Semarang bukan main panasnya, menyengat dengan penuh daya hingga 35 derajat celsius. Padahal, waktu baru menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Nyaris seragam dengan teriknya Ibukotanya para migran.Â
Menyusuri jalanan aspal Semarang tanpa berbekal SIM C (Surat Ijin Mengemudi) terasa istimewa. Bersama si Scoopy menyelinap di antara Trans Semarang sambil menjaga pandangan waspada dari jangkauan Polantas - makin membuat hati bahagia.
Selamat. Setiap jengkal lampu merah pun terlampaui. Jangan ditiru. Tak bermaksud melawan aturan. Tapi apa dikata bila rasa ingin itu tak lagi bisa dipendam.
Gambang Semarang yang biasa mengawang di Stasiun Tawang seolah memanggil dan memikat. Sebab itu salah sebuah alasan menyempatkan mampir empat malam di kota lumpia.
Di lampu merah Tugu Muda mata ini terdiam. Enam puluh detik disengat panas pun sepertinya tak terasa, sembari menatap fasade kembar milik bangunan berarsitektur eropa abad pertengahan.
![Sisi bangunan Lawang Sewu dengan fasade yang indah khas bangunan eropa (FOTO: YAKOB ARFIN)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/07/14/lw4-57875c0c3e23bd7305ec6211.jpg?t=o&v=770)
Weerkspoor Amsterdam buatan 1924 dijajar di halaman. Seperti dipamerkan bahwa dulu ia pernah berjaya. Kata orang dan banyak tulisan, ini museum yang diperuntukkan menilik sejarah Kereta Api Indonesia.
![Electrisch Gedeelte dijejer menyambut pengunjung yang ingin menilik sejarah kereta api di Lawang Sewu (FOTO: YAKOB ARFIN)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/07/14/lw1-57875a1407b0bdfe06c19b6d.jpg?t=o&v=770)
Semakin memikat saat mengetahui kenyataan, bahwa perlu tiga  hari tiga malam perjalanan jauhnya untuk ke sana, kala itu.
Terbayang rasanya di pelupuk mata, bila mana mesti mudik ke Surabaya naik Sepur Electrisch Gedeelte dalam tempo tiga hari.
Memasuki ruang demi ruang sambil mengkalkulasi jumlah lawang. Hingga bertemu rupa-rupa diorama bertaut sejarah. Mulai dari alat hitung odner (kalkulator model lawas) buatan Swedia, berkas-berkas kuno, hingga peta perkembangan jalur kereta Jawa-Madura 1888.
![Diorama Stasiun Ambarawa (FOTO: YAKOB ARFIN)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/07/14/lw2-57875ad72c7a613f050719ba.jpg?t=o&v=770)
Menilik sejarah kereta di kota ini membuat lidah terhenti untuk berkeluh kesah. Dibandingkan dengan negara sebelah, soal moda transportasi kereta - kita memang terlihat sedikit berada di belakang.Â
Namun sebagai bocah yang kerap jemu membaca pelajaran sejarah, kini menjadi paham, bahwa jalur-jalur panjang kereta yang kerap kita lalui dirintis dengan peluh keringat bapak ibu kita di tengah masa tanam paksa.
![Peta perkembangan jalur kereta api Jawa-Madura tahun 1888 hingga tahun 1898 (FOTO: YAKOB ARFIN)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/07/14/lw3-57875b3bdd9373ab04712c40.jpg?t=o&v=770)
Sementara kereta api kita terus berbenah, maka saat itu pula kita memelihara dan ikut menjaga moda rakyat ini, sembari terus berharap lahirnya kursi-kursi dan jalur baru yang semakin lebih baik.
![Argo Muria yang baru tiba dan siap menghantarkan ke Kota Lumpia (FOTO: YAKOB ARFIN)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/07/14/lw5-57875cbcd59373af13868c31.jpg?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI