Mohon tunggu...
Erkata Yandri
Erkata Yandri Mohon Tunggu... Konsultan - Praktisi di bidang Management Productivity-Industry, peneliti Pusat Kajian Energi dan pengajar bidang Efisiensi Energi dan Energi Terbarukan pada Sekolah Pascasarjana, Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada, Jakarta.

Memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun sebagai Manajemen Productivity-Industry dan Energy sebagai Technical Services Specialist dengan menangani berbagai jenis industri di negara ASEAN, termasuk Indonesia dan juga Taiwan. Pernah mendapatkan training manajemen dan efisiensi energi di Amerika Serikat dan beasiswa di bidang energi terbarukan ke universitas di Jerman dan Jepang. Terakhir mengikuti Green Finance Program dari Jerman dan lulus sebagai Green Finance Specialist (GFS) dari RENAC dan juga lulus berbagai training yang diberikan oleh International Energy Agency (IEA). Juga aktif sebagai penulis opini tentang manajemen dan kebijakan energi di beberapa media nasional, juga berhasil mempublikasikan hasil penelitiannya tentang efisiensi energi dan energi terbarukan di berbagai jurnal internasional bereputasi.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Skin-care "Sugiono": Strategi Awet Muda Gerindra

2 November 2024   13:07 Diperbarui: 2 November 2024   17:23 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Skin-care Politik Gerindra

Dalam dunia kecantikan, skin-care adalah hal yang wajib bagi mereka yang ingin tampil segar dan tetap relevan. Begitu juga dalam politik, di mana partai-partai harus pintar merawat citranya agar selalu terlihat “muda” dan menarik di mata para pemilih, terutama generasi muda yang kian mendominasi peta demografi Indonesia. Partai politik pun kini perlu menyusun “ritual skin-care” mereka sendiri agar tetap bersinar dan tak tampak usang di tengah gempuran isu-isu kontemporer yang digemari anak muda.

Di tengah geliat ini, Partai Gerindra memanfaatkan sosok Sugiono, kader muda berbakat yang langsung diberi peran strategis sebagai Menteri Luar Negeri dalam kabinet Prabowo Subianto. Sugiono bisa dibilang “produk skin-care” terbaru dari Gerindera—satu langkah perawatan yang bukan hanya membuat partai ini tetap “awet muda” secara visual, tapi juga merefleksikan nilai-nilai yang dicari generasi baru. Sugiono diposisikan sebagai wajah segar yang tampil dekat dengan aspirasi anak muda, generasi yang mulai mendominasi panggung pemilu dan, lebih penting lagi, pemilu 2029 mendatang.

Langkah ini tidak hanya cerdas, tetapi juga relevan dengan perubahan demografi Indonesia. Data dari CSIS memproyeksikan bahwa dalam pemilu 2024, hampir 60% pemilih terdiri dari kaum muda Generasi Z dan milenial, yang memiliki minat besar pada figur politik yang bisa menyesuaikan diri dengan isu-isu kontemporer seperti kejujuran, keterbukaan, anti-korupsi, serta kepemimpinan yang adaptif. Sugiono, seorang lulusan Norwich Military Academy dengan reputasi cerdas dan dekat dengan Prabowo, adalah wajah yang tepat untuk menampilkan nuansa “futuristik” Gerindera.

Bagi generasi muda yang berkeinginan melihat pemimpin yang relevan dan mampu mengekspresikan aspirasi mereka, sosok Sugiono menjadi cerminan visi Gerindra untuk menarik simpati. Seolah menggunakan produk perawatan kulit anti-penuaan, Gerindra memastikan bahwa penampilan mereka tetap “muda” di mata para pemilih, seiring mereka mempersiapkan diri untuk persaingan yang semakin dinamis dan kompetitif di 2029 nanti.

Fenomena Sugiono sebagai bagian dari strategi “skin-care” politik Gerindra menjadi sinyal bahwa partai ini memahami arus besar perubahan. Di satu sisi, mereka menyadari kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan aspirasi pemilih muda, dan di sisi lain, mereka bersiap untuk mengantarkan wajah-wajah baru yang bisa melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan partai. Dalam iklim politik yang terus berkembang, penampilan awet muda ini akan menjadi daya tarik yang kuat, sekaligus senjata andalan untuk merebut hati generasi baru yang sangat peduli pada representasi dan relevansi.

Tanda-Tanda Penuaan di Politik Indonesia

Di tengah perkembangan dunia yang semakin cepat, politik Indonesia masih kerap terlihat seperti lukisan lama yang memudar—di mana wajah-wajah yang mendominasi adalah mereka yang telah lama berkecimpung dalam pusaran kekuasaan, bahkan sejak masa Orde Baru. Banyak partai politik, terutama yang sudah berdiri sejak era pra-reformasi, masih bertumpu pada tokoh-tokoh senior sebagai pilar utama kepemimpinan. Padahal, di luar sana, arus perubahan generasi terus bergulir; pemilih muda, yang jumlahnya kini semakin dominan, membawa serta nilai-nilai dan perspektif baru yang jauh dari narasi politik masa lalu.

Fenomena “penuaan” politik ini makin terlihat ketika dibandingkan dengan nilai dan minat pemilih muda yang menginginkan sosok pemimpin jujur, anti-korupsi, dan mampu merespons cepat perubahan zaman. Pemilih muda, yang menurut proyeksi CSIS akan mencapai hampir 60% dari total pemilih dalam Pemilu 2024, adalah generasi yang akrab dengan isu-isu sosial-budaya, teknologi digital, dan lingkungan hidup. Mereka tidak hanya memilih berdasarkan nama besar atau loyalitas sejarah; mereka mencari pemimpin yang bisa menjawab tantangan modern dengan pendekatan yang segar dan solutif. Generasi ini lebih kritis terhadap isu-isu seperti transparansi, inovasi, dan keadilan sosial—nilai-nilai yang jarang diprioritaskan oleh politikus senior yang bertumpu pada pola kepemimpinan lama.

Namun, partai-partai yang masih mengandalkan wajah-wajah tua cenderung terjebak dalam gaya komunikasi yang kaku dan kurang adaptif terhadap media sosial, platform yang kini jadi sumber utama informasi politik bagi generasi muda. Mereka sering kali terlihat “ketinggalan zaman,” seperti seseorang yang tetap mempertahankan pakaian dan gaya yang sudah usang. Di mata pemilih muda, pola kepemimpinan semacam ini lebih terlihat seperti halangan daripada penggerak perubahan, sehingga menciptakan jurang antara partai dan pemilihnya.

Data dari survei CSIS menunjukkan bahwa pemilih muda di Indonesia memiliki ketertarikan yang tinggi pada figur pemimpin yang tidak hanya jujur dan anti-korupsi, tetapi juga adaptif terhadap perkembangan digital. Mereka ingin pemimpin yang dapat memahami cara berpikir mereka—generasi yang tumbuh bersama internet, media sosial, dan diskursus global yang melibatkan hak asasi manusia, kesetaraan, serta lingkungan. Isu-isu ini, bagi sebagian besar pemilih muda, bukan sekadar tren tetapi cerminan dari identitas mereka sebagai generasi yang ingin masa depan yang lebih berintegritas dan berkeadilan.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: Bagaimana partai-partai yang masih didominasi oleh tokoh tua ini akan meraih simpati pemilih muda? Jika mereka tidak segera berbenah, merekrut dan mempromosikan kader muda yang bisa mewakili semangat zaman, mereka berisiko menjadi “museum politik” yang dihuni oleh wajah-wajah lama tanpa pembaruan visi. Alih-alih merangkul generasi baru, partai-partai ini justru berisiko mengasingkan diri dari gelombang pemilih yang jumlahnya semakin besar. Tanpa perubahan nyata dalam kepemimpinan dan strategi, tanda-tanda penuaan politik ini akan semakin jelas terlihat—dan, pada akhirnya, menghambat daya saing mereka dalam pemilu mendatang.

Gerindra dan Strategi Awet Muda

Langkah strategis Prabowo Subianto dalam mengangkat Sugiono sebagai figur sentral di dalam Partai Gerindra mencerminkan upaya serius untuk menjawab tantangan demografis yang dihadapi menjelang pemilu 2024. Dalam konteks politik yang terus berkembang, di mana generasi muda memiliki peran yang semakin signifikan, pengangkatan Sugiono dapat dianggap sebagai tindakan cerdas yang menunjukkan kepekaan partai terhadap kebutuhan dan harapan pemilih muda. Sugiono, yang dikenal dekat dengan kalangan muda, memiliki pemahaman yang mendalam tentang isu-isu global dan lokal yang relevan dengan mereka. Pendidikan yang kuat, kemampuan komunikasi yang baik, serta wawasan internasionalnya membuatnya menjadi representasi ideal bagi Gerindera dalam merangkul generasi baru.

Sugiono bukan sekadar figur simbolis; dia adalah perwujudan dari "peremajaan" politik yang diperlukan untuk menjaga daya tarik partai di kalangan pemilih muda. Dengan mengangkat tokoh seperti Sugiono, Gerindera menunjukkan bahwa mereka berkomitmen untuk memahami dan menjawab tantangan yang dihadapi oleh pemilih muda, termasuk isu-isu seperti perubahan iklim, keadilan sosial, dan transparansi pemerintahan. Sugiono diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai dan aspirasi generasi muda dalam setiap kebijakan yang akan diusulkan oleh partai, sekaligus memberikan perspektif yang segar dalam proses pengambilan keputusan.

Strategi "skin-care politik" ini sangat penting, terutama mengingat bahwa hampir 60% pemilih adalah generasi muda yang memiliki pandangan dan nilai-nilai yang berbeda dari generasi sebelumnya. Sugiono, sebagai figur muda yang berorientasi pada masa depan, dapat membantu Gerindera untuk berkomunikasi lebih efektif dengan pemilih muda, mengatasi kesan bahwa partai ini didominasi oleh tokoh-tokoh senior yang mungkin dianggap ketinggalan zaman. Ini adalah langkah proaktif yang menunjukkan bahwa Gerindera tidak hanya berfokus pada pemilu yang akan datang, tetapi juga mempersiapkan diri untuk masa depan yang lebih baik, dengan pondasi yang kuat melalui regenerasi kepemimpinan.

Namun, langkah ini tidak boleh berhenti hanya pada pengangkatan satu tokoh muda. Gerindera harus mengembangkan ekosistem yang mendukung keberadaan dan pengembangan pemimpin muda lainnya. Ini mencakup program pendidikan dan pelatihan kepemimpinan yang berfokus pada penguatan kapasitas anggota muda dalam berbagai aspek, seperti komunikasi publik, strategi pemasaran politik, dan pengelolaan isu-isu sosial yang relevan. Dengan cara ini, Gerindera tidak hanya mengangkat Sugiono, tetapi juga menciptakan jalur bagi generasi muda lainnya untuk memasuki arena politik dan berkontribusi secara nyata dalam merumuskan kebijakan yang berdampak positif bagi masyarakat.

Sebagai contoh, Gerindra bisa mengadakan forum diskusi atau dialog publik yang melibatkan pemilih muda dan tokoh-tokoh muda partai, di mana mereka bisa saling bertukar pikiran tentang isu-isu yang relevan, seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Melalui forum seperti ini, Gerindra dapat memperkuat hubungan antara partai dan generasi muda, serta menunjukkan komitmen mereka untuk mendengarkan dan merespons aspirasi mereka. Selain itu, keberadaan Sugiono di posisi strategis juga bisa dimanfaatkan untuk menggalang dukungan dari influencer dan pemimpin opini di kalangan anak muda, sehingga memperluas jangkauan partai dan menarik perhatian lebih banyak pemilih muda.

Satu aspek penting lainnya dari strategi awet muda ini adalah penggunaan teknologi dan media sosial. Di era digital ini, generasi muda sangat terhubung melalui platform online, dan Gerindra harus memanfaatkan peluang ini untuk berkomunikasi dengan mereka. Sugiono, sebagai figur yang melek teknologi, dapat memimpin inisiatif partai dalam mengembangkan konten yang menarik dan informatif di media sosial, mengadakan kampanye digital yang kreatif, serta membangun interaksi langsung dengan pemilih melalui platform-platform tersebut. Ini akan memberikan citra bahwa Gerindera adalah partai yang modern dan memahami cara berkomunikasi yang relevan dengan generasi muda.

Dengan ini, pengangkatan Sugiono sebagai tokoh kunci dalam Gerindra bukan hanya sekadar langkah untuk mengisi posisi kepemimpinan, tetapi juga merupakan bagian dari strategi yang lebih besar untuk memperkuat hubungan partai dengan pemilih muda. Melalui pendekatan yang inovatif, berorientasi pada masa depan, dan responsif terhadap perubahan sosial, Gerindra dapat memastikan bahwa mereka tetap relevan dan menarik di mata generasi muda. Dengan menciptakan ekosistem yang mendukung kemunculan pemimpin muda dan memanfaatkan teknologi serta media sosial, Gerindera dapat menjadi pelopor dalam memperkenalkan wajah baru dalam politik Indonesia yang lebih inklusif dan dinamis.

Tantangan untuk Partai yang Belum “Sadar Penuaan”

Dalam konteks politik Indonesia, banyak partai yang masih berpegang pada struktur kepemimpinan yang didominasi oleh tokoh-tokoh senior. Ini menimbulkan tantangan besar bagi mereka, terutama ketika mempertimbangkan demografi pemilih yang semakin muda dan dinamis. Partai-partai yang enggan melakukan regenerasi kepemimpinan dapat terjebak dalam apa yang bisa disebut sebagai "keriput politik," di mana mereka kehilangan relevansi dan daya tarik di mata pemilih muda yang progresif dan digital-savvy.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh partai-partai ini adalah kesulitan dalam mengadaptasi diri dengan perubahan sosial dan budaya yang cepat. Generasi muda, yang mencakup hampir 60% dari total pemilih, memiliki nilai-nilai dan harapan yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka cenderung mencari sosok yang tidak hanya memiliki integritas dan kejujuran, tetapi juga mampu beradaptasi dengan isu-isu kontemporer seperti perubahan iklim, keadilan sosial, dan teknologi digital. Jika partai-partai ini terus-menerus mengandalkan tokoh senior yang mungkin sudah ketinggalan zaman, mereka berisiko kehilangan koneksi dengan aspirasi dan keinginan pemilih muda.

Data survei menunjukkan bahwa pemilih muda saat ini lebih menyukai kandidat yang terbuka, transparan, dan bersih dari korupsi. Pemilih muda menginginkan calon pemimpin yang berkomitmen pada anti-korupsi dan memiliki pemahaman yang baik tentang perubahan digital. Dengan tetap mempertahankan tokoh senior yang seringkali terjebak dalam praktik politik lama, partai-partai tersebut berisiko terlihat tidak relevan dan kurang mampu menyampaikan pesan yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan pemilih muda.

Lebih lanjut, ketidakmampuan untuk menampilkan wajah baru dalam kepemimpinan juga bisa berdampak pada citra partai secara keseluruhan. Pemilih muda, yang sangat aktif di media sosial, cenderung lebih kritis terhadap kepemimpinan yang dianggap stagnan. Mereka mencari pemimpin yang dapat memberi inspirasi, menunjukkan visi yang jelas, dan berkomitmen untuk melakukan perubahan nyata. Ketika partai-partai ini gagal memenuhi harapan tersebut, mereka berisiko kehilangan kepercayaan dari pemilih muda, yang pada gilirannya dapat menyebabkan penurunan dukungan pada pemilu mendatang.

Tantangan lain yang dihadapi oleh partai yang belum "sadar penuaan" adalah kurangnya inovasi dalam pendekatan kampanye. Partai-partai ini sering kali menggunakan strategi yang sama yang telah terbukti berhasil di masa lalu, tanpa mempertimbangkan perubahan dalam cara orang berinteraksi dengan politik. Pemilih muda lebih memilih metode komunikasi yang lebih langsung dan interaktif, seperti melalui media sosial dan platform digital lainnya. Jika partai-partai ini terus berpegang pada cara-cara tradisional tanpa melakukan perubahan, mereka akan kesulitan untuk menarik perhatian pemilih muda yang lebih suka mengkonsumsi informasi secara cepat dan efisien.

Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi partai-partai yang masih bergantung pada tokoh senior untuk mulai memikirkan cara untuk melakukan regenerasi kepemimpinan secara strategis. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan mengidentifikasi dan mempromosikan calon-calon muda yang memiliki potensi dan integritas. Selain itu, partai-partai ini juga harus menciptakan program yang memungkinkan anggota muda untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan. Ini akan tidak hanya membantu mempersiapkan generasi pemimpin baru, tetapi juga menunjukkan kepada pemilih muda bahwa partai tersebut serius dalam memahami dan memenuhi kebutuhan mereka.

Akhirnya, partai-partai yang belum "sadar penuaan" perlu menyadari bahwa perubahan adalah suatu keharusan dalam dunia politik yang terus berkembang. Dengan memprioritaskan regenerasi kepemimpinan, inovasi dalam komunikasi, dan pemahaman yang mendalam tentang aspirasi pemilih muda, mereka tidak hanya akan dapat mempertahankan relevansi, tetapi juga memposisikan diri mereka sebagai kekuatan yang mampu menghadapi tantangan politik di masa depan. Ini adalah saat yang krusial bagi partai-partai ini untuk beradaptasi, agar tidak terjebak dalam stagnasi yang dapat berakibat fatal bagi kelangsungan hidup mereka dalam kancah politik Indonesia yang kompetitif.

Peremajaan sebagai Strategi Politik

Menghadapi tantangan demografis dan sosial yang kompleks, partai-partai lain di Indonesia harus menyadari bahwa regenerasi kepemimpinan bukanlah sekadar pilihan, tetapi keharusan strategis. Mengadopsi pendekatan inovatif yang telah ditunjukkan oleh Partai Gerindra, yang dengan berani mengangkat figur muda seperti Sugiono, dapat menjadi langkah awal menuju revitalisasi politik yang diperlukan. Namun, ini tidak hanya soal memperkenalkan wajah baru; ini tentang menciptakan ekosistem yang mendukung generasi baru pemimpin untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal.

Salah satu langkah konkret yang bisa diambil adalah mengadakan program pencarian dan pelatihan pemimpin muda yang berbakat dari berbagai latar belakang. Inisiatif semacam ini tidak hanya akan menciptakan jalur bagi individu berbakat untuk masuk ke dunia politik, tetapi juga memastikan bahwa partai-partai memiliki basis kepemimpinan yang beragam dan inklusif. Pelatihan ini dapat mencakup pendidikan formal, seperti seminar dan lokakarya tentang kepemimpinan politik, kebijakan publik, dan keterampilan komunikasi. Selain itu, partai harus memberikan kesempatan bagi anggota muda untuk terlibat dalam proyek nyata dan kegiatan kampanye yang memberikan pengalaman praktis dan pemahaman mendalam tentang dinamika politik.

Memilih tokoh muda yang memiliki karakter "fresh," integritas, dan pemahaman mendalam tentang teknologi adalah langkah krusial. Dalam dunia yang semakin dipengaruhi oleh teknologi dan media sosial, penting bagi pemimpin baru untuk mampu berkomunikasi dengan baik mengenai isu-isu yang relevan, seperti perubahan iklim, keadilan sosial, dan transparansi pemerintahan. Dengan menonjolkan pemimpin muda yang memiliki visi dan dapat menjalin komunikasi yang efektif, partai-partai tidak hanya akan menarik perhatian pemilih muda, tetapi juga membangun hubungan yang lebih kuat dan berkelanjutan.

Analogi yang tepat untuk memahami pendekatan ini adalah produk skin-care anti-penuaan, yang menawarkan manfaat jangka panjang jika dirawat dengan baik. Keberhasilan partai di masa depan sangat ditentukan oleh bagaimana mereka merawat dan menampilkan citra segar di depan pemilih. Hal ini mencakup bukan hanya pengenalan tokoh muda, tetapi juga cara partai berkomunikasi mengenai nilai-nilai dan misinya. Dalam hal ini, penggunaan media sosial dan platform digital lainnya menjadi alat penting untuk menjangkau pemilih muda, di mana komunikasi yang terbuka dan interaktif dapat memperkuat keterlibatan pemilih.

Melalui pendekatan ini, partai-partai dapat menemukan kembali tujuan dan visi mereka, yang memungkinkan mereka untuk terhubung dengan generasi muda yang mendambakan kepemimpinan yang inovatif, dinamis, dan responsif. Ini merupakan peluang emas untuk menyelaraskan kebijakan dan strategi partai dengan kebutuhan serta harapan pemilih muda, menjadikan suara mereka sebagai pusat dari setiap keputusan politik.

Selain itu, partai-partai juga perlu aktif dalam merespons isu-isu yang dekat dengan pemilih muda, seperti kesehatan mental, pendidikan berkualitas, dan akses terhadap teknologi. Dengan berani mengambil posisi yang jelas tentang isu-isu ini, partai-partai dapat menunjukkan bahwa mereka tidak hanya mendengarkan, tetapi juga bertindak untuk memenuhi aspirasi generasi muda. Ini bukan hanya tentang mengatasi tantangan saat ini, tetapi juga tentang membangun masa depan yang lebih baik dan inklusif.

Akhirnya, untuk memastikan peremajaan yang efektif, partai-partai harus menciptakan budaya internal yang mendukung inovasi dan partisipasi anggota muda. Ini bisa dicapai dengan membuka jalur komunikasi yang jelas antara generasi senior dan junior dalam partai, memberikan ruang bagi ide-ide baru, serta mengadakan forum diskusi yang memungkinkan pertukaran pandangan yang konstruktif.

Strategi Awet Muda yang Tak Terelakkan

Dalam era di mana suara pemilih muda semakin menentukan arah politik, strategi peremajaan yang diterapkan oleh Partai Gerindra, dengan "skin-care Sugiono"-nya, menunjukkan pemahaman mendalam tentang kebutuhan dan harapan generasi ini. Gerindra tidak hanya sekadar memperkenalkan tokoh baru; mereka telah menciptakan narasi yang relevan dan menarik, menjawab tantangan demografis dengan kebaruan dan kesegaran yang diperlukan untuk tetap relevan dalam panggung politik Indonesia. Sugiono, sebagai simbol peremajaan partai, mencerminkan sikap adaptif dan wawasan global yang sangat diinginkan oleh pemilih muda.

Dengan hampir 60% pemilih yang berasal dari kalangan muda, jelas bahwa partai politik yang ingin bertahan harus menyadari pentingnya regenerasi kepemimpinan. Strategi yang terfokus pada pengembangan figur muda yang berintegritas, inovatif, dan peka terhadap isu-isu kontemporer adalah langkah esensial untuk menarik perhatian dan mendapatkan kepercayaan generasi ini. Dalam dunia yang cepat berubah, partai politik tidak bisa lagi berpegang pada cara-cara tradisional yang kaku; mereka perlu beradaptasi dengan nilai-nilai yang dihargai oleh pemilih muda, seperti kejujuran, transparansi, dan komitmen terhadap perubahan sosial.

Seperti halnya produk skin-care yang memerlukan perawatan konsisten untuk menunjukkan hasil yang diinginkan, politik juga membutuhkan regenerasi yang tepat dan perhatian yang berkelanjutan untuk menjaga relevansi. Partai yang berani melakukan inovasi dan peremajaan akan memiliki peluang lebih besar untuk bertahan dalam persaingan yang semakin ketat. Ketidakpedulian terhadap regenerasi kepemimpinan hanya akan menjerumuskan partai-partai ke dalam ketidakpahaman dan keterasingan dari suara-suara baru yang akan memandu masa depan negara.

Akhirnya, penting bagi semua partai politik di Indonesia untuk memahami bahwa keberhasilan jangka panjang mereka terletak pada kemampuan mereka untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan yang berarti dengan generasi muda. Dengan melibatkan dan memberdayakan pemimpin muda, serta menciptakan ruang untuk ide-ide baru, partai-partai dapat memastikan bahwa mereka tidak hanya menjadi pengamat perubahan, tetapi juga menjadi pelopor dalam perjalanan menuju masa depan yang lebih baik dan lebih inklusif. Dalam dunia politik yang terus berubah, regenerasi bukan sekadar pilihan; itu adalah keharusan yang tak terelakkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun