“Om, tasnya bagus.” Katanya lucu, memegang-megang tasku. Sambil menarik-narik talinya. Kubiarkan saja ia melakukanya.
“Om, makasih ya. Udah difoto, udah dibeliin es. Aku mau ngamen lagi.”
“Ya sudah, dede hati-hati, ya.” Kataku sambil mengelus rambutnya yang kumal. Anak itu tersenyum kemudian berlalu. Saat melintasi lampu merah, masih kulihat anak itu berlari-larian dengan teman-temannya dan tertawa-tawa. Aku tak mengerti, begitu kupegang bagian belakang tasku, handphoneku sudah raib. Anjrit. Anak sialan itu sudah mengambilnya.
“Hei…!” teriakku, mencoba mengejar anak jalanan itu. Tak berapa lama aku sudah memegang tangan kecilnya dan merogoh sakunya. Benar handphone itu ada di sakunya. Anak itu tampak ketakutan dan memasang tampang memelas.
“Dede, siapa yang mengajarimu untuk mengambil handphone?” Kataku geram. Anak itu semakin ketakutan dan dari matanya mulai keluar butiran bening.
“Hey, bang jangan asal main tuduh.” Suara di belakang mengagetkanku. Seorang lelaki kurus gondrong, sudah petentang-petenteng ke arahku.
“Hey, anak mana lu? Jangan belagu jadi orang kaya.” Katanya. Aku tersenyum.
“Haha… Memangnya aku punya tampang orang kaya… Aku juga orang laper kaya elu. Cuma aku masih mau kerja. Jadi aku masih bisa makan, beli baju. Makanya jangan jadi preman. Kerja atuh…”
“Bangsat!” Laki-laki gondrong kurus kering itu tampak emosi. Darahnya sudah naik ke ubun-ubun. Tangannya di acung acungkan kearahku. Aku tak mempedulikan sumpah serapahnya. Segera aku menyebrang jalan, tak ada gunanya meladeni preman. Namun laki-laki kurus kering itu.
“Hey, berhenti!” Teriaknya sambil mengejarku. Baru saja aku menengok ke belakang. Terdengar suara rem berdecit. Entah bagaimana kejadiannya. Laki-laki preman itu sudah terkapar di bawah roda sebuah mobil. Seketika suasana menjadi ramai oleh orang-orang yang ingin melihatnya. Aku segera bergegas meninggalkan tempat itu sebelum mendapat masalah baru.- Bersambung (JB)