Mohon tunggu...
Rizky Kurnia Rahman
Rizky Kurnia Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Seorang blogger dan penulis jempolan, maksudnya suka sekali menulis pakai jempol. Blog pribadi, https://rizkykurniarahman.com

Lahir di Jogja, sekarang tinggal di Sulawesi Tenggara. Merantau, euy!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Setiap Tetesnya, Berbagi Kebahagiaan untuk Tetangga

28 Desember 2020   16:51 Diperbarui: 28 Desember 2020   16:57 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbuat baik kepada orang lain itu memang diharuskan. Terlebih kepada tetangga yang paling dekat pintu rumahnya. Namun, bagaimana jika tetangga tersebut membuat kita dongkol?

Sebut saja namanya Pak S dan Bu J. Pak S berprofesi sebagai mantan caleg sedangkan Bu J seorang PNS tulen. Dengar kabar sih, Pak S bekerja di perusahaan tambang.

Kami tinggal di kawasan perumahan yang tanahnya seperti di lereng bukit. Artinya, agak tinggi begitu. Konsekuensinya, untuk membuat sumur bor misalnya, membutuhkan mesin yang agak besar. Memakai tabung merah di atasnya. Selain itu, menggalinya harus cukup dalam, sekitar 30 meter.

Memang, kami berada bukan di kecamatan ibukota atau pusat kota. Kalau di pusat kota, cukup 4 meter saja sudah mendapatkan air. Nah, karena lebih dalam itulah dan mesin lebih besar, maka biayanya bisa mencapai 7-8 juta rupiah. Oleh karena itu, tidak setiap rumah ada sumur bornya. Paling banyak memang "nebeng" atau patungan.

Antara Pak S dengan saya dihubungkan dengan pipa di dalam tanah. Kami sama-sama memakai mesin milik Pak H, yang berada di seberang jalan. Tenang saja, jalannya belum diaspal kok, baru tanah. Tinggal mengulurkan kabel listrik, maka air yang disedot dari mesin bor milik Pak H memakai listrik masing-masing. Bergantian seperti itu terus. 

Pada bulan Oktober 2016, kalau tidak salah, mesin tersebut mengalami kerusakan. Ini jelas menjadi masalah tersendiri. Darimana kami dapat air? Mengandalkan air dari PDAM juga tidak bisa karena sedang tidak mengalir selama berhari-hari. 

Sebenarnya, solusi untuk mesin itu adalah diperbaiki. Namun, khawatirnya butuh waktu beberapa hari. Sementara saya butuh sekali air. Persediaan air di rumah hampir habis. Apalagi saya tahu bahwa si mesin - begitu sebutannya - sudah berusia lama. Jadi, sepertinya diperbaiki pun tidak akan bertahan lama.

Saya mengusulkan ke Bu J untuk patungan saja beli mesin baru. Bu J setuju, dia mengatakan, "Ganti saja, Mas. Nanti kita patungan sama-sama."

Ya, dia setuju patungan. Setuju untuk dibagi dua biaya pembelian mesin sekaligus pemasangannya. Oke, berarti dia siap mengeluarkan uangnya. Apalagi dia berkata sudah menghubungi suaminya yang waktu itu sedang berada di pulau seberang untuk urusan pekerjaan.

Saya meminta Pak A, tetangga saya juga, rumahnya paling ujung, untuk membelikan mesin baru sekalian memasang. Sebab, dia memang ahli untuk urusan seperti itu. "Bener, Mas, ganti saja. Nanti saya carikan yang bagus, yang awet sama nggak gampang rusak." Ujar Pak A.

Okelah, Insya Allah masalah air jadi beres. Sementara saya bekerja di kantor, Pak A juga mengerjakan tugasnya. Mendapatkan mesin baru warna hijau, cantik sekali. Dia juga menguji, dan betul-betul berhasil! Mesin bisa menyedot air dari tanah, lancar, disalurkan ke kamar mandi dan tempat lain yang butuh air.

Tibalah saatnya saya untuk menagih janji dari Bu J. Namun, bukan uang yang saya dapatkan, melainkan janji berikutnya. Bu J beralasan, "Nanti aja ya, Mas. Kalau sudah ada uangku."

Ohh, jadi ceritanya ditunda ini? Saat waktu berikutnya, saya menemui Pak S. Dia pun memberikan janji seperti istrinya, "Tenang aja, Mas. Mesin itu nanti saya bayar kok. Kamu nggak usah khawatir."

Suami dan istri memberikan janji, kompak juga memberikan alasan. Sampai akhirnya, betapa kagetnya saya ketika Pak S membeli mobil baru. Warna putih. Mereknya termasuk kendaraan lumayan elit, meski jadi mobil sejuta umat sekarang. Tahu 'kan? Itu lho yang mereknya punya huruf depan A dan belakangnya A.

Waktu saya tanya ke Bu J, ternyata mobil itu dibeli secara cash. Wuih, hebatnya! Padahal harganya di atas 200 juta. Saya pun geleng-geleng kepala. Tepuk jidat. Mereka telah beralasan tidak punya uang untuk patungan mesin bor, tetapi ini nyata-nyata di depan mata, mobil baru gress, langsung dari oven, maksudnya langsung dari dealer.

Saat suaminya ke luar mencoba berkeliling dengan mobil itu, saya kembali temui Bu J. Ya Allah, jawabannya masih sama. Nanti kalau ada uang. Saya menceritakan bahwa mobil itu jelas jauh lebih mahal daripada biaya patungan. Oh, ya, harga mesin bor baru itu 2,4 juta rupiah. Kalau patungan semestinya ya, 1,2 juta. Pak H tidak saya mintai uang, karena lubang mesin bor ada di depan rumahnya. Tega apa minta ke dia?

