[caption caption="Joko Utomo (43) tampak sibuk memberi pakan dan memastikan pipa air minum otomastis bagi lima ratus ekor ayamnya. Menjelang sore, adalah jadwal rutin telor-telor ayam negeri ini dipanen. FOTO: YAKOB ARFIN"][/caption]Baginya, menjadi peternak ayam petelor bukan sekadar untuk menafkahi keluarga. Sulitnya memperoleh akses dan ilmu untuk mengembangkan usaha berbasis produk hasil unggas menjadi semangat yang ia selipkan sebagai ruang berbagi untuk siapapun yang ingin belajar.
Sabtu sore (2/1/2016) menjelang maghrib, saya tiba di Desa Pohgajih, Kecamatan Selorejo Kabupaten Blitar, singgah sejenak ke kediaman Pak lik (paman) saya yang hampir dua tahun ini kembali hijrah ke kampung asalnya di Blitar.
Setelah bersua sejenak, tanpa buang waktu saya diajak Joko Utomo (43), untuk bergegas ke kandang ayam petelor yang baru dirintisnya. Sambil melipir di pinggir lahan tumpang sari kebun jagung dan sengon, ia bercerita soal kesibukan barunya sebagai peternak ayam petelor.
Bangunan kandang ayam semi permanen mulai tampak di sela-sela tanaman jagung yang kian tinggi. Aroma khas kandang ayam perlahan menyergap. Setelah membuka pintu kandang dan mempersilakan saya menegok ke dalam, masker hijau berbungkus plastik bening ia sodorkan.
“Kalau masuk kandang kudhu pakai masker, biar nggak kena penyakit dan nggak terlalu terpapar bau kotoran ayam,” ujarnya sambil mengambil spatula untuk mengaduk pakan.
Kandang berkapasitas 1000 ekor ayam ini tak terlalu kotor seperti yang saya kira. Butir-butir telor ayam negeri berbaris rapi menunggu dipanen.
[caption caption="Satu per satu telor yang menggelinding dikumpulkan dan ditata di atas tatakan telor. FOTO: YAKOB ARFIN"]
Pak lik saya ini memang bukan sarjana peternakan. Hanya lulusan sekolah menengah atas yang belajar merintis usaha sejak kesehatannya pulih akibat Mycobacterium yang sempat hinggap di paru-parunya.
Sore hari memang jadwal rutinnya untuk memanen telur-telur yang dihasilkan lima ratus indukan. Mengambil dan menata perlahan di tatakan telor, sambil memastikan suhu dan pakan agar ayam-ayamnya tetap produktif.
Telor-telor yang dikumpulkan sore itu disimpannya di ruang penyimpanan, sembari menunggu pelanggannya yang seminggu sekali rutin menjemput ribuan butir telor.
“Walau di sini banyak yang usaha ayam petelor, agak susah dapat ilmu dan belajar dari senior,” ungkapnya sambil membopong lima tumpukan tatakan telor.
"Lalu belajar dari siapa? Apa ada penyuluh dinas pertanian dan peternakan yang mendampingi peternak di sini?"
"Jangankan dinas pertanian peternakan, wong orang yang senior saja nggak banyak yang mau sharing ilmu," ujarnya.
Mendengar jawabannya saya sedikit maklum bila "senior-senior" di desanya itu agak tertutup soal ilmu ternak ayam. "Takut disaingi," katanya lagi.
[caption caption="Bagian belakang kandang dijadikan tempat untuk menyimpan stok air minum untuk ratusan ekor ayam. Bersebelahan dengan kebun jagung dan sengon. FOTO: YAKOB ARFIN"]
Ia sendiri belajar otodidak dari majalah atau tabloid bekas sejenis Trubus dan pengalaman ternak lele yang akhirnya ditutup karena merugi.
Meski tampak sedikit kecewa karena terbatasnya informasi dan sempitnya ruang berbagi antar peternak, ia justru belajar pentingnya untuk berbagi ilmu.
Bersama Handoko, ia membuka diri bagi masyarakat yang tergabung dalam Balai Latihan Kerja (BLK) yang diasuh salah satu rumah ibadah yang ada di desanya.
"Nggak terbatas buat anak-anak muda atau bapak-bapak yang ada di BLK, siapa pun yang mau belajar boleh ke sini. Aku malah seneng," ungkapnya tampak antusias.
Meski kandang miliknya masih berteknologi sederhana dan terkategori sebagai peternak gurem, yang keuntungannya baru cukup untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya, ia cukup senang tat kala salah satu rekannya yang pernah belajar manajemen pengelolaan hasil ternak kini telah memiliki kandang ayam dengan skala yang lebih besar.
"Aku cuma pingin ada bimbingan teknis dari dinas. Pingin belajar soal kesehatan ternak agar bisa menerapkan lingkungan usaha ternak ayam petelor yang sehat buat masyarakat di sini," ujarnya.
[caption caption="Lito Demus, antusias mengumpulkan butir-butir telur di kandang ayam mbah kakungnya ini. FOTO: YAKOB ARFIN"]
Sambang dan berkunjung ke kandang serta turut memanen telor negeri milik keluarga menjadi kesempatan belajar sekaligus ruang edukasi bagi Lito, keponakan saya yang antusias memulung telur-telur hangat langsung dari kandanganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H