Sebersih tetesan embunan pagi
Dan ukhuwah kini pasti berputik
Menghiasi taman kasih yang harmoni
Tidak sedikit orang terpelajar malah menjadi sampah masyarakat. Seharusnya mereka memberikan pencerahan, memberikan manfaat kepada orang-orang di sekitarnya. Tetapi yang terjadi justru malah sebaliknya, mereka meresahkan orang awam dengan menipu dan membodohinya.
Lihatlah para politisi yang selalu mengumbar janji dan menebar senyuman palsu. Seringkali mereka beramal sekedar untuk mencari simpati dan popularitas. Mereka berderma agar media meliput dan menyiarkannya ke seantero dunia. Mereka sebetulnya pintar, namun menjadi manusia yang bodoh lantaran menutupi kebenaran dan tidak mau berpihak kepada kebenaran.
Namun sosok Arini bukanlah tipe orang macam itu. Dia tidak akan pernah mau menjadi orang bodoh yang mengaku cerdas. Dia ingin bersama orang-orang di sekelilingnya menjadi orang yang tercerahkan oleh cahaya peradaban. Dia ingin kehidupan ini tidak begini-begini saja. Dia tidak ingin hidup cuma memikirkan diri sendiri.
Arini tiba-tiba terkenang pada masa lalunya dengan sahabat-sahabat dekatnya waktu kuliah. Sahabatnya itu bernama Nur. Dialah sahabat terbaiknya tempat berbagi suka dan duka dalam menuntut ilmu dan berdakwah.
”Kalo kita sudah lulus nanti, kita akan jarang ketemu dan bersama lagi, Rin,” ungkap Nur.
”Kamu jangan ngomong gitu, Nur. Aku jadi sedih,” Arini menyela sambil memegang erat jemari Nur.
”Eh gimana mengenai calon pendampingmu. Apakah kamu sudah mantap?” lanjut Arini.
”Aku sebetulnya udah cocok. Dia adalah sosok yang shaleh. Cuma apakah nanti kami akan mengarungi kehidupan rumah tangga dengan bahagiaS? Aku dengannya berbeda harakah. Kemudian keluargaku belum menerima seratus persen karena masalah strata pendidikan. Orangtuaku menginginkan calon suamiku minimal sarjana sama sepertiku, sementara dia hanyalah lulusan SMA.”