Berdasarkan pemeringkatan yang dilakukan oleh QS World University Rankings (QS), Times Higher Education (THE), Centre for World University Rankings (CWUR), Academic Ranking of World Universities (ARWU) sampai akhir 2020 ini, China dan Jepang bersaing ketat dalam universitas top se-Asia, disusul Singapura dan Malaysia. Sementara itu, kampus di Indonesia baru muncul setelah kampus di negara di atas beberapa kali muncul.
Secara umum, keempat badan tersebut menggunakan indikator yang meliputi reputasi akademik dan lulusan, jaringan penelitian internasional, publikasi ilmiah dan sitasi, program internasional dan mahasiswa asing, kualifikasi staf pengajar, dsb. Semuanya memberikan bobot yang berbeda satu sama lain untuk masing-masing indikator.
Mengapa mereka bisa? Apakah jawabannya “akreditasi”?
Singapura mempunyai berbagai badan akreditasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan mulai dari tingkat pra-sekolah hingga universitas.
Badan akreditasi ini menetapkan parameter yang ketat untuk memastikan bahwa kualitas pendidikan di Singapura adalah salah satu yang terbaik di dunia.
Malaysia mempunyai SETARA dan MyQuest, yang menggunakan metodologi komprehensif dan ketat untuk menilai kualitas lembaga pendidikan.
Kedua lembaga itu tidak memberikan peringkat, melainkan penilaian kualitas yang lebih rinci setelah diinspeksi oleh auditor.
Sementara itu, China mempunyai Higher Education Evaluation Center (HEEC), badan publik di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Cina.
HEEC mempunyai otoritas untuk penjaminan mutu pendidikan tinggi, dengan memberikan evaluasi berjenjang, akreditasi, pemantauan kualitas pendidikan reguler dan layanan konsultasi secara nasional.
Jepang mempunyai Japan University Accreditation Association (JUAA), sebuah organisasi sukarela lembaga pendidikan tinggi yang mencontoh model akreditasi AS dengan misi untuk mempromosikan peningkatan kualitas institusi pendidikan tinggi di Jepang.
Bagaimana dengan Indonesia?
Ada 9 fokus kriteria penilaian yang mencakup komitmen perguruan tinggi terhadap kapasitas institusi dan keefektifan pendidikan, yaitu:
- Visi, misi, tujuan, dan strategi
- Tata pamong, tata kelola, dan kerja sama
- Mahasiswa
- Sumber daya manusia
- Keuangan, sarana dan prasarana
- Pendidikan
- Penelitian
- Pengabdian kepada masyarakat
- Luaran dan capaian tridharma
Pertanyaannya, mengapa kampus di negara tadi mencuat ranking internasionalnya bahkan jauh melebihi kampus yang paling disegani di tanah air sekali pun, padahal sistem akreditasinya mungkin tidak se-komprehensif Indonesia?
Lalu, apa masalahnya? Dan bagaimana solusinya?
Sebenarnya, sistem akreditasi yang ada di negara kita sudah cukup bagus, yang mana instrumen pengukuran dan panduannya juga juga sudah jelas.
Prosesnya dimulai dari evaluasi internal, dengan menyiapkan bukti untuk dievaluasi pihak eksternal, kemudian hasilnya dengan rekomendasi serta bantuan perbaikan. Cuma masalahnya, proses penjaminan mutu ini tidak berjalan dengan mulus.
Selain itu, sistem akreditasi tersebut menyerap banyak sekali sumber daya, baik waktu, biaya, dan manusia, yang seharusnya bisa diberdayakan untuk menjadi hal-hal yang lebih produktif. Sebagai contoh, umumnya waktu habis hanya untuk mencari dan menyiapkan berkas dan data dengan melibatkan orang-orang tertentu.
Untuk mengejar prestasi yang sejajar bahkan melebihi tetangga di ASEAN bahkan asia juga dunia, sebenarnya tidak perlu lagi memasang strategi canggih ini dan itu. Cukup hanya fokus dengan apa yang sudah ada. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, antara lain sebagai berikut:
Pertama, bagaimana mensinkronisasi indikator kinerja dengan sistem ranking internasional. Sebenarnya, indikator yang dipakai oleh keempat lembaga tadi sudah ada dalam sistem akreditasi di negara kita.
Di era online sekarang ini, bagaimana segala instrument pengukuran yang ada itu sedapat mungkin disesuaikan dengan indikator mengacu secara internasional.
Sebut saja itu semua semacam key performance indicator (KPI = indikator kinerja utama). KPI ini yang harus diturunkan dari level tertinggi negara, institusi, sampai ke program studi.
Memang, untuk mengakomodir KPI tersebut, datanya bisa berasal dari sumber online yang sudah ada yang dimiliki oleh Kemendikbud atau Kemenristek/Brin, seperti SINTA, dsb. Sementara, data pendukung lainnya bisa didapatkan dari lembaga publikasi dan sistem indeksasi yang sudah diakui dunia.
Kalau kita ingin mengejar dengan cepat dan cerdas, maka kata kunci penting dari semua indikator tersebut adalah ”jaringan kerja sama internasional” dengan multi-aktivitas, termasuk riset, publikasi, pertukaran staff/mahasiswa, dsb. Itulah yang paling cepat dilakukan. Jangan berhenti sampai tanda-tangan MOU saja.
Kedua, bagaimana mengevaluasi atau mengakreditasi secara online dan terbuka. Hal ini seharusnya menjadi lebih mudah dan cepat karena KPI sudah ditayangkan secara real-time dalam bentuk dashboard di suatu portal tertentu yang harus dikendalikan penuh oleh Kemendikbud dan Kemenristek/BRIN.
Artinya, hal itu sudah seperti semua orang memantau pergerakan naik-turunnya harga saham sebagai nilai indeks kinerjanya suatu institusi pendidikan tinggi.
Tentu, rankingnya sangat dinamis naik-turun sesuai indeks kinerja saat itu juga. Tidak ada lagi biaya ini dan itu khusus untuk urusan akreditasi. Hemat dari segi waktu, biaya dan tenaga.
Tentunya bisa jadi lebih rileks karena tidak ada lagi kasak-kusuk menjelang hari akreditasi. Dengan melihat dashboard, stakeholder cepat mengetahui permasalahan, terusik dan mau action untuk segera mengangkat indeks itu lagi dengan action plan yang jelas.
Tenaga ahli yang sudah ada bisa didayagunakan sebagai konsultan, mentor, atau pun champion dalam membantu institusi lain untuk mengangkat kinerjanya.
Siapkah kampus di Indonesia berpacu mengejar prestasi internasionalnya?
Jawabannya sangat tergantung dari seberapa kreatif, agresif, produktif, dan efektifnya kita mengambil esensi akreditasi dalam menghadapi persaingan global yang semakin ketat di era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 ini.
Semoga tidak ada lagi yang mempertayakan seberapa kusam wajah kampus kita. Untuk itu, mari kita tunggu gebrakan selanjutnya dari Mas Menteri Nadiem dan Prof Bambang Brodjonegoro dalam momentum tahun 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H