Pendahuluan
"Partailah jang memegang obor, partailah jang berdjalan di muka, partailah jang menjuluhi djalan jang gelap...Partailah jang memimpin massa itu di dalam perdjoangannja merebahkan musuh...Partailah jang harus memberi ke-bewust-an pada pergerakan massa, memberi kesadaran, memberi keradikalan" (Soekarno, Mentjapai Indonesia Merdeka 1933).Â
Begitulah partai politik dideskripsikan oleh the founding father, Bung Karno. Sedang menurut Miriam Budiarjo,
partai politik adalah sekelompok orang yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama (Budiardjo, 2016).
Di jantung demokrasi Indonesia, partai politik bagaikan denyut nadi yang menggerakkan partisipasi rakyat dan mengantarkan suara-suara aspirasi menuju kursi pemerintahan. Dalam kancah politik yang kompleks dan dinamis, pemahaman mendalam tentang peran dan fungsi partai politik, serta sistem ambang batas parlemen, menjadi kunci untuk memetakan masa depan demokrasi bangsa.
Fungsi partai politik itu vital karena tidak hanya sebagai penampung aspirasi, melainkan untuk menjaga keberlangsungan demokrasi itu sendiri. Berikut beberapa fungsi dari partai politik:
- Fungsi Artikulasi Kepentingan: Partai politik menjadi corong aspirasi dan kepentingan rakyat, menyuarakan kebutuhan dan harapan mereka kepada pemerintah.
- Fungsi Agregasi Kepentingan: Beragam kepentingan yang berbeda dalam masyarakat dihimpun dan disatukan oleh partai politik menjadi satu kesatuan yang koheren.
- Fungsi Sosialisasi Politik: Partai politik berperan penting dalam mengedukasi dan menyebarkan informasi politik kepada masyarakat, meningkatkan literasi dan kesadaran politik rakyat.
- Fungsi Rekrutmen Politik: Melalui mekanisme internalnya, partai politik menyeleksi dan memilih kader-kader terbaik untuk menduduki jabatan-jabatan politik, memastikan representasi yang berkualitas dalam pemerintahan.
- Fungsi Partisipasi Politik: Partai politik memotivasi dan mengajak masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses politik, memperluas partisipasi rakyat dalam mewujudkan demokrasi yang inklusif (Budiardjo, 2016).
Dalam konteks pemilu, partai politik secara sederhana merupakan kendaraan politik bagi calon-calon legislatif dan eksekutif (Ansari, Syamsu, & Ekawaty, 2022). Oleh karena itu, peranan partai politik dalam penyelenggaraan pemilu ini cukup penting karena menjadi wadah untuk menyaring para calon kandidat. Untuk membangun sebuah sistem pemerintahan, keterkaitan antara sistem pemilu dan sistem kepartaiannya tidak dapat dilepaskan (MU’MIN & SANUSI, 2020). Hal ini dikarenakan posisi dan peranan strategis yang dimainkan oleh partai politik dalam sistem demokrasi. Perlu kita ingat bahwa salah satu fungsi dari partai politik yang telah disebutkan juga sebagai jembatan atau perantara antara pemerintah dengan warga negara atau sebaliknya.
Di tahun 2024 ini, Indonesia kembali mengadakan hajatan terbesar lima tahun sekali untuk memilih wakil mereka di parlemen sekaligus pemimpin untuk menakhodai Indonesia selama lima tahun ke depan. Selalu ada bahasan menarik ketika kita berbicara terkait pelaksanaan pemilu di Indonesia. Jika berkaca pada UU No. 7 Tahun 2017 yang mengatur pemilihan umum, selain pelaksanaan pemilu yang dilaksanakan secara serentak, hal-hal seperti parliamentary threshold, dan presidential threshold, menjadi bahasan yang cukup menarik karena memiliki keterikatan. Lebih jauh dari itu, hal-hal yang disebutkan di atas menjadi tantangan konkret bagi partai politik peserta pemilu juga pada hasil akhir Pemilu 2024 juga.
Isi dan Pembahasan
1. Parliamentary Threshold sebagai Tantangan Partai Politik Peserta Pemilu
Parliamentary Threshold atau ambang batas parlemen adalah perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (MU’MIN & SANUSI, 2020). Jika berkaca pada UU No. 7 Tahun 2017 yang mengatur pemilihan umum, parliamentary threshold tentunya tidak luput menjadi substansi di dalamnya. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa besaran ambang batas parlemen di Indonesia itu sebesar 4%. Artinya, sebuah partai jika ingin lolos untuk ikut perhitungan kursi di Senayan sana harus minimal memperoleh total suara sebanyak 4% dari jumlah suara sah secara nasional.
Lantas, apa sebetulnya tujuan dari diberlakukannya ambang batas ini karena jumlah 4% yang disebutkan sebelumnya bukanlah jumlah yang sedikit dan banyak menghasilkan residu suara dari partai politik yang tidak dapat memenuhi ambang batas (Putri, Ayuningtyas, Mariyam, & Syahida, 2023). Terlebih, di parlemen sendiri tidak fraksi yang berisikan gabungan dari partai-partai politik yang tidak dapat memenuhi ambang batas. Namun, tujuan dari diberlakukannya parliamentary threshold ini secara normatif baik karena untuk menjaga stabilitas di pemerintahan itu sendiri. Dalam sidang pengujian ketentuan ambang batas parlemen untuk perolehan kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang juga diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), menurut pemerintah ambang batas parlemen tersebut tidak melanggar apa pun. Jumlah partai politik yang ada di parlemen tidak dapat dijadikan satu-satunya indikator demokratis atau tidaknya sebuah negara (Humas MKRI, 2023). Pemberlakuan ambang batas ini juga idealnya untuk mendorong persaingan kuat antar partai politik peserta pemilu. Namun, apakah hal tersebut sudah benar-benar terjadi?
Rasa-rasanya, mewujudkan pemerintahan yang stabil dan membangun iklim persaingan yang sehat hanya alibi semata dari partai-partai lama yang sudah memiliki basis suara. Pemberlakuan ambang batas parlemen ini hanya terkesan untuk mengamankan suara partai-partai politik lama dengan membabat habis partai-partai politik baru yang belum memiliki basis suara yang besar melalui regulasi (Ansari, Syamsu, & Ekawaty, 2022). Efektivitas sebuah undang-undang itu dinilai berdasarkan ukuran pantas atau tidak pantas, bukan dengan ukuran benar atau salah. Tidak etis rasanya jika harus menghanguskan suara masyarakat yang memberikan legitimasi pembentukan regulasi dengan dalil efektivitas roda pemerintahan (Taufiqurrohman, 2021). Padahal, demokrasi sendiri menghendaki dan menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Ambang batas secara eksplisit memang merugikan partai politik, namun secara implisit merugikan rakyat utamanya mereka yang suaranya harus hangus karena memilih partai yang tidak lolos ke parlemen (Putri, Ayuningtyas, Mariyam, & Syahida, 2023). Ketiadaan landasan filosofis dari awal perumusan regulasi ini juga pada akhirnya menyebabkan penerapan ambang batas parlemen ini justru menjadi ancaman bagi partai kecil atau baru yang akhirnya berujung pada pemilu yang diskriminatif dan eksklusif karena sirkulasi elitenya hanya berputar di partai politik besar (Firdaus, Â 2016:14). Hal ini semakin diperkuat karena setiap edisi pemilu jumlah atau besar dari parliamentary threshold ini sendiri tidak konsisten, sehingga indikasi bahwa regulasi ini merupakan kepentingan dari partai politik besar sulit untuk terbantahkan.
Pada akhirnya keberadaan ambang batas atau parliamentary threshold ini menjadi tantangan serius bagi partai politik terutama yang baru didirikan dan belum memiliki basis suara yang kuat (Taufiqurrohman, 2021). Tidak jarang dari partai politik peserta pemilu utamanya yang kecil dan tidak memiliki tokoh populer harus ikut mengekor pada mereka yang besar dan memiliki tokoh, terlebih tokoh yang dimaksud adalah yang akan dicalonkan menjadi presiden karena kebetulan di Indonesia sendiri tahun 2024 ini pemilunya dilaksanakan secara serentak. Tantangan lainnya bagi partai politik terutama yang baru adalah bagaimana mereka seharusnya muncul membawa sesuatu yang baru yang tidak ditawarkan oleh partai politik besar atau lama. Permasalahan yang terjadi adalah partai politik baru tidak jauh berbeda bahkan cenderung memiliki segmentasi yang sama dengan partai politik lama (Taufiqurrohman, 2021). Sehingga, mereka hanya melakukan shadowing terhadap partai lama dan berimbas pada perolehan suara yang cenderung stagnan di bawah ambang batas yang telah ditentukan.
