Mohon tunggu...
Erkata Yandri
Erkata Yandri Mohon Tunggu... Konsultan - Praktisi di bidang Management Productivity-Industry, peneliti Pusat Kajian Energi dan pengajar bidang Efisiensi Energi dan Energi Terbarukan pada Sekolah Pascasarjana, Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada, Jakarta.

Memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun sebagai Manajemen Productivity-Industry dan Energy sebagai Technical Services Specialist dengan menangani berbagai jenis industri di negara ASEAN, termasuk Indonesia dan juga Taiwan. Pernah mendapatkan training manajemen dan efisiensi energi di Amerika Serikat dan beasiswa di bidang energi terbarukan ke universitas di Jerman dan Jepang. Terakhir mengikuti Green Finance Program dari Jerman dan lulus sebagai Green Finance Specialist (GFS) dari RENAC dan juga lulus berbagai training yang diberikan oleh International Energy Agency (IEA). Juga aktif sebagai penulis opini tentang manajemen dan kebijakan energi di beberapa media nasional, juga berhasil mempublikasikan hasil penelitiannya tentang efisiensi energi dan energi terbarukan di berbagai jurnal internasional bereputasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengulas Jeweran Buya Maarif untuk Elite Politik Sumbar

29 Oktober 2021   10:16 Diperbarui: 1 November 2021   07:37 2364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini berawal dari tantangan yang diberikan oleh teman saya jurnalis yang di Bintan itu. Sebelumnya dia sudah melempar diskusi ini di lapak chiex-thiego kami nan spesial.

Saya pun juga terlibat dalam diskusi tersebut. Kemudian dia japri saya, “Tulislah tentang Buya Maarif itu! Mungkin itulah bentuk pemikiran yang bisa kita sumbangkan dari rantau untuk kemajuan kampung halaman kita”.

Lalu, saya langsung iyakan saja. Artinya, saya berjanji akan menulisnya. Bukti keseriusan saya, konsep judul tulisan ini langsung saya share ke dia. Dia puas. Saya langsung dapat “jempol” dari dia. Saya pun jadi tenang dan senang.

Namun sayangnya akhir-akhir ini saya cukup sibuk. Load lagi banyak. Janji tidak bisa langsung saya eksekusi. Tapi, saya tetap merasa punya utang sama dia.

Maka, tulisan ini langsung saya tuntaskan. Pas juga ada momennya. Apalagi masih ditemani juga oleh sponsor tetap. Segelas kopi hitam (tanpa gula) tentunya.

Saat ini, tidak ada orang Minang yang tidak kenal dengan nama Buya Maarif. Termasuk saya tentunya. Lengkapnya, biasa orang menyebut Buya Safii Maarif.

Walaupun sejak remaja sudah merantau ke tanah Jawa, nama beliau tetap spesial bagi masyarakat Minang. Baik yang di perantauan maupun yang di ranah Minang sekali pun.

Kalau saya mulai kenal nama beliau ini sejak zaman kuliah. Saya pernah mendengar nama beliau disebut-sebut oleh teman-teman ketika kami diskusi ngalor-ngidul di tempat kos. Maklumlah, anak rantau. Sok-sok bicara politiklah.

Baiklah. Kita mulai saja!

Begini ceritanya. Dalam acara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-76 provinsi Sumatera Barat di Gedung DPRD Sumbar, Jumat, 1 Oktober 2021 lalu, Buya Syafii Maarif diundang hadir secara virtual untuk memberikan pandangannya.

Saya amati, ada 3 poin penting dari yang disorot oleh Buya Maarif. Pertama, pembangunan di Sumbar yang menurutnya jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan daerah lain.

Kedua, kekakuan dalam mememainkan diplomasi kepada pemerintah pusat. Ketiga, kurangnya membina hubungan kerja sama dengan tokoh Minang antara yang di ranah dengan yang di rantau.

Saya yakin, mungkin ada sebagian dari kita yang bertanya dalam hati. Begini, “Apa benar itu seperti yang dijewer oleh Buya Maarif?” Saya belum berani memberikan jawabannya. Justru, saya ingin mengajak anda untuk mencari jawabannya. Untuk itu, mari kita ulas satu persatu dengan jernih.

Pertama, mengenai pembangunan di Sumbar yang menurutnya jauh ketinggalan dibandingkan daerah lain yang diperparah lagi oleh dampak Covid-19. Sehingga, kantong-kantong kemiskinan semakin bertambah.

Kalau sudah urusan indikator pembangunan begini, tampaknya kita harus mampir ke lapaknya BPS (Biro Pusat Statistik). Bisa kita intip sebentar ke lokasi gudang data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut Propinsi untuk globalnya, atau secara khusus di Laju Pertumbuhan Produk Domestik (LPPD) maupun langsung saja ke TKP di Persentase Penduduk Miskin (PPM) menurut Provinsi.

IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Diperkenalkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan Human Development Report (HDR).

Kalau diperhatikan, memang secara statitistik angka-angka IPM meningkat dari tahun ke tahun. Posisinya masih sedikit di atas rata-rata nasional yang 72%. Sama halnya dengan LPPD dan PPM yang secara data juga ada kemajuan. 

Mungkin, bagi Buya, angka pencapaian itu tidak sesuai dengan potensi SDA dan SDM yang dimiliki Sumbar. Potensi besar, tapi hasilnya tidak memadai. Seharusnya, angka-angka itu bisa jauh di atas itu.

Respons para perantau yang sudah lama tidak pulang melihat pembangunan Sumbar, baik fisik maupun mental spiritual, begitu juga dengan yang sudah lama di Sumbar. Jawaban kedua pihak ini hampir sama. Tidak banyak perubahan yang siginifikan. Masih co itu se wak caliak.

Kedua, mengenai kekakuan dalam memainkan diplomasi kepada pemerintah pusat. Kekakuan dalam bersikap hanya punya satu risiko, daerah akan semakin telantar dalam proses pembangunan yang sangat diperlukan rakyat kecil yang nafasnya masih terengah-engah di lingkungan orang kaya yang tidak peduli.

Malah, Sumbar kalah dalam merayu pusat untuk mewujudkan proyek pembangunan besar di daerahnya. Diplomasi Sumbar kalah jauh disbanding Lampung, NTT dan juga Kepri.

Lampung akan membangun kawasan pariwisata terintegrasi Pelabuhan Bakauheni seluas 200 hektare. Tahun 2021 ini mulai dibangunnya. Anggarannya mencapai Rp800 miliar.

Jika sudah terealisasi, Bakauheni akan menjadi tujuan wisata unggulan di Indonesia. Potensinya, rata-rata 20 ribu orang melintasi Pelabuhan Penyeberangan Merak menuju Bakauheni dan sebaliknya dalam sehari.

NTT akan membangun Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Labuan Bajo di Kabupaten Mangarai Barat. Labuan Bajo diproyeksikan sebagai destinasi pariwisata peremium kelas dunia yang dapat menjadi daya tarik para pelancong dari berbagai negara. Salah satu destinasi pariwisata yang tengah disiapkan adalah Puncak Waringin yang berjarak sekitar 1 kilometer dari Bandara Komodo.

Kepri dengan Kementerian PUPR telah melakukan pengkajian teknis dan finansial pada pembangunan Jembatan Batam-Bintan.

Pembangunan jalan dan jembatan tersebut menggunakan 2 skema pembiayaan yaitu dengan dukungan pemerintah dan dukungan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).

Pembangunan Jembatan Batam-Bintan dinilai dapat mempercepat pemerataan pembangunan antara kedua pulau. Total panjang keseluruhan 14,74 km yang terdiri dari panjang jalan 7,06 km dan panjang jembatan 7,68 km.

Maka tidak heran kalau Kepri mempunyai IPM yang lebih tinggi dari Sumbar. Itu propinsi yang terbilang lebih muda dari Sumbar. Catat itu! 

Dalam hal ini, harus diakui, Sumbar sudah tidak punya kemampuan dalam menarik investasi dalam/luar dalam membangun Sumbar. Bahkan, mengadakan pendekatan dan komunikasi dengan pusat pun tidak kelihatan gregetnya. Jauh kalah agresifnya dibanding propinsi lain.

Ketiga, mengenai kurangnya membina hubungan kerja sama dengan tokoh Minang baik yang ada di ranah dan rantau. Sebagian kekuatan Sumbar terletak pada terwujudnya kerja sama yang erat antara ranah dan rantau.

Semakin menurunnya upaya memberdayakan perantau oleh yang di ranah. Zaman dulu, kegiatan pemanfaatn potensi perantau ini lebih optimal dibanding sekarang.

Padahal zaman dulu beum begitu canggih dan beragam fasilitas komunikasinya. Justru di saat sekarang ini, grup social media begitu banyak, tapi justru potensi perantau dengan menlain komunikasi yang sudah ada pun kurang dimanfaatkan.

Elite politik di Sumbar tidak hanya sibuk mengusung jargon “Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK)". Menurut Buya, ungkapan ABS-SBK barulah punya makna manakala kantong-kantong kemiskinan bisa dibenahi secara sungguh-sungguh.

Saya terpaksa lompat dulu soal ABS-SBK ini. Sudah bukan ranah ilmu dan pengalaman saya lagi. Silakan dibahas oleh para pakarnya. Atau nanti kita cari narasumber yang tepat membahas ini. Kita lanjutkan ke yang lain saja, OK!

Nah, anggap saja ketiga hal itu semacam jeweran. Jeweran dari tokoh tua yang dirantau terhadap elite  politik di Sumbar yang lebih muda dari beliau. Tidak usah baper. Tidak usah dimasukkan ke hati. Jadikan itu sebagai sarana untuk memotivasi diri.

Bagi saya, kata elite politik tidak saja ditujukan ke legislatif. Tapi, juga ke eksekutif karena mereka juga berasal dari partai politik. Pokoknya ini saya anggap untuk ke semua elite politik di Sumbar di segala peran dan tanggung jawabnya saat ini.

Maka, ada 3 langkah penting yang harus segera dilakukan oleh para elite politik Sumbar

Pertama, fokuslah memantau indicator indeks pembangunan ini dengan update dari BPS yang jadi topik perhatian utama dari eksekutif dan legislatif. Pakailah data itu. Buatlah target yang SMART.

Kalau perlu yang lebih menantang lagi. Coba dengan pancangkan 3-5 kali lipatnya. Biar lebih semangat mengejarnya. Ingat, potensi Sumbar itu besar. Punya SDM dan SDA yang OK punya. Jangan sia-siakan itu. Jangan hanya dibuat jalan di tempat.

Kedua, pro-aktiflah mencari peluang pembangunan sampai ke pusat. Teman saya yang jurnalis itu sering menyebutnya ini dengan istilah “manjuluak”.

Elite politik Sumbar harus punya keahlian itu. Semacam keahlian aktif dalam berkomunikasi dengan Pusat dalam mendiskusikan peluang pembangunan untuk daerah Sumbar. Jangan aktifnya kalau jalan-jalan saja. Memikirkan nasib rakyatlah yang harus menjadi nomor satu.

JAMAN NOW, memperkenalkan Sumbar untuk menggaet investor luar atau asing, tidak harus berpikir untuk pergi datang langsung ke sana. Apalagi berombongan bawa ini dan itu. Malu. Zaman sudah sangat canggih. Pertemuan bisa dilakukan secara online dalam suatu platform. Persis seperti bagaimana Buya Maarif yang di Yogya diundang berbicara tanpa harus datang ke Sumbar. Pertemuan bisa lebih fokus dan jelas. Hemat biaya. Hemat uang negara. Hemat uang rakyat.

Orang yang didatangi juga tidak repot-repot untuk melayani basa-basi. Kecuali nanti kalau calon investor itu yang mau datang sendiri, ya baguslah! Itu yang dicari. Bisa melihat langsung potensi Sumbar. Jangan dilepas kalau sudah ada yang serius mau datang begitu. Harus sampai jadi!

Ketiga, tidak usahlah malu untuk menata-ulang pola komunikasi dan kerjasama antara rantau dengan ranah. Buatlah kerjasama dengan komunitas perantau yang tersebar di berbagai grup social media seperti WhattsApp. Aktiflah berperan dalam mengajak mereka memberikan masukan ataupun peluang berinvestasi di Sumbar. Jangan mereka hanya dijadikan obyek sesaat dalam hal politik/kampanye saja.

Ini ada contoh. Saya alami sendiri. Sebagai alumni penerima beasiswa dari Jerman, beberapa kali saya diundang ke sana yang diadakan di beberapa kampus di kota yang berbeda. Topik undangannya sesuai dengan bidang yang saya ambil yaitu Energi Terbarukan.

Dalam pertemuan alumni di kota tersebut, diselipkan sesi diskusi dengan anggota parlemen negara bagian.

Rata-rata yang ditampilkan adalah politisi yang memang pakar di bidangnya. Pakar energi terbarukan atau pakar masalah lingkungan. Energi terbarukan sangat dekat hubungannya dengan masalah lingkungan, tepatnya ke masalah pemanasan global. Mereka tidak bawa-bawa partai, atau sesuatu simbol partai asalnya. Walaupun di Jerman partai sangat sedikit dan mudah dihapal. Mereka hanya bawa institusi, sebagai legislator di negara bagian.

Oleh karena kami orang asing, diskusi lebih banyak bagaimana politisi dan kami membahas bagaimana kenijakan energi, khususna energy terbarukan di Jerman dalam mewujudkan energi di masa depan yang rendah karbon. Ramah lingkungan.

Cara ini mungin juga perlu dipakai oleh politisi Sumbar untuk menjelaskan ke tamu tentang apa yang mereka kerjakan dalam hal kebijakan daerah sesuai dengan topik si tamu tersebut.

Terakhir, camkanlah 3 hal yang sudah disampaikan oleh Buya Maarif tersebut. Jangan pernah sudah menjalankan ABS-SBK kalau potensi Sumbar yang besar itu belum mampu membuat rakyatnya benar-benar sejahtera.

***

Penulis: Erkata Yandri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun