Lalu pegolf itu berkata lagi, "Baguslah! Lega hati saya karena ternyata anak wanita itu tidak ada yang sakit."
Teman-teman, mari kita merenung sejenak dan mencerna pesan-pesan yang terkandung dalam kata-kata pegolf itu. Dan tanyakan kepada diri kita sendiri. "Apa reaksi kita, ketika baru saja memberikan uang kepada seorang penipu. Apakah kita akan merasa lega karena ternyata kekhawatiran kita pada bayi yang sakit itu tidak beralasan? Atau, apakah kita justru akan lebih memikirkan uang kita yang sudah hilang?"
Baca Juga: Khalifah Umar dan Perempuan Miskin
Saya tahu jawaban kalian. Pasti kalian akan memikirkan uang yang sudah hilang, dan akan berkata-kata dan bersumpah yang tidak-tidak kepada wanita yang sudah menipu kalian. Betul begitu kan.
Teman- teman, usia yang sudah kita jalani, memiliki harta dan menguasai kecerdasan, sering kali tidak membawa kita ke mana-mana. Padahal, segala upaya pencapaian tujuan sebenarnya bermuara pada ikhlas. Ikhlas adalah seperti keinginan orang tua kepada sang penyejuk mata yang dilahirkannya: memberikan kebutuhan dan perhatian sepenuhnya secara sabar. Tidak sedikit pun dalam hati mereka meminta imbalan kepada kita.
Baca Juga: Khalifah Umar dan Perempuan Miskin
Ikhlas adalah ilmu mahal. Siapa yang memiliki keikhlasan dalam dirinya, maka ia adalah pribadi yang sangat mahal.
Ikhlas adalah bayaran terbesar. Dan bayaran terbesarnya adalah hati yang bersih nan suci.
Tulisan ini, bukan untuk kalian, namun untuk diri sendiri, yang sengaja saya abadikan di kompasiana, sebagai pengingat dikemudian hari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI