Namun persoalannya, penggunaan anggarannya terkesan mubazir karena tidak menyentuh substansi terhadap penanganan COVID-19 di Simalungun. Seperti ; pembangunan jalan ke lokasi tempat isolasi mandiri di Desa Batu 20, Kecamatan Panei yang menelan biaya Rp 5 miliar dan pembelian dua unit mobil tangki sebesar Rp1,6 miliar.Â
Padahal saat ini yang paling dibutuhkan dalam penanganan kesehatan adalah penyediaan alat tes COVID-19, baik itu : Rapid Test, Polymerase Chain Reaction (PCR) atau Swab Test sebagai langkah awal deteksi penyebaran virus corona di Simalungun.
Pada ragam pemberitaan juga diwartakan, sudah 2 (dua) kali Bupati Simalungun JR Saragih tidak menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Simalungun dalam diskusi transparansi penggunaan dana COVID-19.
Situasi ini tentu sangat buruk mengingat selain pemerintah kabupaten harus sigap terhadap penanganan kesehatan tentu harus tanggap pula menjelaskan secara terbuka memberi informasi distribusi penggunaan dana.Â
Bila DPRD Simalungun sewaktu-waktu meminta justifikai penggunaan anggarannya. Alasannya, uang Rp.110,5 miliar itu diambil dari APBD yang seluruh penggunaannya harus diketahui secara luas oleh masyarakat Simalungun.
Merujuk pada situasi ini ; tentu muncul pertanyaan besar, mengapa Bupati JR Saragih terkesan mengabaikan permintaan DPRD Simalungun terkait keterbukaan penggunaan anggaran? Jika melihat runtutan persoalan di ragam pemberitaan jawabannya sederhana.Â
Apalagi melihat buruknya koordinasi antara eksekutif dan legislatif di Simalungun. Pun hingga hari ini di Simalungun belum terbentuk Panitia Kerja (Panja) Percepatan Penanganan COVID-19 DPRD yang tugasnya fokus mengawasi penggunaan dan relokasi anggaran di Simalungun.
Artinya terkait penanganan dampak COVID-19, Bupati JR Saragih bisa mengadopsi pendekatan berbasis kesehatan dalam menangani dampak pandemi ini di Kabupaten Simalungun. Apalagi jika kita lihat angka kemiskinan di Kabupaten Simalungun, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 disebutkan bahwa jumlah penduduk yaitu 8,81% atau setara 76.335 jiwa dengan batas penghasilan sebesar Rp.342.477 per bulannya.Â
Dengan asumsi fenomena banyaknya masyarakat yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan selama pandemi Covid-19 tentu secara otomatis akan menambah jumlah orang miskin di Simalungun membuat pemerintah mulai memikirkan opsi pemenuhan kebutuhan untuk kelompok rentan dan masyarakat miskin.
Lebih lanjut, angka kemiskinan itu belum termasuk pada jumlah masyarakat Simalungun kelas menengah terdampak seperti; petani, supir, pedagang kaki lima atau wiraswasta yang mengalami jatuh miskin akibat kehilangan penghasilan. Membuat indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan di Simalungun semakin buruk.