"Yang terpenting bukanlah apa yang sudah hilang, melainkan apa yang masih ada."
Saya tak pernah menduga, bahwa HIV itu demikian menyeramkan. Saking seramnya - banyak orang yang kethar kethir saat mendengar, apalagi bila tahu ada tetangganya yang kalem alim dan salihah itu mendadak bisu, mengurung diri  dalam rumah didera frustasi yang tak segan menjamah.
Omong-omong, sambil cerita sana-sini menyicing androk pendek, tetangga usil dan tak peka itu mengernyitkan cerita, bahwa, perempuan usia kepala tiga yang suaminya baru meninggal itu, kini telah pergi karena penyakit yang dianggap laknat.
Pantas bila selama beberapa bulan ini dia tampak mondar mandir keluar rumah diam-diam seperti maling ayam, dengan rautnya yang kusut dan perawakannya yang agak susut.
"Dengar-dengar sih, dia lagi main ke dokter dalam. Konsultasi katanya," sambil melirik botol plastik berserak di bak sampah yang labelnya dikuliti samar-samar. Botol dan kresek obat rupanya.
***
Barangkali, realitas kecut menggetirkan seperti itulah yang dirasakan Lutfi Yalisa dan Muhamad Burhan.Â
"Yang terpenting bukanlah apa yang sudah hilang, melainkan apa yang masih ada," ungkap Muhamad Burhan, mahasiswa Unila itu, kala melandaskan hati untuk mendokumentasikan rekatnya ruang eksklusi sosial yang diikat stigma pada sekelompok SADHA (Saudara Dengan HIV Aids) di Lampung.
Sha Ine Febrianti, salah satu dari tiga dewan juri, aktris yang pernah membawakan teater monolog 'Surti dan Tiga Sawunggaling' karya Goenawan Muhammad itu pun mempertanyakan, bagaimana mereka membangun kedekatan dengan sosok perempuan yang kini usianya 38 tahun.
Sosok perempuan yang bakal menjadi salah satu sosok yang diangkat dalam instrumen film yang mengusung Indonesia Sehat sebagai tema dalam Eagle Awards Documentary 2016, tahun ini memasuki tahun ke sembilan (sebagai SADHA) dan bertahan setelah melalui batas-batas stigma.