Saya pernah mengobrol dengan teman saya yang merupakan aktivitas dakwah. Dia mengatakan bahwa di daerah saya, tadinya memang belum ada Pengadilan Agama. Pengadilan tersebut adanya di kabupaten induk sebelum pemekaran. Untuk mengurus ke sana mesti menyeberang laut, tentu saja membutuhkan waktu, biaya, tenaga, dan kesempatan yang mungkin tidak sedikit.Â
Nah, sejak ada Pengadilan Agama yang berada persis di tengah ibukota kabupaten sekarang, ternyata jumlah orang yang mengajukan cerai terus meningkat. Ini berdasarkan ucapannya lho. Mengenai jumlah peningkatannya, saya juga kurang tahu, lebih baik kamu tanya dia langsung ya!Â
Saat masih membahas tentang perceraian itu, apa sih biasanya yang menjadi alasan? Teman saya yang juga aktif sebagai kader partai politik itu mengatakan bahwa bisa jadi alasan ekonomi. Mungkin karena si suami sudah tidak bisa lagi menafkahi. Atau istrinya yang merasa ingin lebih sejahtera.Â
Dia mengatakan bahwa untuk aktivis dakwah, suami dan istri aktif di sebuah organisasi agama, mestinya materi tidak boleh dijadikan alasan untuk bercerai. Yang penting cukup adanya. Mengenai tidak bisa beli ini dan itu, atau mau mencontoh orang lain yang ekonominya lebih tinggi, mestinya hal itu tidak dilakukan. Saya pun manggut-manggut mendengar penjelasannya.Â
Orang yang Sudah Mengalami Perceraian
Saya memang punya beberapa teman yang rumah tangganya berakhir. Ada yang dari kalangan awam, ada pula yang dari kalangan aktivis dakwah. Untuk yang terakhir ini, saya malah kenal mantan istrinya secara tidak sengaja. Saya tawarkan aplikasi untuk bayar-bayar online yang dulunya dipunyai oleh Yusuf Mansur melalui Instagram. Rupanya, dia sudah lepas tidak lagi jadi istri teman saya, rupanya di daerah tempat tinggalnya sekarang malah jadi istri kedua atau ketiga. Jadi, dia dipoligami.Â
Membaca kasus-kasus tentang perceraian, memang ada efek baiknya dan juga jeleknya. Disebutkan jika pasangan sudah sering melakukan KDRT, sudah tidak lagi tertarik secara emosional maupun seksual, tidak mau lagi tanggung jawab, perselingkuhan sampai berhubungan badan, maka itu bisa dijadikan alasan untuk bercerai. Saya sendiri pun berpendapat jika sampai pasangan yang muslim sudah tidak mau lagi menjalankan sholat, menganggap sholat itu tidak wajib lagi, atau bahkan pasangan terang-terang keluar dari muslim alias murtad, maka cerai sudah harus dilakukan, tidak bisa tidak!
Namun, jika memang terjadi perceraian, siapa sih yang paling menjadi korbannya? Tentu saja, yang paling lemah dari hubungan rumah tangga, siapa lagi kalau bukan anak-anak? Apalagi anak-anaknya masih kecil, masih sangat butuh kehadiran kedua orang tuanya. Sayangnya, kini mereka sudah tidak bisa lagi merasakan keduanya dalam satu atap rumah. Walaupun atapnya memakai Sakura roof, rumah tangga orang tuanya sudah off. Pas ya, roof dengan off? Halah.Â
Perceraian adalah perbuatan mubah yang dibenci oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Perkara tersebut juga paling disukai oleh iblis. Bagi iblis, dia paling bangga jika ada anak buahnya yang berhasil menceraikan suami istri. Masih tidak percaya? Coba tanya iblis langusng deh!
Jika masing-masing sudah bercerai, maka efeknya bisa jadi lebih mengerikan. Okelah, mungkin suami maupun istri terbebas dari toxic masing-masing, namun setelah itu, apakah akan lebih baik? Belum tentu juga bukan? Mungkin mantan istrinya sudah menemukan pasangan baru lagi, sementara mantan suaminya belum. Mantan suaminya bisa mengalami goncangan jiwa, lalu berakhir di tempat pelacuran untuk memuaskan hasratnya. Bisa jadi bukan?
Teman saya, ketika sudah bercerai malah tidak mendapatkan keturunan. Dari istri sebelumnya, punya anak satu, laki-laki, sudah mulai tumbuh dewasa. Sedangkan yang sekarang, sudah menikah selama sepuluh tahun lebih, malah belum ada hasilnya. Berarti, jangan-jangan itu karena faktor istrinya yang sekarang?Â
Mengingat Masa Lalu
Jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Jas hujan, sering tidak dibawa justru pas hujan tumpah ruah. Dari kalimat pertama dan kedua di paragraf ini memang tidak ada hubungannya, tetapi pada intinya masa lalu bisa diingat lagi. Masa lalu yang perlu diingat tersebut adalah jauh lama sebelum orang tua kita lahir, sebelum kakek dan nenek kita lahir. Soalnya terjadi di zaman nabi, lebih tepatnya adalah zaman Nabi Nuh dan Luth alaihissalam.Â
Siapakah istri Nabi Nuh? Menurut Ustadz Wijayanto, istri Nabi Nuh bisa dipanggil Bu Nuh. Cocok bukan? Kalau istri Nabi Luth, ya, berarti Bu Luth. Keduanya adalah istri yang durhaka. Mereka tidak mau taat dengan perintah Allah, mereka membangkang dengan seruan dakwah suaminya. Makanya, dua istri tersebut dimasukkan ke dalam neraka nantinya. Naudzubillah min dzalik.Â
Apa hal yang bisa disimpulkan dari kisah dua istri tersebut? Ternyata, dikisahkan sampai sekarang, Nabi Nuh dan Nabi Luth tidak pernah menceraikan istrinya. Sebaliknya, kedua istri tersebut juga tidak mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama setempat. Mereka dipisahkan oleh suami-suaminya dengan kematian. Tentu saja, di akhirat nanti, juga terpisah jauh, dua nabi Allah itu jelas di surga, sedangkan pasangan-pasangannya di neraka.Â
Padahal, dua perempuan itu menghalangi jalan dakwah suaminya lho. Mereka tidak mau tunduk dan patuh, tetapi justru tetap dipertahankan oleh suaminya. Ini menjadi contoh yang baik, kesabaran luar biasa dari nabi-nabi Allah. Mungkin mereka juga dimarahi tiap hari, dicela, dicemooh atau yang lainnya. Namun, lagi dan lagi, dua manusia mulia pilihan Allah itu tetap bersabar.Â
Ini menjadi contoh yang sangat bagus bagi para suami sekarang, apakah sudah merasa lebih mulia daripada Nabi Nuh dan Luth? Kan manusia biasa juga toh, begitu pula istri-istri sekarang, manusia biasa juga. Meskipun luar biasa, maksudnya hem, biasa di luar, tetapi antara suami dan istri, masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Ada kebaikannya, ada juga kejelekannya.Â
Kalau yang masalah menyangkut aqidah saja, bisa disabarkan oleh Nabi Nuh dan Luth, mereka juga terus mengajak istrinya untuk taat kepada Allah, maka masalah-masalah di bawah itu, seharusnya juga bisa ditahan oleh para suami. Apalagi tatkala para istri marah, lalu tiba-tiba mengajukan cerai, maka itu belum tentu kenyataannya. Belum tentu keinginan yang asli dari para istri. Ini yang saya baca dari buku "Sebuah Catatan" yang ditulis oleh Wiwin Supiyah.Â
Sudah wataknya para istri ketika marah, lalu minta cerai. Tidak usah terlalu ditanggapi, anggap saja seperti radio rusak, istilah tersebut dikemukakan oleh Ustadz Khalid Basalamah. Dan, inilah untungnya hak untuk bercerai itu ada pada suami, karena suami memiliki logika berpikir, tidak hanya mengandalkan perasaan. Seandainya hak bercerai itu ada di istri, maka tiap hari bisa menceraikan suaminya lebih dari seribu kali mungkin.Â
Jadi, masihkah ingin bercerai dengan istri hanya karena masalah sepele mungkin? Atau karena masalah kecil yang tidak bisa diselesaikan, lalu akhirnya menjadi masalah besar? Ingat, perceraian adalah hal yang paling disukai oleh iblis. Dan, saya juga tidak tahu, apakah iblis saking menyukai perceraian, lalu menceraikan istrinya berkali-kali? Entahlah, entahlah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H