Mohon tunggu...
Angkasa Yudistira
Angkasa Yudistira Mohon Tunggu... -

Pengguna obat-obatan sesuai resep dokter sedari bayi, akibatnya rusaklah semua gigi. Jurnalis juga. Suami juga. Ayah juga.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit Anak Angkasa

24 Mei 2018   06:56 Diperbarui: 25 Mei 2018   01:39 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angkasa adalah nama saya, yang pernah dibuat takut oleh doppler. Alat pengukur detak jantung bayi di dalam rahim itu berhenti saat Nukeu, istri saya dan akan dipanggil Ambu oleh anaknya nanti, hendak melahirkan. Berantakan rasanya siang itu, 10 September 2015.

"Batrenya udah diganti apa belum ya bu? Masak enggak ada detaknya," saya tanya ke Ibu Bidan, sekalian coba menenangkan diri.

Sang bidan enggak jawab dan tak mau ambil risiko. "Ke rumah sakit saja ya mas, ini butuh alat tambahan supaya bayinya bisa keluar," begitu katanya.

Kami pun berangkat ke rumah sakit. Baru sampai, saya dihadang salah satu suster. Sebut saja suster 1, karena banyak suster yang berdialog dengan saya saat itu.

"Maaf pak, si ibunya sendirian aja karena butuh pertolongan khusus. Bapak selesaikan administrasinya saja," begitu katanya.

"Oh.. Baik,"

Bolak-balik sana-sini, selesai akhirnya.

"Mas, anaknya udah lahiran. Selamat ya," itu kata si Bulek yang ikut ke rumah sakit dan dikasih tahu soal kabar gembira itu oleh suster 2.

"Alhamdulillah,"

Khawatir yang saya rasa gara-gara doppler sialan itu sirna. Lalu bergegas ke ruang persalinan, agar bisa buat suara adzan supaya anak saya kenal. Di ruangan itu saya bertemu dengan suster 3. Persmisi saya bilang padanya, tapi dia malah judes jawabnya.

"Bapak sudah selesaikan administrasinya?"

"Sus, saya mau ngadzanin anak saya. Masak mau adzan aja harus bayar?"

Diam dia. Dan beruntunglah wahai suster 3, jika saya dengar kalimat itu di saat tidak dalam bahagia besar sangat, menghitam mungkin muka mu kusiram kopi.

////

Proses mengumandangkan adzan yang nyaris membuat saya menangis selesai. Si Ambu lalu bilang. "Tolong gendongin ke sini, aku belum lihat dari tadi,"

Saya yang masih takut untuk menggendong bayi memutuskan untuk memotret si bayi dan menunjukkannya ke si Ambu.

"Enggak kelihatan, kaca mata ku mana,"

"Hahaha, udah lah. Nanti aja nyarinya. Ini si anak ganteng sangat. Tapi enggak tau jari kaki dan tangannya masing-masing ada lima atau enggak. Dibedong ini, enggak keliatan,"

"Komplit mas, sehat semuanya. Selamat ya," eh si Dokter yang jawab karena dia masih ada di ruang persalinan.

/////

Beberapa hari mendapat perawatan, Ambu dan bayinya boleh keluar dari rumah sakit. Suster 4 pun datang ke ruang rawat inap dan bertanya apakah si bayi itu sudah punya nama? Sudah, saya jawab. Anak Langit namanya. Dan dia tersenyum, mau saya bilang manis, tapi ada si Ambu, enggak jadi.

"Silakan ke ruang persalinan pak, untuk membuat surat keterangan lahir,"

Surat keterangan lahir pun selesai dibuat. Si Uti, ibu saya, neneknya Langit, masih ngeganjel soal nama cucunya. Mumpung belum dibuat akta kelahiran, dia minta diganti namanya. Kata Anak di awal, benar-benar mengganggunya.

"Namanya jadi Putra Langit aja ya," kata si Uti ke Langit yang sedang digendongnya.

"Oooeeekkkk... ooooeeekkk..." langsung keras ia menangis usai dengar Utinya hendak mengganti namanya.

"Iya, iya, enggak jadi. Namanya tetap Anak Langit,"

Setelah merasa aman karena tak jadi diganti nama, percayalah, si Langit langsung diam dari tangisannya. Oh bahagianya saya. Terima kasih nak, sudah kau terima nama pemberianku.

*Note; Sengaja saya buat karena ingat, sebab lupa adalah tanda bahaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun