Mohon tunggu...
Jagat Alit
Jagat Alit Mohon Tunggu... Novelis - Konten Kreator

Mantan Super Hero. Sekarang, Pangsiun. Semoga Berkah Amin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Pahlawanku] Kang Saidin

18 Agustus 2019   21:02 Diperbarui: 18 Agustus 2019   21:10 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jika Allah menakdirkan aku berhasil. Kaya berkelebihan harta. Aku akan membangunkan sebuah mushola untuknya sebagai pengganti mushola reyot tempatku mengaji dulu.

Namanya Kang Saidin. Wajahnya bersih, bening, roman biasa saja seperti pria Sunda kebanyakan. Tutur bahasa halus dan ramah. Beliau juga murah senyum.

Seorang guru ngaji perantauan di kampungku. Kampung yang sangat " jahil " karena tak satu pun mushola, majlis taklim, apalagi masjid berdiri di kampungku.

Warganya diselimuti kegiatan yang jauh dari jalan agama. Molimo , subur terjadi di sana. Dari Mangan, Minum, Maling, Medok, dan Main.

Mangan atau makan barang yang haram, minum atau mabuk, maling atau mencuri, medok atau berzina dan main atau berjudi adalah pemandangan yang tidak asing sehari-hari di kampungku.

Begitu muramnya kehidupan di sana. Untuk mencari ilmu agama atau mengaji terpaksa harus jauh ke luar kampung.

Jika Allah menakdirkan aku berhasil. Kaya berkelebihan harta. Aku akan membangunkan sebuah Mushola untuknya sebagai pengganti mushola reyot tempatku mengaji dulu.

Kang Saidin adalah sebuah pelita yang berkelip lirih di antara kegelapan yang menyelimuti masa kecil dan remajaku.

Kerlip yang kecil namun sudah merupakan anugerah yang besar bagiku. Aku yang dicap sebagai anak sampah karena terlahir dari keluarga yang terpapar oleh kejahiliyahan kampungku.

Selalu dihina, digunjingkan dibalik punggungku. Direndahkan, dan dipandang ajaib, saat aku mulai ikut belajar di mushola kecil reyot milik Kang Saidin.

Meskipun aku masih kecil, namun perlakuan buruk itu sudah mampu aku pahami. Sebenarnya aku ingin menangis jika mengingat itu semua. Kesedihan adalah hari-hari panjang memayungi kehidupan masa kecilku.

Hanya mushola atau sebuah gubuk kecil beratap genting yang sebagian pecah, melorot dari tempatnya, sehingga kalau hujan mushola itu bocor. Dindingnya terbuat dari gedek atau anyaman bambu inilah salah satunya tempat yang mampu menerima, dan menghiburku dari omongan yang memyakitkan hati.

Kang Saidin menerimaku mengaji tanpa melihat masa lalu, latar belakang keluargaku. Membuat hariku selanjutnya yang semula muram menjadi bercahaya penuh harapan. 

*

Belajar dari mulai mengenal huruf, alif, ba, ta dan terus mengeja. Merangkai huruf, membaca huruf sambung hingga akhir dengan perlahan tapi pasti, aku mampu membaca Al Quran. Selain mengaji, diajarkan juga tentang akhlak, adab, akidah, sejarah nabi dan berbagai cerita hikmah untuk diambil pelajaran terbaiknya.

*

Kang Saidin masih muda belum menginjak usia 30 an, namun dengan beliaulah aku cocok mengaji dan alhamdulillah sampai katam Quran. 

Mushola reyot itu adalah sebagian cerita kemanisan dan keikhlasan dari Kang Saidin guru mengaji tanpa sedikut pun meminta imbalan atau bayaran.

*

Waktu bergulir sangat cepat, masa sekolah sudah sampai batas akhirnya, dengan terpaksa aku harus berusaha mencari kerja  jauh ke ibukota, meninggalkan mushola reyot dan Kang Saidin yang menitipkan wasiat agar aku di mana pun berada tetap berpegang teguh kepada agama dan Allah.

*

Jika Allah menakdirkan aku berhasil. Kaya berkelebihan harta. Aku akan membangunkan sebuah Mushola untuknya sebagai pengganti mushola reyot tempatku mengaji dulu.

Bulan berbilang bulan, tahun berbilang tahun kehidupan dari seorang diri, menikah, punya anak adalah garis takdir yang aku jalani.

Kehidupan bagai putaran nasib. Ada saat berada di atas, ada kalanya terseret di bawah.

Niatan yang selalu terpatri dalam hati yang paling dalam ternyata hanya sebuah mimpi yang tinggi tak tergapai...

Jangankan membuatkan mushola untuk Kang Saidin, kehidupanku sendiri bagaikan terjun bebas. 

Aku kehilangan semua, pekerjaan, rumah, dan kebanggan.

Malah dalam keterpurukan dan kejatuhanku, aku bersimpuh dengan uraian air mata penyesalan di ujung jemari beliau yang masih seperti dulu, simpatik, ramah dan penuh kesejukan.

Kuciumi dengan segudang curhatan kisah sengsaraku. Murid kebanggaannya hancur karena salah langkah.

Bukan marah, bukan kecewa, beliau tetap bijaksana. Membuka dan membangun kembali keimananku yang hampir luntur kepada Allah. 

Menghibur dan membangkitan semangat dan pengertian. Kang Saidin menyakinkan bahwa semua itu adalah ujian.

Jika Allah menakdirkan aku berhasil. Kaya berkelebihan harta. Aku akan membangunkan sebuah Mushola untuknya sebagai pengganti mushola reyot tempatku mengaji dulu.

Ketukan hati itu, yang terbersit, biarlah tetap menjadi mantra abadi.

Meski niatan itu belum terlaksana. Setidaknya karena Kang Saidinlah menempatkan Allah sebagai Tuhan yang pantas aku sembah selamanya.

Berpegang selalu kepada-Nya.

Allah dulu

Allah lagi

Allah selamanya.

Amin.

Salam Sejahtera

--------------

JAGAT ALIT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun