Mohon tunggu...
Aditya Gunnarsson
Aditya Gunnarsson Mohon Tunggu... -

Seorang anak manusia yang sedang mencari jati dirinya sendiri, untuk apa ia diciptakan, makna kehidupan & sejauh apa yang bisa ia perbuat di dunia ini.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

What a Wonderful World

29 Juli 2010   06:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:31 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mozaik 1

Daftar Isi Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyat kataklismik. Menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung di atasnya, langit terbelah dua. Di satu bagian langit, matahari rendah memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungi cendawan gelap gulita, menjerang pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut yang bisu bertapis minyak, jingga serupa kaca-kaca gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti reign of fire, lingkaran api. Dan di sini, di sudut dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku terkurung, terperangkap, mati kutu.

Aku gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju. Berjingkat-jingkat di balik tumpukan peti es, kedua kakiku tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yang merebak dari peti-peti amis, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahkan rasa takut.

Jimbron yang tambun dan invalid kakinya panjang sebelah terengah-engah di belakangku. Wajahnya pias. Dahinya yang kukuh basah oleh keringat, berkilat-kilat. Di sampingnya, Arai, biang keladi seluruh kejadian ini, lebih menyedihkan. Sudah dua kali ia muntah. la lebih menyedihkan dari si invalid itu. Dalam situasi apapun, Arai selalu menyedihkan. Kami bertiga baru saja berlari semburat, pontang-panting lupa diri karena dikejar-kejar seorang tokoh paling antagonis. Samar-samar, lalu semakin jelas, suara langkah sepatu terhunjam geram di atas jalan setapak yang ditaburi kerang-kerang halus. Kami mengendap. Tersengal Arai memberi saran. Seperti biasa, pasti saran yang menjengkelkan. "Ikal.... Aku tak kuat lagihhh.... Habis sudah napasku.... Kalian lihat para-para itu...?"

Aku menoleh cepat. Dua puluh meter di depansana teronggok reyot pabrik cincau dan para-para jemuran daun cincau. Cokelat dan doyong. Di berandanya, dahan-dahan bantan merunduk kuyu menekuri nasib anak-anak nelayan yang terpaksa bekerja . Salah satunya aku kenal : Laksmi . Seperti laut, mereka diam . DangdutIndia dari kaset yang terlalu sering diputar meliuk-liuk pilu dari pabrik itu. "Lompati para-para itu, menyelinap ke warung A Lung, dan membaur di anta a para pembeli tahu, aman ...."

Aku meliriknya kejam. Mendengar ocehannya, ingin rasanya aku mencongkel gembok peti es untuk melempar kepalanya.

"Hebat sekali teorimu, Rai! Tak masuk akal sama sekali! Jimbron mau kau apakan??!!"

Jimbron yang penakut memohon putus asa.

"Aku tak bisa melompat, Kal...."

Lebih tak masuk akal lagi karena aku tahu di balik para-para itu berdiri rumah turunan prajurit Hupo, Tionghoa tulen yang menjadi paranoid karena riwayat perang saudara. Ratusan tahun mereka menanggungkan sakit hati sebab kalah bertikai. Dulu, bersama Cina Kuncit, mereka jadi antek Kumpeni, ganas menindas orang-orang Kek. Kini dimusuhi bangsa sendiri, dikhianati Belanda, dan dijauhi orang Melayu membuat mereka selalu curiga pada siapa pun. Tak segan mereka melepaskan anjing untuk mengejar orang yang tak dikenal. Aku hafal lingkungan ini karena sebenarnya aku, Jimbron, dan Arai tinggal di salah satu los di pasar kumuh ini. Untuk menyokong keluarga, sudah dua tahun kami menjadi kuli ngambat tukang pikul ikan di dermaga. Semuanya memang serba tidak masuk akal. Bagaimana mungkin hanya karena urusan sekolah kami bisa terperangkap di gudang peti es ini. Aku mengawasi sekeliling. Pancaran matahari menikam lubang-lubang dinding papan seperti batangan baja stainless, menciptakan pedang cahaya, putih berkilauan, tak terbendung melesat-lesat menerobos sudut-sudut gelap yang pengap. Aku mengintip keluar, 15 Agustus 1988 hari ini, musim hujan baru mulai. Mendung menutup separuh langit. Pukul empat sore nanti hujan akan tumpah, tak berhenti sampai jauh malam, demikian dikota pelabuhan kecil Magai di Pulau Belitong, sampai Maret tahun depan.

Semuanya gara-gara Arai. Kureka perbendaharaan kata kasar orang Melayu untuk melabraknya. Tapi lamat-lamat berderak mendekat suara sepatu pantofel. Aku mundur, tegang dan hening, keheningan beraroma mara bahaya. Arai menampakkan gejala yang selalu ia alami jika ketakutan: tubuhnya menggigil, giginya gemeletuk, dan napasnya mendengus satu-satu. Bayangan tiga orang pria berkelebat, memutus sinar stainless tadi dan sekarang pemisah kami dengan nasib buruk hanya beberapa keping papan tipis. Ketiga bayangan itu merapat ke dinding, dekat sekali sehingga tercium olehku bau keringat seorang pria kurus tinggi bersafari abu-abu. Ketika ia berbalik, aku membaca nama pada emblem hitam murahan yang tersemat di dadanya: MUSTAR M. DJAI'DIN, B.A.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun