Mulai hari ini Wings Air layani penerbangan langsung Padang – Gunung Sitoli”. Itulah judul dari sebuah tautan berita yang diposting oleh teman saya yang jurnalis itu. Lalu, dia siram minyaknya begini, “Padahal, ada 2 Bandara di Mentawai, Rokot dan Minas, tapi penerbangan dari Padang justru ke Gunung Sitoli”.
“Saya langsung "googling". Sampai capek obok-obok sambil "berselancar". Tidak ada info flight ke sana. Kesimpulannya, mungkin dulunya sempat ada. Tetapi sekarang sepertinya terganggu, atau bahkan terhenti. Entah kenapa?
Semua teman saya mulai membuka dan membaca tautan itu. Seketika, grup WA Chiex Thiego SMA 1 Padang langsung ramai. Yang punya café. Yang punya pabrik bahan bangunan. Yang lagi istirahat praktek dokter. Yang lagi fokus dengan toko online. Yang dipanggil "bu prof". Semua langsung bereaksi. “Semua is typing .…”
Mentawai yang sudah dikenal oleh dunia, dicuekin. Padahal, banyak turis mancanegara dari Eropa dan Australia, bela-belain datang khusus ke Mentawai, hanya untuk bersilancar. Kurang apanya Mentawai dibanding Nias? Memang Nias punya Lompat Batu. Tapi, Mentawai kan punya ciri khas dan keunikan lain juga.
Dari budayanya yang tradisional, seperti makan sagu, berburu, dsb, sampai ke keindahan alam termasuk ombak dan pantainya. Salah satu ombak terbaik di dunia ada di Mentawai. Ini suatu tamparan serius untuk sektor pariwisata Sumbar.
Pariwisata Sumbar bukan Mentawai saja. Baiklah. Anggap saja dicuekinnya Mentawai sebagai salah satu contoh nyata saja. Lantas yang lainnya bagaimana? Ya, sama saja!
Dengan potensi alam dan budaya luar biasa yang dimilikinya, mengapa wisata Sumbar belum bisa sehebat wisata di propinsi lain, seperti Bali? Kenapa pariwisata belum menjadi andalan dalam menggerakkan ekonomi Sumbar? Atau, mengapa Sumbar belum berani menjadikan pariwisata sebagai primadona?
Sederhana saja, itu semua karana potensi wisatanya yang tidak dikembangkan. Punya potensi wisata yang besar, tapi bingung mau diapakan. Paling tidak, ada 2 hal penyebabnya.
Pertama; tidak punya visi bagaimana menjual produk wisata. Pariwisata Sumbar ya begitu-begitu saja dari dulu. Tidak ada yang berubah. Semuanya diserahkan ke pasar tanpa dikonsepkan dengan jelas. Buat sana, buat sini.
Bangun sana, bangun sini. Yang penting ada yang dibangun. “Saya sudah kerja dan buktikan bisa membangun. Terserah, apa nanti bisa dijual atau tidak ntar saja urusan pihak lain”. Ini mau dijual ke siapa? Wisatawan Mancanegara (wisman)? Wisatawan nusantara (wisnu)? Jualan paket atau parsial?
Apa tidak panas kuping nanti, kita orang Minang dibilang hanya bisa berjualan pakaian di kaki-lima saja? Kalau untuk berjualan obyek wisata “berdasi” kayaknya belum mampu. Kelasnya kita mungkin jagoan dagang wisata kaki lima. Atau, coba diubah teksnya jadi begini! Jualan wisata ala kaki-lima mungkin Sumbar bisa maju. Apa benar begitu? Oke-lah! Kita bahas soal kaki-lima ini sekarang ya. Setuju dulu dengan yang ini; “Semua negara ada kawasan wisata kaki-lima”.