Mohon tunggu...
Rizky Kurnia Rahman
Rizky Kurnia Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Seorang blogger dan penulis jempolan, maksudnya suka sekali menulis pakai jempol. Blog pribadi, https://rizkykurniarahman.com

Lahir di Jogja, sekarang tinggal di Sulawesi Tenggara. Merantau, euy!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tanggapan terhadap Viralnya Salat Idulfitri Ponpes Al-Zaytun, Indramayu

3 Mei 2023   09:12 Diperbarui: 3 Mei 2023   09:23 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kembali, berita dan video viral muncul di masyarakat serta menjadi perbincangan dari para warganet. Kali ini tentang salat Idul Fitri 1444 Hijriyah yang dilakukan oleh Ponpes Al-Zaytun yang berlokasi di Indramayu. 

Dalam video tersebut, tampak pemandangan yang aneh dan asing bagi masyarakat muslim kita. Shafnya dibuat berjarak. Tiap orang ada kursinya masing-masing. 

Tidak hanya itu, ada pula perempuan yang bercampur dengan jamaah laki-laki. Serta ada seorang laki-laki nonmuslim yang juga duduk di barisan depan. Imamnya tampak ada tiga, dan satunya pakai kursi ketika sujud. Hem, pemahaman apalagi ini?

Klarifikasi

Saya membaca berita dari Tribunnews. Ada berita tentang kunjungan rombongan pejabat Kemenag Indramayu ke ponpes tersebut. Pimpinan Mahad Al-Zaytun, Syekh Panji Gumilang, menerima langsung rombongan. 

Tentang jamaah salat berjarak, ternyata ada dalilnya, lho! Pihak mahad mengambil dalil dari Al-Qur'an. Nah, bikin geleng-geleng kepala 'kan? Dalilnya diambil dari Al-Qur'an lho ini. Tepatnya dalam Surah Al-Mujadalah ayat 11. Bunyinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu."

Pihak mahad beralasan agar dalam shaf salat tidak berdesak-desakan. Selain itu, tentang perempuan yang berada di barisan depan, bercampur dengan jamaah laki-laki, itu ternyata sebagai bentuk pemuliaan terhadap perempuan. Pihak mahad justru bertanya balik, "Apa salahnya memuliakan perempuan?"

Sedangkan untuk laki-laki nonmuslim yang berada di shaf depan, duduk, itu juga sebagai bentuk terhadap penghormatan kemanusiaan. Meskipun orang tersebut tidak salat. 

Pas ditanya mazhab, Syekh Panji menjawab bahwa dia mengambil mazhab Bung Karno. Lebih tepatnya Ahmad Soekarno sesuai penuturannya di video. 

Ketika Dianggap Tidak Ada Larangannya

Memang sih, salat Idul Fitri itu hukumnya sunnah saja. Dikerjakan dapat pahala, ditinggalkan tidak apa-apa. Begitu 'kan menurut pemahaman yang kita terima waktu SD? Padahal, pemahaman yang lebih tepat menurut para ustadz sekarang adalah dikerjakan dapat pahala, ditinggalkan rugi! Lho, kok rugi? Jelang dos, eh, jelas dong rugi karena tidak dapat pahala. 

Ibaratnya adalah seperti pedagang yang membuka toko. Kira-kira, kalau tidak buka toko, akan dapat penghasilan tidak itu? Bisa saja sih dapat, lewat pintu samping. Namun, itu pasti hanyalah sedikit. Akan jauh berbeda terasa jika buka toko secara full. Pintu dibuka selebar mungkin. Orang yang lewat akan melihat dagangan kita. Dari situ, mungkin dia langsung tertarik dan berbelanja di situ. 

Salat sunnah, seperti Dhuha dan sebagainya seperti membuka toko itu. Kita mendekat ke Allah lewat salat-salat sunnah, ibadah-ibadah sunnah. Artinya, yang wajib sudah beres, sudah dikerjakan, masih ada tambahannya. Dalilnya adalah hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:

"Sesungguhnya Allah berfirman: Siapa saja yang memusuhi waliKu, maka sungguh Aku telah mengumumkan perang kepadanya. Dan tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku; yang lebih Aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku fardhukan kepadanya. Hamba-Ku terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku pun mencintainya. Bila Aku telah mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia pakai untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia pakai untuk berjalan. 

