oleh
Jaja Jamaludin, S.Pd. M.Si.
Praktisi Pendidikan pada BOSOWA International Boarding School
Membaca konsep kurikulum 2013 mengingatkan penulis pada 14 tahun yang lalu mana kala mewacanakan pendidikan Sains berbasis Tatanilai. Jika ditelaah dari struktur dan design filosofis kurikulum 2013 terutama pada ultimate goalnya yaitu pada Kompetensi Inti, kurikulum ini akan memberikan harapan besar. Misalnya, disebutkan Kompetensi inti (ke -1) misalnya, Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. selanjutnya, pada kompetensi inti ke-2 dituliskan Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
Sementara pada domain ke-3 dari Kompetensi Inti diantanya : Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
Pada bagian ke-4 dari kompetensi inti disebutkan Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
Kurukulum Idealis atau Utopis?
Sampai disini kita patut kagum dengan kurikulum 2013 ini. Boleh jadi, Kurikulum ini kita sebut sebagai konsep kurikulum yang memiliki keinginan yang ideal. Mungkin juga kurikulum ini mengesankan konsep kurikulum yang memiliki pandangan sekaligus kesadaran atas pentingnya refleksi atas Nilai-nilai pembentuk karakter dan nilai-nilai religiusitas. Tapi juga boleh jadi kurikulum ini akan terkesan utopis dan tentu saja tidak realistic. Kemungkin utopis dan tidak realistic ini manakala kurikulum ini jika hanya berhenti pada upaya mengkontruksi bangunan kurikulum an sich dan tidak secara tuntas serta utuh mengikhtiarkan prakondisi dan daya dukung secara komprehensip dalam tataran implementasinya. Diperlukan kontinuitas konsistensi serta focus  kebijakan pada tataran preparation untuk implementasi secara massif.
Sejumlah suprastruktur pendidikan dan suprasturktur pembelajaran di dalam kelas sebagai medium tumbuhkembangnya kurikulum 2013 ini tentu mutlak dipersiapkan. Sebagai contoh, bagaimana seluruh praktisi pendidikan memiliki pengetahuan---terutama para guru di sekolah-sekolah---memahami atas dasar paradigm apa kurikulum ini di bangun. Selain itu para parktisi pendidikan terutama guru harus sangat cermat dan akurat dalam menjabarkan sejumlah kompetensi dasar dari setiap konten pembelajaran dengan berpegang pada paradigma kurikulum ini. Jika ini saja tidak cukup untuk dispersiapkan secara dini dan massif maka boleh jadi kurikulum ini pada tataran implementasinya akan mengalami resistensi alamiah yang bersumber dari ketidakpahaman atas konsep dasar serta paradigma yang dianut oleh kurikulum 2013 ini. Pada gilirannya kurikulum ini akan menemukan titik nadir kenistaanya yakni kurikulum yang quovadis.
Perspektif Filosofis
Seandainaya para guru dan para praktisi pendidikan sangat kuat memahami bagaimana secara filosofis keilmuan itu di bangun, penulis mengatakan bahwa falsafah dan paradigm kurikulum 2013 ini tidak akan sulit diimplemetasikan. Sebaliknya jika pemahaman guru sebagai implementator kurkulum dan bahkan sejatinya adalah pemgembang kerikulum tidak memadai tentang wawasan falsafah keilmuan bagaimana sebuah ilmu dan pengetahun itu dibangun tentu menjadi sangat pesimisti Sebab, jika menggunakan perspektif domain filosofis yakni mencerminkan kompetensi Inti ke-1, ke-2, ke-3 dan ke-4 kedalam domain filosofi keilmuan yakni ontologis, epistemologis dan aksiologis, maka akan lebih mudah mencermati dan mengimplementasikan kurikulum ini. Meskipun tidak cukup simple atau sederhana. Dengan begitu, akan cukup mudah pula para guru mengimplementasikan dan mengembangkan kurikulum ini baik di dalam kelas maupun di lingkungannya sebagai sumber belajar dan sumber ilmu.
Koherensitas antardomain Kompetensi Inti
Dalam perspective para guru selama ini------dan merupakan pandangan serta pengalaman yang sangat mapan di kalangan semua guru di negeri ini---kompetensi inti pada domain ke-3 dan ke-4 bukan saja bukan hal baru tetapi juga telah sangat akrab dipahami kualitas-kualitas konsepnya. Selain telah menjadi orientasi praksis dari proses pembelajaran kompetensi inti ke-3 dan ke-4 juga merupakan kompetensi dasar yang kualitas-kualitas konsep pencapaiannya telah banyak digunakan di kurikulum sebelumnya. Justru yang menjadi pertanyaan besar adalah problem koherensitas antara kompetensi inti ke-3 dan ke-3 terhadap kompetensi inti ke-1 dan ke-2. Disinilah titik krusial sekaligus sangat strategis dari jatidiri kurikulum 2013 dibanding dengan kurikulum sebelumnya.
Kompetensi inti ke-1 Â lebih bermakna sebagai domain spiritual-transenden : sebuah kesadaran atas eksistensi serta kemahabesaran Tuhan sebagai pencipta alam semesta yang menjadi objek pembembelajaran. Sementara pada domain kompetensi inti ke-2 lebih bermakna aktualisasi Tatanilai dengan sejumlah karakter mulya sebagai pembentuk karakter pribadi keberadaban manusia. Lalu bagiamana koherensitas antara kompetensi ke-3 dan ke 4 terhadap kompetensi ke-2 dan ke-1?
Penulis berpendapat, jika dilihat dalam perspective filsafat ilmu koherensitas antara domain kompetensi di atas justru menjadi keniscayaan atas konsep tritunggal aspek filsafat ilmu yaitu ontologis, epistemologis serta aksiologis.  Dalam perspective  epistemologis kompetensi inti domain ke-3 dan ke-4 merupakan kompetensi-kompetensi yang membangun kontruksi proses berilmu-pengetahuan secara prosederuran dan komprehensif. Sementara pada domain kompetensi ke-1 dan ke-2 lebih merupakan coverage area aspek aksiologis dan ontologis. Maka, bila menggunakan perspective filosofis ini tentu tidaklah sulit memahami bangunan struktur kurikulum 2013.
Jembatan penghubungnya adalah terletak pada proses pembelajaran yang mengedepankan pembelajaran reflektif, yakni pembelajaran yang memberikan kesadaran-kesadaran atas keniscayaan dan pentingnya karakter-karakter pembentuk keberadaban manusia. Refleksi yang paling ultimate adalah refleksi atas eksistensi pencipta :  Tuhan Yang Kuasa. Tentu saja pembelajaran reflektif ini sangat kental dengan kecukupan reasoning dan prinsip-prinsip logika berpikir. Refleksi yang lebih mengedepankan penalaran logis serta keniscayaan rasional. ##wallahu’alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H