelompok tersebut tidak mau peduli. Yang penting buat mereka adalah meraup keuntungan sebesar-besarnya dan menikmati dengan kelompok mereka sendiri.
Tidak ada rasa peduli juga buat mereka tentang pembinaan pemain muda, prestasi ataupun kebanggaan Indonesia. Mereka orang Indonesia yang rela “membunuh” saudara mereka sendiri demi uang.
Entah ada permainan jahat antara pelaksana turnamen, sponspor atau mafia bola di Indonesia. Karena sampai sekarang sulit dibuktikan, termasuk dengan mafia pengaturan skor. Tapi kita harus tetap awasi dengan ketat, agar sepakbola Indonesia kembali menjadi olaharaga rakyat yang membanggakan.
Nasib Ribuan Orang Bakal Terancam
Jika hanya terkait dengan perebutan Ketum PSSI ataupun pengurus lainnya mungkin rakyat Indonesia masih bisa sabar menunggu. Tapi bagaimana dengan nasib roda kompetisi sepakbola Indonesia ? karena dalam kompetisi tersebut ada belasan ribu orang yang menggantungkan nasibnya. Mencari sesuap dari sepakbola, yang sudah menjadi mata pencarian utama mereka.
Jika pemain saja sudah mencapai 17 ribu orang, dikalikan dengan keluarga mereka bisa total orang yang teraniaya dengan berhentinya kompetisi resmi mencapai puluhan ribu jiwa bahkan ratusan ribu jiwa.
Mungkin kita pernah mendengar kisah pemain bola kita terpaksa menjadi kuli akibat kompetisi berhenti. Mereka terpaksa melakukan itu karena keahlian mereka hanya sebagai pemain bola. Jikapun sekarang ada turnamen Torabika Soccer Championship (TSC), itu sifatnya hanya segelintir klub elit dan jumlah pemain yang tertampung hanya ratusan orang.
Tidakkah para pengambil kebijakan di negara ini punya hati nurani, memikirkan nasib sesama anak bangsa yang terancam kelaparan, anaknya putus sekolah dan yang paling parah hilang kepercayaan terhadap Negara.
Atau ada orang atau kelompok yang ingin situasi ini berlanjut agar dia bisa meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan nasib puluhan ribu jiwa. Karena kita memahami kalau pengurus PSSI tidak digaji, tapi ada putaran uang dalam jumlah besar yang memungkin mereka menjadi raja tega.
Kita pencinta bola di Indonesia harus bergerak, bukan untuk membela salah seorang atau klub yang kita cintai. Tapi kita bergerak untuk membela nasib sesama anak bangsa yang diantara mereka sudah mengorbankan separuh hidupnya untuk kejayaan Indonesia.
Terhentinya kompetisi kasta tertinggi di Tanah Air tersebut juga berdampak batal bergulirnya kasta-kasta di bawah LSI, seperti Divisi Utama 2015, Liga Nusantara, LSI U-21, dan Piala Suratin.
Selain LSI dan LSI U-21, jumlah pemain Divisi Utama juga bisa dihitung. DU 2015 rencananya diikuti 56 klub, yang terbagi enam wilayah. Jika tiap klub mendaftarkan 25 pemain maka total pemain yang beraksi di DU 2015 setidaknya mencapai 1.400 pemain.
Yang agak sulit penghitungannya ialah jumlah tim peserta dan pemain di ajang Liga Nusantara (Linus) dan Piala Suratin, di mana kedua kompetisi tersebut masih berstatus amatir.
Tak bergulirnya kompetisi berjenjang di Tanah Air juga mengancam pembinaan di level usia muda. Padahal, LSI U-21 dan Piala Suratin sejatinya menjadi jembatan pemain muda menuju level senior.
Kalaupun ada, ajang untuk usia muda hanya berlangsung di level kecil atau tak berskala nasional. Menurut penghitungan Tabloid BOLA, jumlah pemain muda di Indonesia mencapai sekitar 31,5 persen dari total pemain di Tanah Air.
Berdasarkan data-data di atas, bisa dibayangkan seberapa suramnya masa depan sepak bola nasional jika kisruh ini tetap berlarut-larut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H