Mohon tunggu...
Jajang Sonjaya
Jajang Sonjaya Mohon Tunggu... Dosen - Arkeolog Nganggur

Dalam 16 tahun menjalani profesi sebagai dosen, lalu menganggur 5 tahun, saya telah terlibat dalam 120-an proyek penelitian, pelatihan, dan pengembangan masyarakat. Penelitian saya yang paling intensif dan mendalam dilakukan di Gunung Ciremai, Gunungkidul, Dieng, Segara Anakan, Suku Dayak Kalimantan, dan Nias. Dari penelitian dan petualangan itu, saya sudah menghasilkan beberapa karya dalam bentuk belasan tulisan featur perjalanan yang dimuat di media masa nasional dan lokal, tujuh film dokumenter, dan beberapa buku, yakni Pergulatan Identitas Dayak dan Indonesia (Galang, 2005, bersama PM Laksono dkk.), Melacak Batu Menguak Mitos (Kanisius, 2008), Zanj (Kepel, 2009), Manusia Langit (Kompas, 2010), Manajemen Pelatihan (Kanisius, 2012); Arkeologi Bawah Air Teluk Mandeh, DCBP, 2018); Nusa Utara Gerbang Nusantara, Potensi Kapal Tenggelam di Sangihe (DCPB, 2019).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jejak Majapahit di Gunung Lawu

13 Agustus 2020   19:06 Diperbarui: 13 Agustus 2020   19:10 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gunung yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini dapat ditempuh dari beberapa rute pendakian. Rute yang paling banyak dipilih adalah dari Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu di lereng tenggara. Perlu waktu 8 jam berjalan kaki dari desa terakhir ini. Waktu tempuh ini bisa bertambah panjang jika membawa ransel yang berat, misalnya untuk pendakian di atas lima hari. Sulitnya perjalanan ke sana menyebabkan situs ini jarang sekali diteliti. 

Dalam catatan saya, baru tiga pihak yang melakukan penelitian di sana, yaitu Andre Priyatna (1992), Balai Arkeologi Yogyakarta (1992), dan Kapalasastra UGM (1997). Dari belasan kali mendaki Gunung Lawu dan menyambangi kampung-kampung di kakinya antara 1997 -- 2016, saya menemukan jejak Majapahit di sana, antara lain dalam bentuk mitos dan artefak.

Kawasan Kaldera Gunung Lawu yang sangat luas itu memiliki beberapa puncak. Belasan punden tersebar di setiap puncak itu, di punggungan-punggungannya, dan di lembah-lembahnya. 

Punden-punden itu adalah: Argo Dalem (3.170), Kepatihan (3.140), Keputren (3.150), Ksatriyan (3.090), Kasepuhan (3.138), Puruso (3.191), Argo Dumilah (3.265 m dpl), Cokrosuryo I (3.160), Cokrosuryo II (3.179), Pasar Dieng (3.088 dpl), Kepanditan (3.135), Kahyangan (3.145), dan Sabdo Palon (3.210). Selain tiga belas punden tersebut, masih ada empat punden berudak yang belum sempat disurvei, namun sudah diketahui lokasinya di dalam peta.

Bentuk punden berundak berupa teras bertingkat-tingkat yang dibatasi oleh susunan batu-batu besar. Tiap teras dihubungkan dengan anak tangga yang juga terbuat dari batu setinggi 5 -- 10 meter. Jumlah teras bervariasi, mulai 3 sampai 13 teras. Hampir semua situs di kawasan Lawu terkait dengan Mitos Sunan Lawu yang dianggap sebagai Raja Brawijaya terakhir. Selain mitos, jejak Majapahit tertera dalam sebuah menhir dalam bentuk pahatan Surya Majapahit.

Situs-situs di Puncak Gunung Lawu masih digunakan hingga sekarang oleh para penganut agama Hindu Jawa dan Kejawen sebagai media pemujaan terhadap roh. Mereka datang dari berbagai tempat di Jawa dan luar Jawa untuk beribadah, mencari berkah, dan bertapa untuk mendapatkan ilmu tertentu. Para spiritualis yang datang kekawasan puncak Gunung Lawu banyak yang percaya bahwa Puncak Gunung Lawu adalah tempat pelarian Brawijaya, Raja Majapahit terakhir yang tidak mau menyerah pada Raden Fatah dari Demak. 

Bersama pengikutnya ia membangun kembali kerajaannya, hingga akhirnya mengalami pelepasan (moksa, mokswa), dan kemudian dikenal dengan Sunan Lawu. Layaknya sebuah ibukota kerajaan, di atas ketinggian 3.000 mdpl ini terdapat nama-nama tempat seperti Pelinggihan Pangeran, Kepatihan, Keputren, Kepanditan, dan Pasar.

