Mohon tunggu...
Rizky Kurnia Rahman
Rizky Kurnia Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Seorang blogger dan penulis jempolan, maksudnya suka sekali menulis pakai jempol. Blog pribadi, https://rizkykurniarahman.com

Lahir di Jogja, sekarang tinggal di Sulawesi Tenggara. Merantau, euy!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Setiap Tetesnya, Berbagi Kebahagiaan untuk Tetangga

28 Desember 2020   16:51 Diperbarui: 28 Desember 2020   16:57 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tibalah saatnya saya untuk menagih janji dari Bu J. Namun, bukan uang yang saya dapatkan, melainkan janji berikutnya. Bu J beralasan, "Nanti aja ya, Mas. Kalau sudah ada uangku."

Ohh, jadi ceritanya ditunda ini? Saat waktu berikutnya, saya menemui Pak S. Dia pun memberikan janji seperti istrinya, "Tenang aja, Mas. Mesin itu nanti saya bayar kok. Kamu nggak usah khawatir."

Suami dan istri memberikan janji, kompak juga memberikan alasan. Sampai akhirnya, betapa kagetnya saya ketika Pak S membeli mobil baru. Warna putih. Mereknya termasuk kendaraan lumayan elit, meski jadi mobil sejuta umat sekarang. Tahu 'kan? Itu lho yang mereknya punya huruf depan A dan belakangnya A.

Waktu saya tanya ke Bu J, ternyata mobil itu dibeli secara cash. Wuih, hebatnya! Padahal harganya di atas 200 juta. Saya pun geleng-geleng kepala. Tepuk jidat. Mereka telah beralasan tidak punya uang untuk patungan mesin bor, tetapi ini nyata-nyata di depan mata, mobil baru gress, langsung dari oven, maksudnya langsung dari dealer.

Saat suaminya ke luar mencoba berkeliling dengan mobil itu, saya kembali temui Bu J. Ya Allah, jawabannya masih sama. Nanti kalau ada uang. Saya menceritakan bahwa mobil itu jelas jauh lebih mahal daripada biaya patungan. Oh, ya, harga mesin bor baru itu 2,4 juta rupiah. Kalau patungan semestinya ya, 1,2 juta. Pak H tidak saya mintai uang, karena lubang mesin bor ada di depan rumahnya. Tega apa minta ke dia?

Pada akhirnya, sampai sekarang, Pak S maupun Bu S tidak pernah sama sekali membayar patungan itu. Dan, tanpa merasa malu, mereka ikut memakainya! Air PDAM di rumah mereka sudah tidak lagi mengalir, dicabut, karena memang tidak lagi dibayar.

Begitu juga waktu para tetangga patungan untuk menimbun jalan agar tidak becek. Pak S tidak mau membayar uang sesuai kesepakatan, yaitu: seratus ribu rupiah. Akhirnya, tanah timbunan tidak diberikan di depan rumahnya. Seperti itulah tetangga lain yang membalas "kepelitan" Pak S.

Ketika saya mengutarakan masalah ini - curhat ceritanya - ke Pak F, beliau ini adalah sekuriti di sebuah bank daerah, sama dengan pendapat saya. "Itu juga dia, Mas, kok ada juga tetangga macam begitu ya? Pelitnya minta ampun. Katanya dulu sepakat patungan beli mesin bor, sekarang malah nggak. Padahal ikut pakai. Betul-betul nggak punya malu."

Tambah Pak F, bahwa kalau memang tidak sanggup 1,2 juta, ya, bayar berapa, lah. Mungkin 500 ribu, atau kurang daripada itu. Masa uang sebesar itu tidak ada juga?

Pak A, tukang pasang mesin, juga ikut mengatakan Pak S pelit. Dan, akhirnya, saya membiarkan mesin itu dipakai oleh Pak S sekeluarga, semoga mereka berbahagia. Saya harus memaksa diri untuk berbagi ke Pak S sekeluarga. Selain itu memberi saja kesempatan mereka untuk ikut mengambil air. Bahkan, tetangga sebelah rumah saya, pengontrak baru, juga saya suruh menikmati fasilitas mesin bor itu. Berarti, 'kan itu termasuk menyantuni. Iya 'kan? Tidak hanya untuk orang miskin lho, tetapi berbagi, memberi dan menyantuni bisa juga untuk orang yang mampu. Meski ya, bisa muncul rasa dongkol.

Namun, saya tidak boleh membiarkan rasa dongkol itu terus ada dalam hati saya. Sebab, bisa memunculkan penyakit. Apalagi di era pandemi ini, janganlah menambah dengan ancaman penyakit lain. Lalu, bagaimana caranya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun