Mohon tunggu...
Jahot Saragih
Jahot Saragih Mohon Tunggu... Akuntan - Ketua KNPI Simalungun

Ketua KNPI Simalungun

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Opsi Penanganan COVID-19 di Simalungun

28 Mei 2020   07:46 Diperbarui: 28 Mei 2020   07:41 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam hari pukul 20.00 WIB, di tanggal 27 Mei 2020, saya mengikuti diskusi online bertajuk "Sinergitas KNPI dalam Stay at Home di Masa Pandemi COVID-19" beberapa hal saya sampaikan terkait penanganan virus corona di Kabupaten Simalungun. Virus corona telah meneror Indonesia lebih dari dua bulan terakhir. Sejak pertama kali diumumkan pada 2 Maret 2020 lalu, yang kini menyebar ke seluruh wilayah provinsi di Indonesia.

Kabupaten Simalungun Sumatera Utara merupakan wilayah rentan terhadap penyebaran virus ini. Meski jumlah kasusnya tidak sebesar Kota Medan atau Kabupaten Deli Serdang. Dengan alasan teritorial, kepadatan penduduk dan aktivitas wilayah, Simalungun berpotensi menjadi episentrum baru penyebaran COVID-19 di Sumatera Utara karena beberapa wilayah kecamatannya berbatasan langsung dengan: Kabupaten Deli Serdang, Kota Siantar, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Batubara, Kabupaten Toba dan Kabupaten Karo. 

Dimana jumlah penduduk Kabupaten Simalungun mencapai 862.228 jiwa yang tersebar di 32 kecamatan maka secara otomatis aktivitas masyarakat yang hilir mudik dari satu daerah ke daerah lainnya juga pasti sibuk.

Hingga 26 Mei 2020 sudah ada 14 kasus positif COVID-19 di Simalungun setelah kabupaten ini masuk dalam zona merah karena jumlah korban infeksinya diatas 5 (lima) kasus. Kemarin, tentu tren penurunan korban infeksi virus corona layak disyukuri.  

Tapi Pemerintah Kabupaten Simalungun juga tidak boleh lengah sedikitpun dalam mengantisipasi penyebaran semakin meluas. Mengingat penyebaran virus ini sifatnya tidak konstan yang bisa diperkirakan jumlah korban yang terinfeksi dari waktu ke waktu.

Dengan perkiraan jumlah infrastruktur kesehatan di Simalungun sifatnya tidak banyak bertambah. Seperti; rumah sakit, Alat Pelindung Diri (APD) hingga jumlah petugas medis yang terbatas. Maka pemerintah kabupaten harus memilih kebijakan prioritas yang diputuskan dalam menangani pandemi ini. 

Untuk itu, kesimpulan sementara yang bisa diambil adalah mendahulukan pembenahan di sektor kesehatan yang kemudian diikuti oleh sektor : ekonomi, sosial, keamanan hingga pendidikan.

Buruknya Koordinasi

Dalam diskusi itu saya sampaikan juga, Pada pertengahan April 2020 yang lalu, Pemerintah Kabupaten Simalungun telah menetapkan anggaran penangangan COVID-19 sebesar Rp.110,5 miliar. 

Angka itu diambil dari rasionalisasi anggaran yang merujuk kepada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2020 tentang refocusing kegiatan, realokasi anggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan COVID-19.

Namun persoalannya, penggunaan anggarannya terkesan mubazir karena tidak menyentuh substansi terhadap penanganan COVID-19 di Simalungun. Seperti ; pembangunan jalan ke lokasi tempat isolasi mandiri di Desa Batu 20, Kecamatan Panei yang menelan biaya Rp 5 miliar dan pembelian dua unit mobil tangki sebesar Rp1,6 miliar. 

Padahal saat ini yang paling dibutuhkan dalam penanganan kesehatan adalah penyediaan alat tes COVID-19, baik itu : Rapid Test, Polymerase Chain Reaction (PCR) atau Swab Test sebagai langkah awal deteksi penyebaran virus corona di Simalungun.

