Mohon tunggu...
Jafar G Bua
Jafar G Bua Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Photo Journalist CNN Indonesia, salah satu stasiun televisi yang menjadi bagian dari CT Corp dan CNN International. Saat ini bekerja dan berdomisili di Pulau Sulawesi, namun ingin berkelana ke seluruh pelosok Nusantara Jaya. Semua tulisan di microsite ini dapat dikutip sepanjang menyebutkan sumbernya, sebab ini semua adalah karya cipta.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Di antara Secangkir Kopi, Suwarni, Santoso dan Operasi Tinombala

24 April 2016   12:34 Diperbarui: 24 April 2016   12:50 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Masih sering komunikasi dengan Santoso. Mengaku rindu pada suaminya"][/caption]

Catatan Produser Lapangan CNN Indonesia, Jafar G Bua | Email: jafar.bua@cnn.co.id | Twitter: @jgbua2009

Awal April lalu saya bertemu Suwarni. Perempuan bersuku Jawa yang sudah lahir di Poso. Besar di tengah keluarga transmigran asal Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia istri dari orang yang paling dicari aparat keamanan saat ini. Ia istri pertama Santoso.

BARU lima menitan saya dan teman-teman duduk di ruang tamu, beberapa cangkir kopi sudah terhidang di meja kayu di depan kami. "Maaf, cuma itu yang bisa kami sajikan." Begitu empunya rumah memohon kemakluman. Kami pun tentu mahfum adanya,

Pagi yang sudah terik pada 6 April 2016 ini, saya ditemani sejumlah teman bertandang ke Desa Bhakti Agung, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Jaraknya 52 kilometer dari Poso Kota, Ibukota Kabupaten Poso atau 160 kilometer dari Kota Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.

Saya memang sengaja bertandang ke sini. Di desa inilah, Suwarni bermukim. Ia bukanlah kembang desa yang diburu para pemuda untuk dipersunting. Tapi ia menjadi sosok penting, lantaran perempuan bercadar ini adalah istri Santoso yang disebut polisi menjadi amir, pemimpin Mujahiddin Indonesia Timur.

Kelompok ini ditengarai Polisi berada di balik serangkaian teror selama lima tahun terakhir di wilayah Poso dan Palu. Polisi melekatkan stempel yang tidak ringan pada mereka; Kelompok Teroris. Karenanya lebih dari tiga ribu aparat keamanan memburu suami dan kelompoknya selama dua tahun terakhir ini. Suaminya diburu dari Gunung Biru, Tamanjeka, Poso Pesisir hingga ke wilayah Tampo Lore, Lembah Napu. Suaminya menjadi target Operasi Camar Maleo sampai Operasi Tinombala.

Saat ditemui, Suwarni terlihat tenang. Namun matanya terlihat memerah menahan tangis, saat saya dan teman-teman memulai perbincangan dengannya. Ia tahu belaka suaminya adalah orang yang paling dicari oleh aparat keamanan, baik Polisi maupun Tentara Nasional Indonesia.

Ada keterangan menarik yang sempat saya catat dari pertemuan itu. Ini soal aktifnya dirinya berkomunikasi dengan Santoso. "Saya terakhir kali dihubungi melalui telepon oleh Suami saya Desember 2015. Saat itu Suami saya langsung bicara tanpa perantara..." Begitu tutur Suwarni pada saya di rumah sederhanya di Desa Bhakti Agung, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah di suatu pagi yang sudah terik pada 6 April lalu.

Apakah Suwarni bertemu langsung dengan Santoso? Sesuai informasi yang saya terima perempuan ini pernah bertemu dengan suaminya di tengah gencarnya perburuan oleh aparat keamanan. Ia bertemu di suatu tempat di wilayah Poso Pesisir. Tapi Suwarni tak mau mengakuinya secara langsung saat saya menanyakan itu. Hanya saja, ia mengaku juga suatu waktu Santoso sempat kembali ke rumah setelah tidak pulang sekian lama. "Suami saya membawa kepiting. Ia sendiri yang memasak kepiting itu dan kita makan sekeluarga. Setelah itu dia pergi lagi dan tidak pernah kembali," kisah dia.

Seperti yang diketahui sejak Januari hingga Desember 2015, aparat gabungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian ditambah perangkat intelijennya tengah memburu Santoso dan kelompoknya melalui Operasi Camar Maleo. Sebelumnya, operasi pengejaran Santoso juga tengah berjalan. Entah bagaimana, Santoso tetap dapat lolos dari kejaran aparat.

Saat itu, sesuai penuturan perempuan berusia 35 tahun ini, ia baru saja dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Poso dan kemudian ke Rumah Sakit Wirabuana Palu. Ia didera diabetes mellitus, kencing manis akut. Tiga jari kakinya sudah diamputasi karenanya.

"Apa yang dibicarakan Abu Wardah saat menelpon Mbak Suwarni?" Tanya saya. "Cuma pembicaraan biasa. Dia tanya kabar anak-anak. Dia bilang jangan lupa anak-anak diajari mengaji dan shalat. Saat saya tanya dia kapan pulang jawabannya; Insya Allah," aku perempuan yang memberi tiga anak untuk Santoso ini.

Di mata putri pasangan Sarno Suwito dan Saminen ini, Santoso adalah sosok suami dan ayah yang sangat baik untuk dirinya dan anak-anak. Kata Suwarni, "Dia tidak pernah marah. Kalau saya yang marah, dia cuma diam." Orang tua Suwarni juga mengakui soal itu.

Pasangan Sarno Suwito dan Saminem, bapak dan ibu Suwarni adalah transmigran asal Gunung Kidul, Daerah Istimewa Jogjakarta. Mereka merupakan bagian gelombang transmigrasi yang ditempatkan di sejumlah wilayah di Poso sekitar 1970-1976. Santoso sendiri juga adalah keluarga transmigran. Ibu dan bapaknya, Isran dan Rumiah berasal dari Magelang, Jawa Tengah.

Menurut Suwarni, ia bertemu dengan Santoso antara tahun 1998-1999 saat Santoso menjadi tukang batu. Kisah ini dikuatkan oleh Yusmanto, Kepala Desa Bhakti Agung. Lelaki itu yang mengantar saya dan teman-teman bertandang ke rumah Suwarni. "Santoso ini dulu sempat jadi tukang batu. Dia dan teman-teman yang bangun Pura di desa ini. Ia bekerja apa saja," ujar Yusmanto. Santoso sendiri saat itu, masih tinggal di Desa Lanto Jaya, Poso Pesisir bersama orang tuanya.

Dalam ingatan perempuan bersuku Jawa ini, Santoso adalah suami yang sangat bertanggungjawab pada keluarganya. "Ia dulu punya motor Honda GL Pro yang ada keranjangnya. Dia jualan segala macam di situ. Ada buku, parang, barang rumah tangga dan lain-lain. Dia jualan keliling Poso," kisahnya.

Kisah itu dikuatkan pula oleh Andi Baso Thahir, kawan Santoso yang kini menjadi Kepala Urusan Keuangan Desa Tokorondo, Poso Pesisir. Tutur dia, "Santoso itu rajin orangnya. Dia jualan keliling. Nanti di setiap waktu shalat dia ikut jamaah di masjid di mana dia sempat lalu menawarkan dagangannya."

Terhitung sampai dengan April ini sudah tiga tahun, Suwarni dan tiga anaknya ditinggalkan Santoso. Meski ada kabar Santoso sempat turun gunung. Untuk menghidupi keluarga, Suwarni membuka kios barang campuran di depan rumahnya. Kios kecil yang tidak lebih dari 4 meter per segi menjual aneka barang kebutuhan sehari-hari. Bantuan modalnya didapat dari Kodam VII Wirabuana semasa Mayor Jenderal TNI Bachtiar. Rumah tempat Suwarni berteduh saat ini pun direnovasi atas budi baik Mayjen TNI Bachtiar.

Ada yang menarik saat saya bertemu dengan Suwarni, di tengah wawancara, anaknya yang kedua memberinya telepon yang tengah berdering. Ia menerima telepon dari seseorang. Ia lalu masuk kamar dan berbicara dengan peneleponnya. Saat selesai, kami menanyakan padanya siapa gerangan yang menghubunginya. "Oh itu dari Pak Handoko, anggota Kopassus," jawabnya singkat. Kopassus yang dimaksud olehnya merujuk pada Korps Pasukan Khusus, satuan elit milik TNI Angkatan Darat. Rupanya anggota intelijen Kopassus itu menanyakan maksud kedatangan kami.

Perjumpaan saya dengan Suwarni pagi hingga siang itu terasa tanpa beban. Ia tidak ada bedanya seperti ibu rumah tangga biasa. Soal rindu pada sosok Santoso, suaminya tentu diakuinya juga. "Namanya suami, ya rindulah, Mas." Begitu kata Suwarni.

Tapi apakah dia meminta suaminya untuk menyerah atau menyerahkan diri pada aparat keamanan yang tengah memburunya? Jawab dia: "Saya tidak pernah bicara soal itu. Saya cuma bilang kalau anak-anak rindu pada abinya."

Saat ditanya, dua anak Santoso yang saat itu bersama Suwarni mengaku memang mereka rindu pada sosok ayahnya.

Akankah Suwarni dan tiga anaknya kembali bertemu dengan Suami dan ayah anak-anaknya itu? Kita tunggu saja episode demi episode operasi yang digelar TNI dan Kepolisian hingga saat ini. Kita berharap saja semua akan berlangsung aman dan damai. Santoso dapat menyerah atau tertangkap hidup-hidup, bukan seperti terduga teroris yang lain. Artinya bila tertangkap hidup-hidup pada 21 Juni nanti, Santoso akan berulangtahun yang ke-40 tahun dan Suwarni sendiri sudah berumur 35 tahun.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun