Bulan berbilang bulan, tahun berbilang tahun kehidupan dari seorang diri, menikah, punya anak adalah garis takdir yang aku jalani.
Kehidupan bagai putaran nasib. Ada saat berada di atas, ada kalanya terseret di bawah.
Niatan yang selalu terpatri dalam hati yang paling dalam ternyata hanya sebuah mimpi yang tinggi tak tergapai...
Jangankan membuatkan mushola untuk Kang Saidin, kehidupanku sendiri bagaikan terjun bebas.Â
Aku kehilangan semua, pekerjaan, rumah, dan kebanggan.
Malah dalam keterpurukan dan kejatuhanku, aku bersimpuh dengan uraian air mata penyesalan di ujung jemari beliau yang masih seperti dulu, simpatik, ramah dan penuh kesejukan.
Kuciumi dengan segudang curhatan kisah sengsaraku. Murid kebanggaannya hancur karena salah langkah.
Bukan marah, bukan kecewa, beliau tetap bijaksana. Membuka dan membangun kembali keimananku yang hampir luntur kepada Allah.Â
Menghibur dan membangkitan semangat dan pengertian. Kang Saidin menyakinkan bahwa semua itu adalah ujian.
Jika Allah menakdirkan aku berhasil. Kaya berkelebihan harta. Aku akan membangunkan sebuah Mushola untuknya sebagai pengganti mushola reyot tempatku mengaji dulu.
Ketukan hati itu, yang terbersit, biarlah tetap menjadi mantra abadi.