Poster Diskusi Online. Sumber : Istimewa
Poster Diskusi Online. Sumber : Istimewa

Pada ragam pemberitaan juga diwartakan, sudah 2 (dua) kali Bupati Simalungun JR Saragih tidak menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Simalungun dalam diskusi transparansi penggunaan dana COVID-19.

Situasi ini tentu sangat buruk mengingat selain pemerintah kabupaten harus sigap terhadap penanganan kesehatan tentu harus tanggap pula menjelaskan secara terbuka memberi informasi distribusi penggunaan dana. 

Bila DPRD Simalungun sewaktu-waktu meminta justifikai penggunaan anggarannya. Alasannya, uang Rp.110,5 miliar itu diambil dari APBD yang seluruh penggunaannya harus diketahui secara luas oleh masyarakat Simalungun.

Merujuk pada situasi ini ; tentu muncul pertanyaan besar, mengapa Bupati JR Saragih terkesan mengabaikan permintaan DPRD Simalungun terkait keterbukaan penggunaan anggaran? Jika melihat runtutan persoalan di ragam pemberitaan jawabannya sederhana. 

Apalagi melihat buruknya koordinasi antara eksekutif dan legislatif di Simalungun. Pun hingga hari ini di Simalungun belum terbentuk Panitia Kerja (Panja) Percepatan Penanganan COVID-19 DPRD yang tugasnya fokus mengawasi penggunaan dan relokasi anggaran di Simalungun.

Artinya terkait penanganan dampak COVID-19, Bupati JR Saragih bisa mengadopsi pendekatan berbasis kesehatan dalam menangani dampak pandemi ini di Kabupaten Simalungun. Apalagi jika kita lihat angka kemiskinan di Kabupaten Simalungun, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 disebutkan bahwa jumlah penduduk yaitu 8,81% atau setara 76.335 jiwa dengan batas penghasilan sebesar Rp.342.477 per bulannya. 

Dengan asumsi fenomena banyaknya masyarakat yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan selama pandemi Covid-19 tentu secara otomatis akan menambah jumlah orang miskin di Simalungun membuat pemerintah mulai memikirkan opsi pemenuhan kebutuhan untuk kelompok rentan dan masyarakat miskin.

Lebih lanjut, angka kemiskinan itu belum termasuk pada jumlah masyarakat Simalungun kelas menengah terdampak seperti; petani, supir, pedagang kaki lima atau wiraswasta yang mengalami jatuh miskin akibat kehilangan penghasilan. Membuat indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan di Simalungun semakin buruk.

Situasi ini tentu harus segera dikendalikan dalam kerangka jaringan pengaman sosial. Caranya mendistribusikan sebagian dana penanganan COVID-19 di Simalungun yang jumlahnya persentasenya mempertimbangkan kelompok rentan terdampak. Baik berupa uang tunai, pembagian sembako dan operasi pasar murah serta bantuan kepada usaha kecil

Tentu penggunaan dana penanganan COVID-19 sebesar Rp.110,5 miliar harus berbasiskan riset dan data. Kebijakan berbasis riset dan akurasi data sebuah daerah sangat penting agar upaya penanganan dampak COVID-19 yang direncanakan tepat sasaran. 

Meskipun masalahnya saat ini kevalidan data kita sedang berada di titik nadir dan perlu dilakukan perbaikan sesegera mungkin. Pemerintah Kabupaten Simalungun terlebih dahulu harus melakukan pemutakhiran data terhadap kelompok terdampak sembari menjalankan kebijakan penanganan di bidang kesehatan.

Alasannya mitigasi dan penanganan pandemi COVID-19 di Simalungun membutuhkan modal utama bernama data. Adalah tugas pemerintah kabupaten kedepan membangun sebuah big data (data besar) dalam upaya mengatasi ragam persoalan dalam rujukan integrasi data yang handal dan akurat termasuk penggunaan dana penanganan bencana. 

Sehingga kedepannya, ketika Kabupaten Simalungun ini mengalami persoalan bencana serupa, pemerintah tidak gagap lagi mencari jalan keluarnya. Karena kebijakan berbasis data telah menjadi budaya baru bagi Kabupaten Simalungun. Selain memastikan dalam beberapa waktu ke depan Panja Percepatan Penanganan COVID-19 DPRD Simalungun sudah terbentuk kemudian bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun