Mohon tunggu...
YAKOB ARFIN
YAKOB ARFIN Mohon Tunggu... Buruh - GOD LOVES TO USE WHO ARE WILLING, NOT NECESSARILY THE CAPABLE

Addicted by Simon Reeve which experts conflict resolution documentary with his journey around the Carribean

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Lawang Sewu, Menilik Ruang Sejarah Kereta Indonesia

14 Juli 2016   16:39 Diperbarui: 15 Juli 2016   07:24 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semarang bukan main panasnya, menyengat dengan penuh daya hingga 35 derajat celsius. Padahal, waktu baru menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Nyaris seragam dengan teriknya Ibukotanya para migran. 

Menyusuri jalanan aspal Semarang tanpa berbekal SIM C (Surat Ijin Mengemudi) terasa istimewa. Bersama si Scoopy menyelinap di antara Trans Semarang sambil menjaga pandangan waspada dari jangkauan Polantas - makin membuat hati bahagia.

Selamat. Setiap jengkal lampu merah pun terlampaui. Jangan ditiru. Tak bermaksud melawan aturan. Tapi apa dikata bila rasa ingin itu tak lagi bisa dipendam.

Gambang Semarang yang biasa mengawang di Stasiun Tawang seolah memanggil dan memikat. Sebab itu salah sebuah alasan menyempatkan mampir empat malam di kota lumpia.

Di lampu merah Tugu Muda mata ini terdiam. Enam puluh detik disengat panas pun sepertinya tak terasa, sembari menatap fasade kembar milik bangunan berarsitektur eropa abad pertengahan.

Sisi bangunan Lawang Sewu dengan fasade yang indah khas bangunan eropa (FOTO: YAKOB ARFIN)
Sisi bangunan Lawang Sewu dengan fasade yang indah khas bangunan eropa (FOTO: YAKOB ARFIN)
Lawang Sewu. Apalagi kalau bukan landmark yang sudah rindu sekali untuk dijajahi. Tampilannya yang apik, gagah dan mistik, menambah semarak Kota Batavia kedua ini.

Weerkspoor Amsterdam buatan 1924 dijajar di halaman. Seperti dipamerkan bahwa dulu ia pernah berjaya. Kata orang dan banyak tulisan, ini museum yang diperuntukkan menilik sejarah Kereta Api Indonesia.

Electrisch Gedeelte dijejer menyambut pengunjung yang ingin menilik sejarah kereta api di Lawang Sewu (FOTO: YAKOB ARFIN)
Electrisch Gedeelte dijejer menyambut pengunjung yang ingin menilik sejarah kereta api di Lawang Sewu (FOTO: YAKOB ARFIN)
Dengan tiket seharga sepuluh ribu rupiah, ia mulai bercerita. Tak dinyana, dari Batavia ke Surabaya untuk kali pertamanya terhubung melalui Bogor, Kota Hujan tempatku dulu berkelana.

Semakin memikat saat mengetahui kenyataan, bahwa perlu tiga  hari tiga malam perjalanan jauhnya untuk ke sana, kala itu.

Terbayang rasanya di pelupuk mata, bila mana mesti mudik ke Surabaya naik Sepur Electrisch Gedeelte dalam tempo tiga hari.

Memasuki ruang demi ruang sambil mengkalkulasi jumlah lawang. Hingga bertemu rupa-rupa diorama bertaut sejarah. Mulai dari alat hitung odner (kalkulator model lawas) buatan Swedia, berkas-berkas kuno, hingga peta perkembangan jalur kereta Jawa-Madura 1888.

Diorama Stasiun Ambarawa (FOTO: YAKOB ARFIN)
Diorama Stasiun Ambarawa (FOTO: YAKOB ARFIN)
Tak heran bila kantor  Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) ini terpatri kuat di Kota Semarang. Sebab stasiun kereta api di Indonesia yang pertama kali dibangun adalah Stasiun Semarang (bukan Semarang Tawang), yang kini telah berubah menjadi pemukiman warga yang dikenal dengan sebutan Stasiun Kemijen.

Menilik sejarah kereta di kota ini membuat lidah terhenti untuk berkeluh kesah. Dibandingkan dengan negara sebelah, soal moda transportasi kereta - kita memang terlihat sedikit berada di belakang. 

Namun sebagai bocah yang kerap jemu membaca pelajaran sejarah, kini menjadi paham, bahwa jalur-jalur panjang kereta yang kerap kita lalui dirintis dengan peluh keringat bapak ibu kita di tengah masa tanam paksa.

Peta perkembangan jalur kereta api Jawa-Madura tahun 1888 hingga tahun 1898 (FOTO: YAKOB ARFIN)
Peta perkembangan jalur kereta api Jawa-Madura tahun 1888 hingga tahun 1898 (FOTO: YAKOB ARFIN)
Apalagi, mudik lebaran tahun ini banyak orang yang terbantu dan terhindar dari jebakan macet dengan memilih moda kereta api untuk  menunaikan silaturahmi di kampung halaman.

Sementara kereta api kita terus berbenah, maka saat itu pula kita memelihara dan ikut menjaga moda rakyat ini, sembari terus berharap lahirnya kursi-kursi dan jalur baru yang semakin lebih baik.

Argo Muria yang baru tiba dan siap menghantarkan ke Kota Lumpia (FOTO: YAKOB ARFIN)
Argo Muria yang baru tiba dan siap menghantarkan ke Kota Lumpia (FOTO: YAKOB ARFIN)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun