SELASA, 17 Januari 2023 ini, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali melanjutkan persidangan uji Undang Undang Pemilu. Sidang ketiga dari gugatan atas pasal 168 ayat (2) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang teregistrasi sebagai perkara bernomor 114/PUU-XX/2022 tersebut sebenarnya diagendakan pada 20 Desember 2002, namun kemudian ditangguhkan ke hari ini.
Agenda persidangan hari ini, mendengarkan keterangan dari Presiden dan DPR. Pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah memberikan keterangannya. Ketua KPU, Hasyim Asy'ari, secara resmi telah meminta maaf atas pernyataannya tentang sistem pencoblosan Pemilu 2024 yang kemudian menimbulkan perdebatan.
Seandainya Hasyim Asy'ari tidak 'bergenit-genit' membuka adanya pengajuan gugatan uji materi sistem pencoblosan pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 tersebut, masalah ini tidak akan menimbulkan perdebatan atau polemik berkepanjangan.
Tidak perlu juga membuat delapan pimpinan parpol pro sistem pencoblosan proporsional terbuka merumuskan sikap yang intinya menyesalkan adanya kehebohan tersebut. Pucuk pimpinan partai Golkar, Gerindra, PAN, PPP, Demokrat, NasDem, PKB dan PKS, kompak. Seperti diketahui, hanya PDIP yang masih pro sistem proporsional tertutup, yang sebenarnya sudah "tutup buku" pasca Pemilu 2004.
Ketua MK Anwar Usman dan delapan Hakim Konstitusi lainnya tentulah mampu menyidangkan gugatan uji materi sistem pencoblosan Pileg ini dengan bijak. Sebagaimana disampaikan oleh para pimpinan delapan parpol pro sistem proporsional terbuka, sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak telah menjadi pilihan rakyat, sebagaimana pelaksanaan Pileg 2009, 2014 dan 2019 tersaji baik tanpa diwarnai kendala berarti.
Di samping lebih disukai rakyat sistem proporsional terbuka pada dasarnya juga tidak menafikan keterwakilan partai. Pertimbangan ini sebagai respon atas tudingan bahwa sistem proporsional terbuka cenderung mengabaikan partai, mewakili diri sendiri.
Sistem proporsional tertutup mengedepankan otoritas kepartaian, Â yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Sekadar menegaskan kembali, pasal 168 ayat (2) Undang-undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 mengatur bahwa pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Sistem proporsional terbuka pada  Pileg sudah dijalankan pada Pemilu  2009, 2014 dan 2019. Sementara sistem proporsional tertutup dilaksanakan pada Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, Pemilu 1999 dan 2004.
Â
Penerapan sistem proporsional terbuka disebut-sebut menimbulkan berbagai permasalahan, termasuk rawan "money politics". Namun, masalah politik uang ini sudah ramai-ramai ditepis oleh para pimpinan parpol.
Bahkan, seperti disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD, politik uang tak terhindarkan terjadi pada setiap Pemilu karena adanya kecenderungan rakyat untuk memperolehnya.
Menariknya, adalah Mahfud MD yang menjadi pimpinan MK dan sekaligus memimpin persidangan gugatan perkara yang sama, di mana pada 23 Desember 2008 memutuskan penerapan sistem proporsional terbuka, keputusan yang final dan mengikat.
Sistem proporsional terbuka juga dipandang lebih demokratis, mengutamakan pilihan langsung rakyat terhadap calon anggota dewan terkait, karena mereka sudah memahami rekam jejak calon anggota dewan pilihannya.
Ini berbeda dengan penerapan sistem proporsional tertutup, dengan partai yang menentukan keterpilihan, bukan sekadar memperoleh suara terbanyak, maka secara tidak langsung partai seperti mengebiri hak-hak rakyat. Dalam pendapat para pengamat, rakyat seperti membeli kucing dalam karung.
Sebagaimana disampaikan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Dr. Zainal Arifin Mochtar, SH, LLM, terkait dengan pro-kontra sistem pencoblosan Pileg yang sensitif tersebut, ada kecenderungan di tengah masyarakat untuk tetap menghendaki sistem proporsional terbuka.
Mengurai sistem proporsional terbuka dan tertutup, Zainal Arifin Mochtar menegaskan jika keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun, Zainal Arifin Mochtar juga menjelaskan tentang hak demokratis masyarakat untuk mencoblos calon anggota legislatif yang dikehendakinya, dengan berbagai pertimbangan antara lain kemampuan dan integritasnya.
Selama ini masyarakat lebih memilih nomor urut di samping partai. Hasil riset yang dilakukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyimpulkan bahwa 60% calon anggota legislatif terpilih berdasarkan nomor urut.
Sebagaimana dikutip dari Kompas.com, Zainal Arifin Mochtar menekankan tentang penegakan hukumnya. Penegakan hukum wajib dijalankan, untuk membuat berbagai pembatasan, termasuk jor-joran dalam penggunaan uang atau dana kampanye...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H