Pada akhirnya keberadaan ambang batas atau parliamentary threshold ini menjadi tantangan serius bagi partai politik terutama yang baru didirikan dan belum memiliki basis suara yang kuat (Taufiqurrohman, 2021). Tidak jarang dari partai politik peserta pemilu utamanya yang kecil dan tidak memiliki tokoh populer harus ikut mengekor pada mereka yang besar dan memiliki tokoh, terlebih tokoh yang dimaksud adalah yang akan dicalonkan menjadi presiden karena kebetulan di Indonesia sendiri tahun 2024 ini pemilunya dilaksanakan secara serentak. Tantangan lainnya bagi partai politik terutama yang baru adalah bagaimana mereka seharusnya muncul membawa sesuatu yang baru yang tidak ditawarkan oleh partai politik besar atau lama. Permasalahan yang terjadi adalah partai politik baru tidak jauh berbeda bahkan cenderung memiliki segmentasi yang sama dengan partai politik lama (Taufiqurrohman, 2021). Sehingga, mereka hanya melakukan shadowing terhadap partai lama dan berimbas pada perolehan suara yang cenderung stagnan di bawah ambang batas yang telah ditentukan.
2. Refleksi Pemilu Tahun 2024
Dalam kasus pemilu 2024, parliamentary threshold memberikan banyak sekali implikasi terhadap keberjalanan pemilu kali ini. Hal yang paling terlihat jelas adalah jumlah partai politik yang lolos untuk mengisi kursi di parlemen berkurang dari sembilan partai menjadi delapan partai saja. Tereliminasinya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dari perebutan kursi di parlemen menjadi sebuah anomali dalam pemilu pasca-orde baru. PPP merupakan partai politik lama yang tentunya sudah memiliki basis suara yang mengakar. Bahkan jika dilihat dari awal berdirinya, PPP sangat layak disandingkan dengan PDI (sekarang menjadi PDIP) dan Golkar yang dari hasil kemarin menempati urutan pertama dan kedua perolehan suara pemilu. Fenomena ini menghadirkan anggapan baru bahwa sebetulnya ambang batas ini tidak hanya merugikan partai baru, melainkan partai lama juga. Residu dari suara PPP ini cukup besar karena berdasarkan rekapitulasi hasil pemilu yang dilakukan KPU RI, PPP belum melewati ambang batas parlemen yakni 3,87% dengan jumlah suara 5.878.777 suara (Perludem, 2024). Jumlah tersebut tidaklah sedikit, terlebih PPP bukan satu-satunya partai politik yang tidak dapat lolos ke parlemen.
Di sisi lain, beberapa partai politik menaiki kenaikan suara yang cukup lumayan jika dibandingkan pemilu edisi sebelumnya. Sebelumnya, sudah disinggung bahwa antara parliamentary threshold, presidential threshold, dan pelaksanaan pemilu secara serentak sangat berkaitan satu sama lain. Tidak lolosnya PPP karena berkurangnya suara mereka dibandingkan pemilu edisi sebelumnya, tidak dapat dilepaskan dari posisi mereka yang berkoalisi dengan PDIP dalam pencalonan Ganjar Pranowo. Pemilu edisi kali ini, meskipun PDIP keluar sebagai jawara tapi tidak menafikan fakta bahwa mereka kehilangan suara cukup besar yang mana jika dibandingkan edisi sebelumnya persentase penurunannya sekitar 6,16% (CNBC Indonesia, 2024). Sementara untuk partai koalisi yang mengusung Anies Baswedan mengalami kenaikan meskipun tidak sesignifikan kenaikan suara partai pengusung Prabowo Subianto.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa untuk dapat menaikkan perolehan suara dalam pemilu, mendukung calon presiden dengan potensi kemenangan paling tinggi adalah kunci mutlak. Sebagai contoh, PSI yang meskipun tidak lolos seperti PPP tetapi karena ikut dalam barisan koalisi pengusung Prabowo Subianto, perolehan suara keduanya tidak berbeda jauh meskipun PSI tergolong partai baru jika dibandingkan dengan PPP. Ini juga mengindikasikan bahwa keterkaitan antara parliamentary threshold, presidential threshold, dan pemilu serentak tidak dapat terelakkan.
Penutup
Untuk menciptakan reformasi politik terutama dalam sistem pemilu dan sistem kepartaian di Indonesia itu bergantung pada kesepakatan elit politik karena mereka sejauh ini yang memegang kuasa untuk membuat aturan, meskipun kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Sejauh ini upaya tersebut belum terlihat konkret dibuktikan dengan aturan ambang batas yang kerap kali berubah setiap edisi pemilu. Padahal, reformasi itu seharusnya tidak bersifat parsial atau sementara, tetapi harus fundamental dengan menyasar akar permasalahan yang terjadi. Dalam pembuatan kebijakan, landasan filosofis rasanya menjadi penting guna efek jangka panjang yang memang diharapkan. Pasalnya, ini tidak terjadi dalam penerapan aturan ambang batas parlemen yang dibuktikan dengan inkonsistensi aturan tersebut.
Namun, pada akhirnya aturan sudah diterapkan dan partai politik sebagai pemilu tidak bisa serta merta menyalahkan regulasi atas ketidakberhasilan mereka melewati ambang batas yang sudah ditentukan. Pada akhirnya, partai politik terutama yang baru lahir juga harus mampu bertransformasi dengan menawarkan sesuatu yang tidak ditawarkan partai lain. Jika tidak, hal ini akan terus menjadi lingkaran setan dan perputaran elit hanya akan terjadi dalam partai-partai lama saja. Selain itu, dari kasus tidak lolosnya PPP juga menggambarkan bahwa partai lama tidak serta merta dapat lolos begitu saja. Mereka harus adaptif dengan perkembangan zaman dan harus mampu menarik masyarakat dengan gagasan yang mereka bawakan.
Paliamentary threshold atau ambang batas bukanlah satu-satunya cara untuk dapat melaksanakan efektivitas pemerintahan. Sejauh ini alibi tersebut hanya menegasikan kepentingan partai politik dalam hal ini partai politik lama yang tidak ingin kekuasaannya diganggu. Sejatinya kekuasaan itu adalah candu, sehingga banyak penguasa dalam konteks ini partai politik sangat sulit melepaskan kekuasaannya. Hal ini turut dikonfirmasi secara implisit oleh Bambang Wuryanto melalui akun instagramnya salah satu politisi kawakan PDIP yang menjelaskan bahwa Korea-korea (politisi) termasuk partai politik itu berbeda dengan pesawat jet. Pesawat jet ketika sudah lepas landas akan ada waktunya untuk mendarat, sedang para politisi ini ketika sudah lepas landas dan terbang tinggi akan sangat sulit untuk mereka mau turun atau melepaskan kekuasaannya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sejauh ini akan sangat sulit untuk dapat menciptakan regulasi yang berkeadilan dalam sistem pemilu karena partai politik lama memiliki andil dalam perumusan kebijakannya. Meskipun, MK mengamanatkan bahwa besaran PT ini harus diubah sebelum Pemilu 2029 nanti, bukan tidak mungkin di edisi-edisi berikutnya akan kembali diubah seperti yang sudah terjadi sebelumnya. Ini mengingat kebijakan yang mengatur regulasi pemilu itu sangat sarat akan kepentingan partai politik.
Daftar Pustaka
Ansari, A. N., Syamsu, S., & Ekawaty, D. (2022). Relevansi Parliamentary Threshold dan Sistem Kepartaian di Indonesia. Palita: Journal of Social Religion Research April 2022, Vol.7, No.1, ISSN(P): 2527-3744; ISSN(E):2527-3752 http://ejournal-iainpalopo.ac.id/palita DOI: http://10.24256/pal.v7i1.2851, 81-96.
Budiardjo, M. (2016). Pengantar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
CNBC Indonesia. (2024, Maret 22). Pemilu 2024 vs 2019: PDIP Turun 6%, Golkar Terbang 34%, PKS Naik 11%. Diambil kembali dari https://www.cnbcindonesia.com/research/20240322085805-128-524342/pemilu-2024-vs-2019-pdip-turun-6-golkar-terbang-34-pks-naik-11