ADA dua koalisi yang sudah terbentuk. Yakni, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Indonesia Raya (KIR). KIB yang beranggotakan Golkar, PAN dan PPP terkesan solid. Berbeda dengan KIR. Gerindra dan PKB terlihat hanya kompak di awal, namun dalam perjalanannya lebih sering berselisih. Terkini dikabarkan, KIR sudah pecah.
Isu pecahnya KIR mengemuka pada sebagian anggota parlemen belakangan ini. Hubungan Gerindra dan PKB disebut-sebut sudah kurang mesra. Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar, petinggi kedua partai, juga disebut-sebut sudah semakin jarang menjalin komunikasi.
Sebenarnya, kabar tak sedap mengenai retaknya KIR sudah cukup lama tercium. Pemicunya disebut-sebut karena KIR belum juga mendeklarasikan pasangan capres dan cawapres yang diusung untuk Pilpres 2024. Cak Imin terutama yang menghendaki KIR segera mengumumumkan duet petarung untuk Pilpres 2024 tersebut.
Pembentukan KIR memang tak terlepas dari pemikiran menghadapi kontestasi akbar politik dua tahun mendatang itu. Gerindra dan PKB tak hanya berkolaborasi untuk menghadapi Pemilu 2024, akan tetapi juga Pilpres. Kedua partai tentunya mengharapkan mendapatkan limpahan elektoral yang baik di Pilkada serentak, yang digelar pasca Pilpres dan Pileg.
Namun, mayoritas elit Gerindra tampaknya tidak sepaham dengan hal itu. Pengusungan duet Prabowo Subianto-Muhaimin Iskandar untuk Pilpres tidak serta merta menguntungkan mereka di Pilkada.
Hal itu juga yang membuat mayoritas elit Gerindra tampaknya kurang sreg jika Prabowo Subianto dipasangkan dengan Cak Imin. Dari berbagai hasil survei mengenai kandidat presiden ideal pengganti Joko Widodo, Prabowo Subianto terus moncer. Berbeda dengan Cak Imin. Ketika disimulasikan sebagai pasangan dan dipertarungkan dengan pasangan lain, duet Prabowo-Cak Imin juga kurang laik jual.
Kombinasi Prabowo-Cak Imin bahkan masih kalah jauh dibanding opsi Prabowo-Erick Thohir atau Prabowo-Sandiaga Uno. Jangan lagi dibandingkan dengan duet Ganjar Pranowo-Erick Thohir atau Airlangga Hartarto-Erick Thohir.
Pertimbangan soal limpahan elektoral itu pula yang antara lain disebut-sebut sebagai salah satu faktor yang menghambat pembentukan Koalisi Perubahan (KP), yang diinisiasi oleh NasDem, Demokrat dan PKS.
KP ini belum terbentuk karena terganjal sejumlah masalah, yang terbesar adalah keinginan Demokrat dan PKS untuk mengajukan jagoannya masing-masing sebagai pendamping Anies Baswedan yang sudah diusung NasDem sebagai bakal calon presiden mereka.
Demokrat keukeuh mengajukan Agus Harimurti Yudhoyono, ketua umumnya, sebagai cawapres. Di sisi lain, PKS juga masih ngotot menggolkan Wakil Ketua Dewan Syuro Ahmad Heryawan menjadi pendamping Anies. Â
Dalam pemahahaman elit NasDem, mereka merasa tidak akan mendapatkan limpahan elektoral jika AHY yang dipasangkan dengan Anies. Demikian juga dengan pendapat PKS. Menurut NasDem dan PKS, yang akan diuntungkan dan mendapatkan limpahan elektoral adalah Demokrat sendiri. NasDem dan PKS akan dirugikan. Dari sisi NasDem dan Demokrat, jika Ahmad Heryawan atau Aher yang jadi cawapres, limpahan elektoral hanya akan didapat PKS.
Faktor cawapres inilah yang diduga menjadi penyebab alotnya rencana pembentukan Koalisi Perubahan. Demokrat dan PKS cenderung ingin mengajukan kader masing-masing supaya mendapat keuntungan elektoral. Dari sisi NasDem, faktor popularitas Anies dinilai akan menguntungkan mereka. Apalagi jika Koalisi Perubahan akhirnya terbentuk dan Anies mendapat durian runtuh menjadi presiden.
Variabel cawapres dalam Koalisi Perubahan ini yang menjadi faktor penentu terbentuk atau tidaknya Koalisi Perubahan. Dibandingkan dengan PKS, Demokrat tampak lebih ngotot untuk memajukan nama AHY. Terbetik kabar jika pertengahan atau akhir Januari ini PKS akan menentukan sikapnya, apakah tetap memajukan Aher atau tidak, misalnya mendukung AHY.
Di samping faktor cawapres, Nasdem, Demokrat, maupun PKS juga masih berhitung soal peluang konstelasi politik ke depan. Langkah ketiganya dan parpol-parpol lain bergantung pada keputusan yang akan diambil oleh PDI Perjuangan. Sebagai partai penguasa dengan elektabilitas tertinggi, pencapresan dan koalisi PDI-P disebut mampu mengubah peta politik Pemilu 2024.
Artinya, peta politik yang ada saat ini masih bisa berubah. Tak hanya rencana koalisi Nasdem, Demokrat, dan PKS saja, kerja sama parpol-parpol lainnya yang sudah terbentuk masih sangat mungkin bubar...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H