Raksa melirik ke belakang. Bayangan hitam dari para pengejar berkelebat di antara pepohonan. Dua sosok muncul lebih dulu, pakaian gelap mereka menyatu dengan malam. Golok mereka berkilat tajam, memantulkan cahaya rembulan yang sesekali menembus celah dedaunan.
"Sudah habis waktumu, bocah!" salah satu dari mereka mengejek, menyeringai tajam.
Raksa merapatkan rahangnya. Keringat bercampur air hujan membasahi wajahnya. Tangannya menggenggam erat tongkat kayu yang selalu menemani perjalanannya. Ia tahu, melarikan diri tidak lagi menjadi pilihan. Bertarung adalah satu-satunya jalan.
"Mungkin aku bocah," katanya seraya mengangkat tongkatnya ke posisi bertahan. "Tapi aku bocah yang tak akan menyerah."
Tanpa aba-aba, lawannya menerjang, goloknya menyambar dari kanan. Raksa mengangkat tongkat, menangkis dengan kuat. Bunyi benturan senjata menggema di udara. Lawannya mundur sedikit, tetapi sebelum Raksa sempat menyerang balik, serangan berikutnya datang dari belakang.
Dengan refleks, Raksa merunduk, menghindari tebasan yang nyaris mengenai lehernya. Ia memutar tubuh, memanfaatkan tenaga sentrifugal untuk melayangkan pukulan ke arah lutut pengejarnya. Pukulan itu tepat sasaran. Pria itu mengerang kesakitan, jatuh berlutut.
Tapi belum sempat Raksa merayakan kemenangan kecilnya, musuh pertama sudah kembali menyerang. Goloknya melesat lurus ke arah dada Raksa.
Dengan lompatan cepat, Raksa menjejak pohon terdekat dan melayang ke atas, tangannya mencengkeram dahan. Ia menarik tubuhnya ke atas, kemudian melompat ke pohon berikutnya, terus bergerak seperti bayangan.
"Dia menuju jurang! Jangan biarkan dia kabur!"
Namun, terlambat. Raksa sudah sampai di bibir tebing. Di bawah sana, kabut tebal menyelimuti hutan liar. Tak ada jalan mundur.