Bila ia meminta kepada-Ku, Aku pun pasti memberinya. Dan bila ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pun pasti akan melindunginya." (HR. Al-Bukhri no.6502).

Luar biasa bukan, dampak dari ibadah-ibadah sunnah tersebut? Setiap kita meminta, Allah akan memberi. Apapun yang diminta, selama itu positif dan bermanfaat secara baik, Allah akan mewujudkannya. Apalagi dalam syariat Islam, kalau hanya ibadah wajib, salat misalnya, cuma lima kali sehari. Waktu 24 jam, diambil sepersekian persen untuk salat wajib, terasa masih sangat kurang. Makanya salat sunnah itu tidak terbatas waktunya, kecuali yang dilarang, yaitu: ketika tengah hari, saat matahari tepat di atas kepala dan juga saat matahari terbit dan tenggelam. 

Namun, yang harus diperhatikan sebelum kita melaksanakan suatu ibadah adalah adakah dalilnya? Adakah perintahnya dari Allah dan rasul-Nya? Jika memang tidak ada perintahnya, buat apa juga kita laksanakan? Lha wong, ibadah itu pada intinya adalah mencari pahala dari Allah, kok. Kalau kita melakukan ibadah, tetapi Allah tidak suruh, Allah tidak rida, mana bisa dapat pahala, ya 'kan? Yang ada malah dapat dosa. Hem, dosa besar lagi!

Beda halnya dengan urusan dunia. Makan tempe misalnya. Kita harus bertanya, adakah larangannya di dalam Al-Qur'an maupun hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam? Jika tidak ada larangannya, maka dimakan saja. Jika dicari di dalam Al-Qur'an maupun hadits, jelas tidak ada perintahnya makan tempe. 

Pilih Mazhab Sembarangan

Syekh Panji menyatakan bahwa model salat Idul Fitrinya semacam itu karena mengambil mazhab Bung Karno. Ini juga terkesan nyeleneh. Pertanyaannya sekarang, apakah Bung Karno pernah melaksanakan salat dengan model seperti itu? Mana bukti dokumentasinya? Mana videonya? Dan, mana pula bukti tertulisnya? Buku misalnya. Kalau tidak ada, jangan ngadi-ngadi, deh.

Hal yang dikhawatirkan nantinya orang juga bisa klaim. Apalagi dari pernyataan Syekh Panji itu yang tersebar luas di masyarakat. Bisa saja nanti ada orang mengaku mazhab Bung Hatta. Atau mazhab Jenderal Soedirman. Bisa saja bukan? Itu lain lagi salatnya. Entah bagaimana lagi, saya tidak tahu. 

Padahal, dalam dunia Islam, dikenal cuma ada empat mazhab. Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. Indonesia menganut mazhab Syaf'i. Nah, mengaku mazhab Syafi'i, tetapi sudah dilaksanakan semuanya belum? Sebenarnya yang utama itu bukanlah fanatik mazhab, tetapi mencari yang paling sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Semua imam mazhab mengatakan bahwa kalau ada yang lebih shohih, maka itulah mazhab mereka. Artinya, tinggalkan pendapat mereka dan ambil yang lebih benar. 

Sementara mazhab Bung Karno, aduh, aduh, tepuk jidat deh! Kita pasti baru pertama dengar ada mazhab seperti itu. Padahal, Bung Karno itu bukanlah ulama. Beliau memang berjasa bagi negara kita, tetapi di bidang lain. Ulama yang hidup bersamaan dengan Bung Karno adalah Buya Hamka yang filmnya masih tayang di bioskop sekarang itu. Kenapa bukan mazhab Buya Hamka saja yang lebih pas karena beliau seorang ulama? Aduh, aduh!

