13 tahun sudah saya menjadi warga Kota Depok, dan saya menyadari bagaimana seni dan budaya lokal di kota ini sering kali di bawah bayang-bayang modernisasi dan gaya hidup perkotaan, rasanya untuk melihat adanya peminat bahkan acara kesenian seperti wayang, tari, ataupun kerajinan susah dan jarang sekali, bahkan jika ada promosi kegiatannya sering kali kurang terlihat dan peminatnya sedikit dan itu-itu saja. Akan tetapi, ada satu acara yang menarik perhatian saya di mana menurut saya acara ini tidak hanya menjadi wadah bagi pemuda-pemuda di Kota Depok dalam meraih prestasi, namun juga menjadi wadah bagi warisan lokal Kota Depok, yaitu Abang Mpok Depok, sebuah ajang yang bertujuan mencetak duta pariwisata dan budaya. Namun, di balik kemegahan acara ini, terdapat tantang di mana partisipasi dan perhatian masyarakat masih minim.
Abang Mpok Depok bukan sekedar kontes kecantikan, akan tetapi acara ini mengemban misi penting untuk mempromosikan keunikan budaya lokal Depok. Mirip dengan Abang None di Jakarta atau Mojang Jajaka di Bandung, Abang Mpok Depok adalah bagian dari upaya melestarikan warisan budaya di tengah gempuran tren global. Rhaya, runner-up Abang Mpok Depok 2024, mengakui bahwa engagement masyarakat terhadap acara ini masih terbatas. Meski promosi acara ini telah memanfaatkan media sosial dan platform digital, tampaknya ini belum cukup untuk menggerakkan hati masyarakat Kota Depok untuk lebih terlibat.
“Secara engagement, banyak orang familiar dengan ajang ini, tapi belum terekspos penuh terhadap apa yang kami lakukan dan dampak kami terhadap budaya lokal,” ungkapnya.
Sebagai duta pariwisata dan ekonomi kreatif, para finalis Abang Mpok berperan aktif dalam berbagai kegiatan budaya setelah acara selesai, hal ini dikarenakan mereka memang memiliki kewajiban dalam mempromosikan kekayaan seni, budaya, dan pariwisata lokal ke tingkat nasional hingga internasional. Sayangnya, kontribusi ini sering kali tidak terlihat oleh masyarakat.
Seni dan kebudayaan di Kota Depok menghadapi tantangan berat. Rhaya menyoroti kurangnya regenerasi pelaku seni sebagai salah satu masalah utama.
“Saya pribadi merasa seni dan kebudayaan di pasar domestik kita itu tergerus oleh zaman dan westernisasi yang mengakibatkan kurangnya regenerasi pelaku seni, namun sayangnya sejauh ini belum ada solusi yang begitu brilian untuk memberikan dampak sebesar itu untuk melawan tantangan yang ada,” jelasnya.
Hal ini bukan hanya terjadi pada Kota Depok, tetapi juga di banyak kota lain di Indonesia. Namun, tanpa solusi yang inovatif, tradisi lokal berisiko kehilangan relevansi di mata generasi muda. Rhaya juga menambahkan bahwa masyarakat Kota Depok sebenarnya memiliki minat terhadap seni dan budaya, tetapi sering kali mendapatkan dorongan dan fasilitas yang memadai untuk mendukung partisipasi mereka. Menurut saya, workshop seni gratis di sekolah atau kolaborasi dengan influencer lokal dapat menjadi salah satu solusi untuk menarik perhatian generasi muda.
Meski menghadapi berbagai tantangan, masih ada harapan untuk seni dan budaya Depok. Rhaya percaya bahwa pemerintah dan komunitas terkait harus bekerja sama untuk memberikan lebih banyak eksposur dan kesempatan kepada masyarakat.
“Yang pasti, jangan sampai tradisi lokal mati. Dengan upaya yang dapat dilakukan pemerintah dan dibantu oleh aspek-aspek terkait di bidangnya, saya harap seni dan kebudayaan Kota Depok dapat lebih dikenal luas,” tuturnya.
Rhaya mengaku keterlibatannya dalam Abang Mpok Depok telah membuka matanya terhadap kekayaan tradisi lokal.
“dengan koneksi dan pengalaman yang saya dapat, mata saya lebih terbuka terhadap seni dan tradisi yang sebelumnya tidak saya ketahui, seperti batik gong si bolong yang terinspirasi oleh Tugu Gong Si Bolong di Tanah Baru, darah Belanda yang kental hidup di antara orang-orang depok khususnya di area Jl. Pemuda, dan masih banyak lagi,” ucapnya.
Menurut saya, permasalahan yang terjadi di sini menunjukkan kurangnya peran pemerintah dan masyarakat dalam melestarikan dan mempromosikan seni budaya yang dimiliki Kota Depok. Namun, dengan diadakannya Abang Mpok Depok, meskipun belum sempurna, tetap menjadi salah satu alat penting untuk menjaga identitas budaya lokal sekaligus menjadi pemantik peminat serta rasa peduli kita sebagai warga lokal terhadap seni budaya yang kita miliki. Dengan usaha bersama, kita dapat memastikan budaya Depok tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dan menginspirasi generasi mendatang. Salah satu seniman pedalangan yang saya temui dalam acara Hari Wayang Dunia 2024 yang diselenggarakan di pendhapa ISI Surakarta, pernah berkata “jika tidak ingin melakoni maka setidaknya senangi,” tuturnya, kutipan ini mengingatkan kita bahwa menjaga seni dan budaya lokal bisa dimulai dari hal sederhana, oleh karena itu marilah kita mulai dari langkah kecil, dengan cara mencintai dan menghargai seni budaya yang kita miliki.
Penulis: Jagadhitra Sikumago
Program Studi: Film dan Televisi, Insitut Seni Indonesia Surakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H