Nah, Sumbar mana itu wisata kaki-limanya? Rasanya saya belum pernah dengar. Teman-teman saya yang di WAG Chiex-Thiego itu pun katanya juga belum pernah dengar. Kalau di Jakarta ya ada. Kami semua sepakat memang ada. Jalan Jaksa, contohnya.
Di negara maju sekalipun, kawasan kaki lima memang menjadi objek wisata yang cukup menjual. Ramai dan maju. Tertata dengan rapi. Punya standard tertentu. Contoh yang paling dekat, Bugis Street di Singapura. Begitu juga di Thailand, bahkan non-stopn24 jam. Jepang juga ada yang begitu. Coba lebih jauh lagi ke Rusia. Tepatnya ke tengah Kota Moscow. Ada Arbatlama namanya. Catat ya, itu kaki-lima juga!
Sekarang, mari kita analisa pengembangan sebuah kawasan wisata. Lembah Harau contohnya! Keindahan alam Lembah Harau sudah dicemari oleh bangunan Korea-korean dan Eropa-eropaan. Lembah Harau dijadikan saja latar-belakang. Dibangun oleh pihak swasta. Ini merugi besar untuk jangka.panjang. Orang lekas bosan.
Padahal alamnya sangat bagus dan indah tanpa perlu tambahan macam-macam buatan manusia. Semestinya dipertahankan keasliannya. Kalau mau membuat kampung-kampung asing kan bisa di tempat lain yang lapang areanya. Tidak mengorbankan lokasi wisata alam yang sudah terkenal sejak jaman dulu kala. Berarti sasarannya untuk pasar dalam negeri.
Bukan untuk turis asing. Pihak swasta yang kelola ini nampaknya konsep yang dipakai untuk jangka pendek saja. Bagaimana cepat dapat untung lumayan, modal lekas kembali. Kebetulan dilihatnya peluang “pitih masuak” dari masyarakat kita yang luar negeri-minded. Bisa berselfi-ria di kampung sana. Tentu jadi lain ceritanya kalau Lembah Harau ini ditargetkab ke wisman dan wisnu,
Kedua; tidak serius dalam mengedukasi masyarakat dalam membudayakan ketertiban, kebersihan, dan kesopanan. Terutama di kawasan wisata. Masih ingat dengan kejadian Da Edi (sekedar panggilan untuk Mahyeldi supaya lebih akrab dan dekat) pernah tertibkan sambil maraton pagi di Pantai Padang kena pacaruik oleh emak-emak? Padahal sudah ditegur baik-baik. Bukan dilarang berjualan. Ini bukan masalah pendidikan, tetapi lebih ke agama.
Contohnyo, bisakah pedagang yang berjualan di tempat wisata ditertibkan? Ditatalah kedainya. Dibuat berjejer rapi. Cantumkan harganya. Jangan sampai “main pakuak”, pengunjung seperti dijadikan mangsa.
Orang sekali saja datang ke sana karena kecewa. Budaya kareh angok dan susah diatur ini yang perlu dihilangkan. Butuh keberanian untuk mengedukasinya. Ini per-er serius. Jangan dianggap remeh. Belum lagi tukang-tukamg palak yang main bagak di kawasan wisata. Juga toilet pengunjung yang jauh dari standard kebersihan dan kenyamanan.
Kesiapan pengelolaan di tataran lapangan, yang tidak pernah disiapkan. Katanya masyarakat Sumbar sangat ramah dan melayaninya tamunya. Pada derajat tertentu, cara pandang pengelolaan pariwisata kita masih lugu. Mindsetnya wisatanya masih seperti kebun binatang. Tempat binatang dikerangkeng dan ditonton ramai-ramai.
Ketiga; tidak ada yang baru dan memberikan sensasi “wah” dalam pariwisata. Apakah memang ada yang terbaru? Kalau pun ada, efeknya tidak begitu terasa. Semua yang disalahkan investasi. Tidak ada strategi investasi untuk mengembangkan tujuan/item wisata yang baru. Membuka pintu untuk orang lain masuk juga tidak rela. Menggarap sendiri juga tidak siap.
Jadi, maunya apa? Sementara yang mau makan tambah banyak. Karena tidak banyak mesin-mesin ekonomi yang hidup. Karena potensinya tidak digali. Jadi, yang ada ya itu itu saja dari dulu. Apakah karena kekurangan SDM? Akibat dari lebih enak merantau? Selama ini Sumbar meyakini, merantau itu budaya. Jangan karena faktor daerah sendiri yang tidak bersahabat dan tidak dapat diharapkan. Merantau itu budaya.