Adapun tentang perempuan di depan. Ini juga ada aturan dalam salat. Allah dan Rasul-Nya yang telah mengatur bahwa sebaik-baik shaf bagi perempuan itu adalah di belakang. Berkebalikan dengan laki-laki, paling utama di depan, di barisan sebelah kanan imam. Masa ada pengaturan yang lebih baik daripada Allah dan Rasul-Nya? Katanya, itu untuk memuliakan perempuan. Memuliakan bagaimana? Kalau perempuan di depan, ketika dia rukuk dan sujud, maka pandangan laki-laki di belakangnya bisa melihat bagian belakang tubuh perempuan tersebut. 

Antara suami dan istri saja, yang sudah nyata-nyata sah, legal, dan halal, salatnya tidak seperti itu, kok. Istrinya tetap di belakang suaminya. Jika ada anak laki-laki, istri tersebut lebih di belakang lagi. Jadi, agama ini sudah ada aturannya dan aturan itu pasti bagus. Tidak pernah Allah membuat aturan yang tidak bagus? Namanya Tuhan, kok salah bikin aturan? Itu pastilah manusia yang aturannya belum tentu bagus, punya peluang diubah, ditambah, dikurangi, atau bahkan dihilangkan saja. 

Tentang nonmuslim yang ikut barisan salat, di depan lagi, ini juga aneh. Justru kalau ibaratnya malah melecehkan agamanya. Nonmuslim kok barisan orang salat? Biasanya, jika ada dua orang yang berteman, satunya muslim, satunya tidak, ketika mau salat, maka yang nonmuslim menunggu di luar masjid. Mungkin menunggu di parkiran atau warung makan dekat masjid. Setelah salat, mereka bisa bertemu dan bersama lagi di luar. 

Kalau nonmuslim ada  di barisan itu, mending atau lebih baik masuk Islam saja. Ya 'kan? Jadi, lebih pas, agamanya sudah Islam, cocok sekali ikut barisan salat. 

Perlu Perhatian Lebih

Pihak pemerintah dalam hal ini Kemenag maupun MUI perlu memberikan penjelasan yang lebih gamblang tentang hal atau masalah ini. Jangan sampai, nanti ditiru orang lain dan membuat aturan baru lagi dalam agama Islam. Sebenarnya lebih simpel sih, jika mau buat aturan baru yang lebih aneh, silakan bikin agama sendiri. Jangan dong mendompleng Islam. Agama Islam ini sudah sempurna sesuai dalil Surah Al-Maidah ayat 3. Sudah tidak bisa diubah aturannya lagi, kecuali masalah baru yang perlu fatwa dari ulama. Perlu ada ijtihad baru. 

Namun, kalau salat, sudah tidak bisa berubah. Mungkin semacam yang lalu, saat kasus covid-19 masih menggila, shaf salat bisa dibuat renggang. Berarti itu ada kemaslahatan. Yang lucu, saat itu tidak ada kursi seperti di Mahad Al-Zaytun. Salat seperti biasa, hanya jaraknya agak renggang. Sekarang, orang sudah salat dengan shaf yang rapat. Dan, begitulah aturan yang benar. Jangan sampai ada setan yang hadir di shaf yang tidak rapat, lalu menggoda di situ. 

Dari kasus ini, perlu menjadi perhatian para orang tua, terutama ketika mau memasukkan anak-anaknya ke dalam pesantren. Pilih pesantren yang benar. Pilih pesantren yang menjunjung tinggi dalil Al-Qur'an dan hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sesuai dengan pemahaman para sahabat. 

Jangan sampai masuk ke pesantren yang membuat-buat aturan sendiri. Aturan Allah dan Rasul-Nya, itulah yang terbaik. Contoh dalam aturan lalu lintas saja, kendaraan bermotor, sampai piranti keselamatannya seperti sabuk pengaman dan helm, sudah ditentukan juga. Jangan sampai seperti cerita dari seorang pelawak Jogja dulu. Ada seorang polantas menilang tiga orang yang berboncengan naik sepeda motor. Ketika ditanya, "Kenapa kalian bonceng bertiga?"

Jawabannya bikin geli, "Ya, karena berempat tidak cukup, Pak!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun