Gunung yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini dapat ditempuh dari beberapa rute pendakian. Rute yang paling banyak dipilih adalah dari Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu di lereng tenggara. Perlu waktu 8 jam berjalan kaki dari desa terakhir ini. Waktu tempuh ini bisa bertambah panjang jika membawa ransel yang berat, misalnya untuk pendakian di atas lima hari. Sulitnya perjalanan ke sana menyebabkan situs ini jarang sekali diteliti.Â
Dalam catatan saya, baru tiga pihak yang melakukan penelitian di sana, yaitu Andre Priyatna (1992), Balai Arkeologi Yogyakarta (1992), dan Kapalasastra UGM (1997). Dari belasan kali mendaki Gunung Lawu dan menyambangi kampung-kampung di kakinya antara 1997 -- 2016, saya menemukan jejak Majapahit di sana, antara lain dalam bentuk mitos dan artefak.
Kawasan Kaldera Gunung Lawu yang sangat luas itu memiliki beberapa puncak. Belasan punden tersebar di setiap puncak itu, di punggungan-punggungannya, dan di lembah-lembahnya.Â
Punden-punden itu adalah: Argo Dalem (3.170), Kepatihan (3.140), Keputren (3.150), Ksatriyan (3.090), Kasepuhan (3.138), Puruso (3.191), Argo Dumilah (3.265 m dpl), Cokrosuryo I (3.160), Cokrosuryo II (3.179), Pasar Dieng (3.088 dpl), Kepanditan (3.135), Kahyangan (3.145), dan Sabdo Palon (3.210). Selain tiga belas punden tersebut, masih ada empat punden berudak yang belum sempat disurvei, namun sudah diketahui lokasinya di dalam peta.
Bentuk punden berundak berupa teras bertingkat-tingkat yang dibatasi oleh susunan batu-batu besar. Tiap teras dihubungkan dengan anak tangga yang juga terbuat dari batu setinggi 5 -- 10 meter. Jumlah teras bervariasi, mulai 3 sampai 13 teras. Hampir semua situs di kawasan Lawu terkait dengan Mitos Sunan Lawu yang dianggap sebagai Raja Brawijaya terakhir. Selain mitos, jejak Majapahit tertera dalam sebuah menhir dalam bentuk pahatan Surya Majapahit.
Situs-situs di Puncak Gunung Lawu masih digunakan hingga sekarang oleh para penganut agama Hindu Jawa dan Kejawen sebagai media pemujaan terhadap roh. Mereka datang dari berbagai tempat di Jawa dan luar Jawa untuk beribadah, mencari berkah, dan bertapa untuk mendapatkan ilmu tertentu. Para spiritualis yang datang kekawasan puncak Gunung Lawu banyak yang percaya bahwa Puncak Gunung Lawu adalah tempat pelarian Brawijaya, Raja Majapahit terakhir yang tidak mau menyerah pada Raden Fatah dari Demak.Â
Bersama pengikutnya ia membangun kembali kerajaannya, hingga akhirnya mengalami pelepasan (moksa, mokswa), dan kemudian dikenal dengan Sunan Lawu. Layaknya sebuah ibukota kerajaan, di atas ketinggian 3.000 mdpl ini terdapat nama-nama tempat seperti Pelinggihan Pangeran, Kepatihan, Keputren, Kepanditan, dan Pasar.
Nama-nama itu menunjuk pada bangunan-bangunan batu besar (megalitik) seperti punden berundak, tahta batu, dolmen, menhir, lumpang, piramid, kuburan, dan megalitik lainnya---tinggalan yang biasa jadi media pemujaan masyarakat yang dikenal sejak masa prasejarah.
Di teras-teras punden berundak banyak ditemukan tinggalan megalitik lain seperti menhir, lumpang batu, pelinggih (tahta batu), altar pemujaan, jalan-jalan batu, pintu gerbang, serta tumpukan-tumpukan batu menyerupai kuburan. Hampir semua punden berundak memiliki tumpukan batu disusun piramid setinggi 1 -- 1,5 meter menyerupai kuburan yang terletak tidak jauh dari tertas tertinggi dari punden berundak.Â
Selain punden berundak, masih ada bentuk situs lain yang berbeda, yakni Cokrosuryo, Pasar Dieng, Pasar Hewan, dan Pengadilan. Di Situs Cokrosuryo terdapat sebuah menhir yang memiliki pahatan Surya Majapahit yang menjadi lambang kerajaan Majapahit. Di dekat menhir tersebut terdapat susunan batu setengah melingkar seperti pelinggih. Kehadiran lambang Majapahit inilah yang membuat Gunung Lawu sekarang dihubungkan dengan Majapahit dengan beredarnya mitos Brawijaya Kang Kawekas yang memilih Lawu sebagai pelarian dari serangan Kerajaan Demak.
Menurut kisah Muis, spiritualis yang telah empat tahun tinggal di Puncak Lawu, sebelum mendaki Puncak Lawu, Brawijaya bersama pasukannya berhenti dulu di suatu tempat bernama Alas Ketonggo (sekarang berada di daerah Ngawi). Di sana Sang Raja melepas pakaian dan atribut keduniawiannya, lalu berganti dengan pakaian pendeta.Â