Tahun 2018 ini dunia perguruan tinggi dikejutkan dengan kebijakan pemerintah yang berencana mendatangkan 200 dosen asing dengan anggaran Rp. 200 miliar. Masing-masing dosen asing yang didatangkan akan digaji sekitar Rp 52 juta per bulan. Â Semua ini dilakukan dengan tujuan untuk mendongkrak performa penelitian dosen-dosen Indonesia melalui kolaborasi yang diharapkan dapat menghasilkan publikasi di jurnal internasional.Â
Jika kita melihat data aktual dari www.scimagojr.com, Indonesia berada di posisi 52 dunia dengan jumlah publikasi 75,220 dokumen terindeks scopus (data 18/07/2018 jam 15:13 WIB). Indonesia jauh tertinggal dari Malaysia yang berada di peringkat 34 dunia dengan jumlah dokumen sebanyak 248,457. Sementara Singapura berada di peringkat 32 dunia dengan jumlah dokumen 265,452. Â
Kita bahkan dibawah Thailand yang berada di peringkat 42 dengan 156,829 publikasi. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa pemerintah ingin mendongkrak publikasi dosen-dosen Indonesia.Â
Presiden Jokowi juga telah menyatakan keinginannya untuk menerima perguruan tinggi asing yang ingin mendirikan cabang di Indonesia. Namun kebijkan ini justru mendapatkan penolakan dari asosiasi perguruan tinggi swasta (PTS) Indonesia yang khawatir jika pasar perguruan tinggi swasta di Indonesia akan dimatikan oleh kehadiran universitas-universitas top dari luar negeri.Â
Bahkan hal ini tidak hanya membuat minder PTS tetapi juga perguruan tinggi negeri di Indonesia (PTN). Ada beberapa alasan mendasar yang menyebabkan kekhawatiran ini. Salah satunya adalah rendahnya peringkat PTN/PTS kita jika dibandingkan dengan perguruan tinggi asing. Menurut data peringkat universitas dunia 2018 yang diterbitkan oleh Times Higher Education, Indonesia hanya memiliki ITB, UGM, UI yang berada di peringkat 801-1000 sementara IPB berada di peringkat 1001+.Â
Hal ini cukup memprihatinkan dan diperparah dengan tidak adanya satupun PTS asal Indonesia yang masuk 1000 besar dunia. Sedangkan kebijakan mendatangkan dosen asing juga medapat berbagai penolakan karena kebijakan ini dianggap tidak dapat memberikan kontribusi signifikan untuk dunia pendidikan tinggi di Indonesia.
Penyebab tertinggalnya PTN/PTS di Indonesia dibandingkan dengan universitas asing
Menurut rekap nasional semester 2018/2019 ganjil yang diterbitkan forlap ristekdikti, Indonesia memiliki 122 PTN dan 3134 PTS diluar perguruan tinggi kedinasan dan agama. Dengan demikian jumlah PTS di Indonesia sekitar hampir 26 kali lipat dari jumlah PTN. Bandingkan dengan Australia yang memiliki 40 Universitas negeri dan hanya sekitar 12 universitas swasta kecil.Â
Sementara pemerintah Indonesia harus mengontrol lebih dari 3000 PTS. Tentunya mengelola perguruan tinggi di Indonesia tidaklah mudah mengingat populasi Indonesia yang mencapai 260 juta penduduk. Hal inilah yang membuat begitu banyak PTS di Indonesia.
Bahasa inggris juga tidak digunakan sebagai bahasa pengantar dimayoritas PTN dan PTS di Indonesia. Hal ini menghambat perkembangan perguruan tinggi kita karena proses penilaian peringkat universitas dunia sangat bergantung pada jumlah publikasi dan kualitas publikasi karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal internasional yang mayoritas menggunakan bahasa inggris. Negara-negara di asia lainnya sudah banyak menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar. Sementara kita masih belum berani untuk mencoba terobosan seperti ini.
Akses basis data jurnal elektronik yang disediakan pemerintah belumlah lengkap. Basis data jurnal seperti Compendex, ScienceDirect dan Web of Science yang digunakan ilmuan-ilmuan di luar negeri masih belum bisa diakses oleh mayoritas PTN/PTS di Indonesia. Mahalnya biaya berlangganan untuk akses ke basis data-basis data ini menyebabkan berbagai perguruan tinggi tidak memprioritaskan untuk membayar biaya berlangganan yang ditawarkan.
Dosen di Indonesia juga sering kali harus berupaya mencari nafkah dengan melakukan banyak hal lain karena kecilnya penghasilan yang diperoleh seorang dosen. Malaysia, Singapura dan Australia membayar dosen dengan sangat layak. Bahkan dosen adalah jabatan elit yang diimpikan banyak orang. Gaji dosen Malaysia rata-rata perbulan adalah sebesar RM 7000, Singapura sebesar SGD 8000 dan Australia sebesar AUD 9000. Penghasilan ini jauh lebih besar dibandingkan dengan dosen di Indonesia.
Dosen di Indonesia juga dibebankan dengan matakuliah secara berlebihan. Seorang dosen harus melaksanakan tridharma pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat dengan beban minimal 12 SKS setiap semester. Dosen bisa mengajar 3-4 matakuliah jika masing-masingnya 3 SKS. Bahkan tidak jarang dosen di Indonesia yang mengajar lebih dari 4 matakuliah karena keterbatasan dosen. Sementara di luar negeri dosen bisanya hanya mengajar 1 atau 2 matakuliah setiap semesternya.
Solusi yang disarankan
Pemerintah harusnya meningkatkan kualitas seluruh perguran tinggi baik PTN maupun PTS di Indonesia sebelum mendatangkan dosen asing dan memberikan izin operasional kepada perguruan tinggi asing. Kemampuan bahasa inggris dosen dan mahasiswa harus ditingkatkan. Pemerintah sudah seharusnya menargetkan untuk menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar di level perguruan tinggi.Â
Pemerintah juga harus bisa menyediakan akses basis data lengkap jurnal internasional yang akan sangat membantu dosen dan mahasiswa di dalam menghasilkan karya ilmiah yang layak publikasi di jurnal internasional. Kesejahteraan dosen juga sudah seharusnya diperhatikan oleh pemerintah. Begitu juga dengan beban kerja dosen yang harusnya bisa diatur untuk mampu menghasilkan kualitas pengajaran yang berkualitas.Â
Keputusan yang bijak untuk kemajuan pendidikan bangsa haruslah dimulai dengan membangun dan memperbaiki kualitas pendidikan kita sendiri sebelum mengharapkan kontribusi dari pihak luar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H