Saya pun segera mengusulkan pada ibu untuk mencoba racikan hasil karya ilmiah yang saya temukan dalam literatur tersebut. Ibu akhirnya mencoba usulan ini. Setelah butir-butir kedelai rebus digilas untuk dikuliti  arinya dan dilimbang air berkali-kali, kedelai kemudian direndam dalam air kelapa dengan perbandingan tertentu dicampur dengan air biasa.
Kedelai dalam kuali berisi sepuluh liter air dikombinasikan dengan tiga liter air kelapa. Perbandingan ini pun menyesuaian dengan volume kedelai yang dibuat sesuai kebutuhan.
Hasilnya pun lumayan menggembirakan. Tetangga-tetangga sekitar rumah kami yang jadi pelanggan berkomentar positif. Selain rasa dan aroma yang menurut mereka lebih enak, tempe buatan kami juga cukup bersih. Berbeda dengan tempe-tempe pasar yang kerap dicampur dengan jagung.
Meski tak sukses melanjutkan niat untuk memproduksi tempe, setidaknya ini menjadi bagian dari pengalaman untuk mempertahankan eksistensi tempe dan mewarisi nilai budaya konsumsi tempe. Sebagaimana mbah Sari yang mampu bertahan sebagai produsen tempe Sanan, tempenya arek Malang, yang berpusar di tengah gempuran harga kedelai yang terus merangkak naik.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H