2. Refleksi Pemilu Tahun 2024
Dalam kasus pemilu 2024, parliamentary threshold memberikan banyak sekali implikasi terhadap keberjalanan pemilu kali ini. Hal yang paling terlihat jelas adalah jumlah partai politik yang lolos untuk mengisi kursi di parlemen berkurang dari sembilan partai menjadi delapan partai saja. Tereliminasinya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dari perebutan kursi di parlemen menjadi sebuah anomali dalam pemilu pasca-orde baru. PPP merupakan partai politik lama yang tentunya sudah memiliki basis suara yang mengakar. Bahkan jika dilihat dari awal berdirinya, PPP sangat layak disandingkan dengan PDI (sekarang menjadi PDIP) dan Golkar yang dari hasil kemarin menempati urutan pertama dan kedua perolehan suara pemilu. Fenomena ini menghadirkan anggapan baru bahwa sebetulnya ambang batas ini tidak hanya merugikan partai baru, melainkan partai lama juga. Residu dari suara PPP ini cukup besar karena berdasarkan rekapitulasi hasil pemilu yang dilakukan KPU RI, PPP belum melewati ambang batas parlemen yakni 3,87% dengan jumlah suara 5.878.777 suara (Perludem, 2024). Jumlah tersebut tidaklah sedikit, terlebih PPP bukan satu-satunya partai politik yang tidak dapat lolos ke parlemen.
Di sisi lain, beberapa partai politik menaiki kenaikan suara yang cukup lumayan jika dibandingkan pemilu edisi sebelumnya. Sebelumnya, sudah disinggung bahwa antara parliamentary threshold, presidential threshold, dan pelaksanaan pemilu secara serentak sangat berkaitan satu sama lain. Tidak lolosnya PPP karena berkurangnya suara mereka dibandingkan pemilu edisi sebelumnya, tidak dapat dilepaskan dari posisi mereka yang berkoalisi dengan PDIP dalam pencalonan Ganjar Pranowo. Pemilu edisi kali ini, meskipun PDIP keluar sebagai jawara tapi tidak menafikan fakta bahwa mereka kehilangan suara cukup besar yang mana jika dibandingkan edisi sebelumnya persentase penurunannya sekitar 6,16% (CNBC Indonesia, 2024). Sementara untuk partai koalisi yang mengusung Anies Baswedan mengalami kenaikan meskipun tidak sesignifikan kenaikan suara partai pengusung Prabowo Subianto.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa untuk dapat menaikkan perolehan suara dalam pemilu, mendukung calon presiden dengan potensi kemenangan paling tinggi adalah kunci mutlak. Sebagai contoh, PSI yang meskipun tidak lolos seperti PPP tetapi karena ikut dalam barisan koalisi pengusung Prabowo Subianto, perolehan suara keduanya tidak berbeda jauh meskipun PSI tergolong partai baru jika dibandingkan dengan PPP. Ini juga mengindikasikan bahwa keterkaitan antara parliamentary threshold, presidential threshold, dan pemilu serentak tidak dapat terelakkan.
Penutup
Untuk menciptakan reformasi politik terutama dalam sistem pemilu dan sistem kepartaian di Indonesia itu bergantung pada kesepakatan elit politik karena mereka sejauh ini yang memegang kuasa untuk membuat aturan, meskipun kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Sejauh ini upaya tersebut belum terlihat konkret dibuktikan dengan aturan ambang batas yang kerap kali berubah setiap edisi pemilu. Padahal, reformasi itu seharusnya tidak bersifat parsial atau sementara, tetapi harus fundamental dengan menyasar akar permasalahan yang terjadi. Dalam pembuatan kebijakan, landasan filosofis rasanya menjadi penting guna efek jangka panjang yang memang diharapkan. Pasalnya, ini tidak terjadi dalam penerapan aturan ambang batas parlemen yang dibuktikan dengan inkonsistensi aturan tersebut.
Namun, pada akhirnya aturan sudah diterapkan dan partai politik sebagai pemilu tidak bisa serta merta menyalahkan regulasi atas ketidakberhasilan mereka melewati ambang batas yang sudah ditentukan. Pada akhirnya, partai politik terutama yang baru lahir juga harus mampu bertransformasi dengan menawarkan sesuatu yang tidak ditawarkan partai lain. Jika tidak, hal ini akan terus menjadi lingkaran setan dan perputaran elit hanya akan terjadi dalam partai-partai lama saja. Selain itu, dari kasus tidak lolosnya PPP juga menggambarkan bahwa partai lama tidak serta merta dapat lolos begitu saja. Mereka harus adaptif dengan perkembangan zaman dan harus mampu menarik masyarakat dengan gagasan yang mereka bawakan.
Paliamentary threshold atau ambang batas bukanlah satu-satunya cara untuk dapat melaksanakan efektivitas pemerintahan. Sejauh ini alibi tersebut hanya menegasikan kepentingan partai politik dalam hal ini partai politik lama yang tidak ingin kekuasaannya diganggu. Sejatinya kekuasaan itu adalah candu, sehingga banyak penguasa dalam konteks ini partai politik sangat sulit melepaskan kekuasaannya. Hal ini turut dikonfirmasi secara implisit oleh Bambang Wuryanto melalui akun instagramnya salah satu politisi kawakan PDIP yang menjelaskan bahwa Korea-korea (politisi) termasuk partai politik itu berbeda dengan pesawat jet. Pesawat jet ketika sudah lepas landas akan ada waktunya untuk mendarat, sedang para politisi ini ketika sudah lepas landas dan terbang tinggi akan sangat sulit untuk mereka mau turun atau melepaskan kekuasaannya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sejauh ini akan sangat sulit untuk dapat menciptakan regulasi yang berkeadilan dalam sistem pemilu karena partai politik lama memiliki andil dalam perumusan kebijakannya. Meskipun, MK mengamanatkan bahwa besaran PT ini harus diubah sebelum Pemilu 2029 nanti, bukan tidak mungkin di edisi-edisi berikutnya akan kembali diubah seperti yang sudah terjadi sebelumnya. Ini mengingat kebijakan yang mengatur regulasi pemilu itu sangat sarat akan kepentingan partai politik.
Daftar Pustaka
Ansari, A. N., Syamsu, S., & Ekawaty, D. (2022). Relevansi Parliamentary Threshold dan Sistem Kepartaian di Indonesia. Palita: Journal of Social Religion Research April 2022, Vol.7, No.1, ISSN(P): 2527-3744; ISSN(E):2527-3752 http://ejournal-iainpalopo.ac.id/palita DOI: http://10.24256/pal.v7i1.2851, 81-96.
Budiardjo, M. (2016). Pengantar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
CNBC Indonesia. (2024, Maret 22). Pemilu 2024 vs 2019: PDIP Turun 6%, Golkar Terbang 34%, PKS Naik 11%. Diambil kembali dari https://www.cnbcindonesia.com/research/20240322085805-128-524342/pemilu-2024-vs-2019-pdip-turun-6-golkar-terbang-34-pks-naik-11
Humas MKRI. (2023). Ambang Batas Parlemen untuk Menyederhanakan Sistem Kepartaian. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI.
MU’MIN, M. S., & SANUSI. (2020). IMPLIKASI AMBANG BATAS PARLIAMENTARY THRESHOLD TERHADAP KURSI PARLEMEN. JURNAL HUKUM RESPONSIF VOL. 11, NO. 1, FEBRUARI 2020.
Pemerintah Indonesia. (2017). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Jakarta.
Perludem. (2024, Maret 25). Tak Lolos Ambang Batas Parlemen, Ke Mana Larinya Suara PPP? Begini Analisis Perludem. Diambil kembali dari https://perludem.org/2024/03/25/tak-lolos-ambang-batas-parlemen-ke-mana-larinya-suara-ppp-begini-analisis-perludem/#:~:text=Berdasarkan%20rekapitulasi%20hasil%20pemilu%20yang,jumlah%20suara%205.878.777%20suara.
Putri, V. I., Ayuningtyas, V., Mariyam, Y. S., & Syahida, L. S. (2023). Pelanggaran Hak Kedaulatan bagi Rakyat Secara Sistematis dalam Parliamentary Threshold pada Pemilu di Indonesia. Al-Manhaj: Jurnal Hukum dan Pranata Sosia Volume 5 Number 1 E-ISSN: 2686-4819P-ISSN: 2686-1607, 673-680.
Taufiqurrohman, M. M. (2021). Meninjau Penerapan Ambang Batas Pemilihan pada Sistem Pemilihan Umum Proporsional di Indonesia. POLITIKA: Jurnal Ilmu Politik Vol.12, No. 1, 2021doi: 10.14710/politika.12.1.2021, 128-143.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H