”Kenapa diam, dad?”
Hamza menepuk pundak ayahnya. Iqbal kembali sadar dan menguasai dirinya.
”Iya ... tadi Hamza nanya apa?”
”Ah ... Daddy melamun ya ... aku tadi tanya, apakah mama juga sayang pada Hamza?”
Sambil mengiring anaknya melangkah menuju mobil, Iqbal memberikan penjelasan pada anaknya.
”Tentu saja, sayang. Mama sangat menyayangimu. Dia sangat mencintai daddy dan kamu, sayang. Kamu akan tahu betapa dia sangat mencintai kita. Nanti kamu bisa melihatnya dari diarynya, sayang.”
Anak itu terus berceloteh bertanya ini-itu kepada sang ayah meskipun Avanza sudah melaju melalui jalan-jalan raya kawasan New York. Sang ayah sudah terbiasa, sehingga dia tidak marah dengan segala pertanyaan yang diajukan sang anak. Dia sudah terlatih untuk bersabar, mendidik buah hatinya itu. Dia selalu menjawab rasa penasaran dan keingintahuan anaknya.
Mereka berangkat ke Al-Kareem School, sebuah sekolah yang letaknya tidak jauh dari komplek Islamic Centre of New York. Iqbal sengaja menyekolahkan anaknya di sana agar meskipun hidup dalam gemerlap kota megapolitan, tetapi ia ingin tetap anaknya mempunyai kepribadian Islam. Jika dimasukkan ke lembaga pendidikan konvensional di sana, dia khawatir anaknya akan mendapat pengaruh budaya negatif di sana. Setelah mengantarkan anaknya, Iqbal meluncur ke kantor.
Ayahnya bekerja di Fatih Corp., sebuah lembaga yang didirikan oleh Iqbal bersama rekan-rekannya yang bergerak dalam pengembangan sumber daya manusia dan media, dan teknologi informasi. Iqbal menjabat sebagai Manajer Operasional divisi pengembangan sumber daya manusia.
Iqbal mempunyai mempunyai hobi yang sewaktu kuliah di Bandung sama sekali tidak pernah dia lakukan. Hobi ini ia dapatkan sejak ia menikah dengan Zaskia. Istrinya yang selalu memotivasi supaya dia aktif menulis. Hobi yang dia lakukan adalah menulis. Istrinya mengatakan bahwa dakwah menyebarkan opini akan cepat tersebar ke masyarakat Amerika melalui tulusan. Iqbal sungguh menyesal mengapa aktivitas yang satu ini tidak dari dahulu dia lakukan. Dia merasakan begitu banyak manfaat yang dia peroleh setelah ia menulis, terlebih lagi untuk urusan dakwah memperkenalkan ide-ide Islam.
Awalnya Iqbal merasa minder, kurang percaya diri mengirimkan tulisannya ke media-media di Amerika. Namun ternyata berkat arahan dari sang istri, akhirnya tulisannya di muat di New Yok Post. Tulisan yang pertama kali terbit itu adalah kritik terhadap praktik demokrasi di Amerika yang masih jauh dari cita-cita ideal demokrasi.