Menariknya, adalah Mahfud MD yang menjadi pimpinan MK dan sekaligus memimpin persidangan gugatan perkara yang sama, di mana pada 23 Desember 2008 memutuskan penerapan sistem proporsional terbuka, keputusan yang final dan mengikat.
Sistem proporsional terbuka juga dipandang lebih demokratis, mengutamakan pilihan langsung rakyat terhadap calon anggota dewan terkait, karena mereka sudah memahami rekam jejak calon anggota dewan pilihannya.
Ini berbeda dengan penerapan sistem proporsional tertutup, dengan partai yang menentukan keterpilihan, bukan sekadar memperoleh suara terbanyak, maka secara tidak langsung partai seperti mengebiri hak-hak rakyat. Dalam pendapat para pengamat, rakyat seperti membeli kucing dalam karung.
Sebagaimana disampaikan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Dr. Zainal Arifin Mochtar, SH, LLM, terkait dengan pro-kontra sistem pencoblosan Pileg yang sensitif tersebut, ada kecenderungan di tengah masyarakat untuk tetap menghendaki sistem proporsional terbuka.
Mengurai sistem proporsional terbuka dan tertutup, Zainal Arifin Mochtar menegaskan jika keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun, Zainal Arifin Mochtar juga menjelaskan tentang hak demokratis masyarakat untuk mencoblos calon anggota legislatif yang dikehendakinya, dengan berbagai pertimbangan antara lain kemampuan dan integritasnya.
Selama ini masyarakat lebih memilih nomor urut di samping partai. Hasil riset yang dilakukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyimpulkan bahwa 60% calon anggota legislatif terpilih berdasarkan nomor urut.
Sebagaimana dikutip dari Kompas.com, Zainal Arifin Mochtar menekankan tentang penegakan hukumnya. Penegakan hukum wajib dijalankan, untuk membuat berbagai pembatasan, termasuk jor-joran dalam penggunaan uang atau dana kampanye...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H