Nama-nama itu menunjuk pada bangunan-bangunan batu besar (megalitik) seperti punden berundak, tahta batu, dolmen, menhir, lumpang, piramid, kuburan, dan megalitik lainnya---tinggalan yang biasa jadi media pemujaan masyarakat yang dikenal sejak masa prasejarah.

Di teras-teras punden berundak banyak ditemukan tinggalan megalitik lain seperti menhir, lumpang batu, pelinggih (tahta batu), altar pemujaan, jalan-jalan batu, pintu gerbang, serta tumpukan-tumpukan batu menyerupai kuburan. Hampir semua punden berundak memiliki tumpukan batu disusun piramid setinggi 1 -- 1,5 meter menyerupai kuburan yang terletak tidak jauh dari tertas tertinggi dari punden berundak. 

Selain punden berundak, masih ada bentuk situs lain yang berbeda, yakni Cokrosuryo, Pasar Dieng, Pasar Hewan, dan Pengadilan. Di Situs Cokrosuryo terdapat sebuah menhir yang memiliki pahatan Surya Majapahit yang menjadi lambang kerajaan Majapahit. Di dekat menhir tersebut terdapat susunan batu setengah melingkar seperti pelinggih. Kehadiran lambang Majapahit inilah yang membuat Gunung Lawu sekarang dihubungkan dengan Majapahit dengan beredarnya mitos Brawijaya Kang Kawekas yang memilih Lawu sebagai pelarian dari serangan Kerajaan Demak.

Menurut kisah Muis, spiritualis yang telah empat tahun tinggal di Puncak Lawu, sebelum mendaki Puncak Lawu, Brawijaya bersama pasukannya berhenti dulu di suatu tempat bernama Alas Ketonggo (sekarang berada di daerah Ngawi). Di sana Sang Raja melepas pakaian dan atribut keduniawiannya, lalu berganti dengan pakaian pendeta. 

Hal ini diikuti oleh seluruh pasukannya. Konon, di Alas Ketonggo masih bisa dijumpai mahkota Sang Raja yang telah menjadi batu. Dari tempat ini, Sang Raja bersama pengikutnya mendaki Lawu melalui jalur Jogorogo. Jika mau ditelusuri, jalur ini tembus hingga Pasar Dieng dan Argo Dalem di kawasan Puncak Lawu.

Di Pasar Dieng saat ini masih ditemukan jalan batu kuno dari arah Jogorogo dan beberapa gapura dari tumpukan batu menyerupai bentuk piramid. Pasar Dieng merupakan sebuah teras datar yang sangat luas, kira-kira enam kali luas lapangan sepak bola. Di teras ini terdapat ribuat batu yang berserakan. 

Di antara batu-batu itu terdapat batu-batu yang ditumpuk. Jelas tumpukan-tumpukan itu sengaja ditata sebagai salah satu wujud ritual dari orang-orang yang datang ke sini. Di dekat batu-batu yang ditumpuk tersebut seringkali masih dijumpai sisa bunga, hio, dan uang koin. Selain batu yang ditumpuk, di pasar dieng banyak dijumpai batu yang disusun membentuk segi empat seperti untuk membatasi sesuatu.

Cerita Muis dan cerita banyak orang lainnya tentang Sunan Lawu atau Brawijaya terakhir sudah dianggap benar adanya. Penghargaan pada Sunan Lawu ini bisa Anda lihat saat malam 1 Syuro. Nyala senter tidak putus dari pintu pendakian hingga puncak. Warung-warung dadakan banyak berdiri di kawasan Cokrosuryo, Argo Dalem, dan Sendang Drajat. Bagi arkeolog seperti saya, kehadiran Majapahit di Lawu bisa dipastikan dengan adanya lambang Majapahit yang diterakan pada menhir di Kompleks Cokrosuryo.

Namun, keberadaan punden-punden berundak, menhir, lumpang, dan dolmen di Gunung Lawu patut dipertanyakan. Semua tinggalan itu mewakili kehidupan prasejarah---jauh sebelum Majapahit lahir. Saat Sang Raja Majapahit datang ke sini, kawasan Puncak Lawu bukan ruang kosong. 

Punden-punden berundak itu sudah ada sebelumnya, lalu dipakai ulang, direhab, dan beberapa dibangun baru. Ketika Kerajaan Majapahit berada di ambang keruntuhan, ada kecenderungan kalangan elite, seperti raja, patih, dan para panglima kerajaan, kembali memuliakan pemujaan leluhur (animisme). 

Mereka mengasingkan diri ke daerah pinggiran di pegunungan, seperti Penanggungan, Wilis, Bromo, Dieng, dan Gunung Lawu. Di tempat-tempat tinggi ini mereka meneruskan dan membangun kembali kehidupan---tempat yang dekat dengan langit, dengan TUHAN. Raja Majapahit sudah mengajarkan pada kita bagaimana mewarisi ajaran dan karya leluhurnya untuk kehidupan lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun