Kedua, kekakuan dalam mememainkan diplomasi kepada pemerintah pusat. Ketiga, kurangnya membina hubungan kerja sama dengan tokoh Minang antara yang di ranah dengan yang di rantau.
Saya yakin, mungkin ada sebagian dari kita yang bertanya dalam hati. Begini, “Apa benar itu seperti yang dijewer oleh Buya Maarif?” Saya belum berani memberikan jawabannya. Justru, saya ingin mengajak anda untuk mencari jawabannya. Untuk itu, mari kita ulas satu persatu dengan jernih.
Pertama, mengenai pembangunan di Sumbar yang menurutnya jauh ketinggalan dibandingkan daerah lain yang diperparah lagi oleh dampak Covid-19. Sehingga, kantong-kantong kemiskinan semakin bertambah.
Kalau sudah urusan indikator pembangunan begini, tampaknya kita harus mampir ke lapaknya BPS (Biro Pusat Statistik). Bisa kita intip sebentar ke lokasi gudang data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut Propinsi untuk globalnya, atau secara khusus di Laju Pertumbuhan Produk Domestik (LPPD) maupun langsung saja ke TKP di Persentase Penduduk Miskin (PPM) menurut Provinsi.
IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Diperkenalkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan Human Development Report (HDR).
Kalau diperhatikan, memang secara statitistik angka-angka IPM meningkat dari tahun ke tahun. Posisinya masih sedikit di atas rata-rata nasional yang 72%. Sama halnya dengan LPPD dan PPM yang secara data juga ada kemajuan.
Mungkin, bagi Buya, angka pencapaian itu tidak sesuai dengan potensi SDA dan SDM yang dimiliki Sumbar. Potensi besar, tapi hasilnya tidak memadai. Seharusnya, angka-angka itu bisa jauh di atas itu.
Respons para perantau yang sudah lama tidak pulang melihat pembangunan Sumbar, baik fisik maupun mental spiritual, begitu juga dengan yang sudah lama di Sumbar. Jawaban kedua pihak ini hampir sama. Tidak banyak perubahan yang siginifikan. Masih co itu se wak caliak.
Kedua, mengenai kekakuan dalam memainkan diplomasi kepada pemerintah pusat. Kekakuan dalam bersikap hanya punya satu risiko, daerah akan semakin telantar dalam proses pembangunan yang sangat diperlukan rakyat kecil yang nafasnya masih terengah-engah di lingkungan orang kaya yang tidak peduli.
Malah, Sumbar kalah dalam merayu pusat untuk mewujudkan proyek pembangunan besar di daerahnya. Diplomasi Sumbar kalah jauh disbanding Lampung, NTT dan juga Kepri.
Lampung akan membangun kawasan pariwisata terintegrasi Pelabuhan Bakauheni seluas 200 hektare. Tahun 2021 ini mulai dibangunnya. Anggarannya mencapai Rp800 miliar.