Ki Lurah Manggolo Krasak berpandangan luas dan bijaksana, meski ia melihat Dirgo Kundolo melanggar etika karena merasa mampu dan sombong, sehingga lancang melamar sendiri tanpa membawa orang tuanya.
Melamar setidaknya beserta orang tua atau sanak kadangnya, karena melamar ujungnya adalah menikah. Di mana, dalam pernikahan adanya penyatuan dua keluarga besar dari masing-masing pasangan.
Akan tetapi sebagai tuan rumah yang baik, ia menyambut tamunya dengan sebaik-baiknya.
"Terima kasih atas kedatangan dan keinginan dari Nak Mas Dirgo Kundolo," balas Ki Lurah Manggolo Krasak ramah.
"Tapi, soal lamaran dan perjodohan, kami sepakat diserahkan kepada anaknya sendiri. Sebagai orang tua, kami hanya bisa merestuinya.... Ni..." jawab Ki Lurah Manggolo Krasak sederhana dan tepat ke inti masalah.
Tapi, keramah-tambahan tuan rumah tidak mencocoki hari Dirgo Kundolo.
"Ini hanya awalan Ki Lurah, jika diterima lamaranku, aku bawa lebih banyak!" tukas Dirgo Kundolo tidak sabar. Jawaban Ki Lurah Manggolo Krasak yang jelas malah disalah artikan. Seakan Ki Lurah Manggolo Krasak merasa kurang menanggapi bawaan Dirgo Kundolo.
Ki Lurah Manggolo Krasak menghela nafas dan diam-diam menarik nafas dalam, berusaha menahan diri dan mengendalikan emosinya melihat tutur kata dari tamunya yang lancang ini.
Ki Lurah Manggolo Krasak memberikan isyarat kepada Nyi Bawel yang masih menunggu di samping pintu setelah mengantar sajian kepada tamu.
Isyarat untuk memanggil Ni Sasi Manah langsung.
*
"Ayah, Ni Sasi Manah masih ingin banyak belajar, dan belum memikirkan menikah dalam waktu dekat ini," jawab lembut ringkas Ni Sasi Manah setelah mendengar niat Dirgo Kundolo untuk melamarnya. Sebagai gadis yang berpandangan maju, menganggap berterus terang adalah cara terbaik mengungkapan kandungan isi hatinya.