Pada akhirnya, sampai sekarang, Pak S maupun Bu S tidak pernah sama sekali membayar patungan itu. Dan, tanpa merasa malu, mereka ikut memakainya! Air PDAM di rumah mereka sudah tidak lagi mengalir, dicabut, karena memang tidak lagi dibayar.

Begitu juga waktu para tetangga patungan untuk menimbun jalan agar tidak becek. Pak S tidak mau membayar uang sesuai kesepakatan, yaitu: seratus ribu rupiah. Akhirnya, tanah timbunan tidak diberikan di depan rumahnya. Seperti itulah tetangga lain yang membalas "kepelitan" Pak S.

Ketika saya mengutarakan masalah ini - curhat ceritanya - ke Pak F, beliau ini adalah sekuriti di sebuah bank daerah, sama dengan pendapat saya. "Itu juga dia, Mas, kok ada juga tetangga macam begitu ya? Pelitnya minta ampun. Katanya dulu sepakat patungan beli mesin bor, sekarang malah nggak. Padahal ikut pakai. Betul-betul nggak punya malu."

Tambah Pak F, bahwa kalau memang tidak sanggup 1,2 juta, ya, bayar berapa, lah. Mungkin 500 ribu, atau kurang daripada itu. Masa uang sebesar itu tidak ada juga?

Pak A, tukang pasang mesin, juga ikut mengatakan Pak S pelit. Dan, akhirnya, saya membiarkan mesin itu dipakai oleh Pak S sekeluarga, semoga mereka berbahagia. Saya harus memaksa diri untuk berbagi ke Pak S sekeluarga. Selain itu memberi saja kesempatan mereka untuk ikut mengambil air. Bahkan, tetangga sebelah rumah saya, pengontrak baru, juga saya suruh menikmati fasilitas mesin bor itu. Berarti, 'kan itu termasuk menyantuni. Iya 'kan? Tidak hanya untuk orang miskin lho, tetapi berbagi, memberi dan menyantuni bisa juga untuk orang yang mampu. Meski ya, bisa muncul rasa dongkol.

Namun, saya tidak boleh membiarkan rasa dongkol itu terus ada dalam hati saya. Sebab, bisa memunculkan penyakit. Apalagi di era pandemi ini, janganlah menambah dengan ancaman penyakit lain. Lalu, bagaimana caranya?

Dari dulu, salah satu sumber kebahagiaan bagi saya adalah bisa membaca buku-buku bermutu, ditambah lagi dengan terbaru, tambah asyik. Waktu saya masih tinggal di kota kelahiran saya, Jogja, saya rutin membeli buku. Namun, karena sekarang saya tinggal di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, akses untuk membeli buku tidaklah semudah di Jogja. Untuk bisa mendapatkan buku berkualitas, saya mesti membelinya lewat online.

Kalau lewat online, maka butuh yang namanya pengiriman. Istilahnya di sini adalah ekspedisi. Bukan ekspedisi alam gaib lho ya, nanti malah jadinya uka-uka. Hehe...

Salah satu ekspedisi yang telah banyak berjasa dalam hidup saya adalah JNE. Perusahaan ini mampu menjangkau daerah yang jauh dan agak susah terjangkau seperti di Bombana ini. Terlebih waktu saya datang di sini, jalanan penghubung dari Kendari ke Bombana masih banyak yang rusak, berlubang, berdebu waktu kemarau, becek sekali waktu hujan.

Saya pun terus berpikir, tentang mesin air tadi, saya harus memikirkan kemanfaatannya. Mesin tersebut mengalirkan air untuk orang lain, mungkin dipakai untuk wudlu, mandi, mencuci, maupun membersihkan rumah, bukankah semua itu bermanfaat? Bahkan tidak cuma Pak S dan tetangga baru yang mengontrak itu, tetapi juga Bu K, istri seorang camat dan Bu E, seorang PNS guru, ikut memanfaatkannya. Ditambah dengan keluarga dari Pak H yang sekarang menempati rumahnya. Pak H sudah pindah ke Kendari.

Buat apa harus dongkol? Niatkan saja sebagai sedekah. Selain itu, mengisi hati agar tidak dihinggapi penyakit dengan rutin menyantap buku bermanfaat yang dikirim melalui JNE.

Dalam hal membiarkan mesin tersebut dimanfaatkan orang lain dan tidak menagih patungannya lagi, Insya Allah termasuk berbuat baik kepada tetangga. Apa definisi berbuat baik kepada tetangga? Seorang ulama bernama Amir bin Syarahill Asy-Sya'biy berkata, "Bertetangga yang baik tidak semata dengan menahan diri dari mengganggu tetangga, tetapi bertetangga yang baik adalah dengan bersabar atas gangguan mereka."

Selain itu, saya ingat dan kaitkan dengan filosofi kerja dari JNE itu sendiri. Daerah yang jauh dengan jauh saja bisa terhubung dengan manis. Misalnya, dari pintu rumah seseorang di Aceh, bisa tersampaikan ke pintu rumah temannya di Papua. Hal itu karena JNE juga.

Nah, kalau yang jauh dengan jauh saja bisa dihubungkan, maka mestinya saya juga mencontohnya. Sebab, antara pintu rumah saya dengan Pak S hanya beberapa langkah saja jaraknya. Masa hubungan tersebut mau dibuat jauh? Mau dibuat renggang? Berbagi, memberi, dan menyantuni harus menjadi bagian dari kehidupan saya. Belajar dari JNE yang sudah memasuki 3 dekade bahagia bersama.

#JNE #JNE30tahun #connectinghappiness  #30tahunbahagiabersama 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun