Mohon tunggu...
Erkata Yandri
Erkata Yandri Mohon Tunggu... Konsultan - Praktisi di bidang Management Productivity-Industry, peneliti Pusat Kajian Energi dan pengajar bidang Efisiensi Energi dan Energi Terbarukan pada Sekolah Pascasarjana, Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada, Jakarta.

Memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun sebagai Manajemen Productivity-Industry dan Energy sebagai Technical Services Specialist dengan menangani berbagai jenis industri di negara ASEAN, termasuk Indonesia dan juga Taiwan. Pernah mendapatkan training manajemen dan efisiensi energi di Amerika Serikat dan beasiswa di bidang energi terbarukan ke universitas di Jerman dan Jepang. Terakhir mengikuti Green Finance Program dari Jerman dan lulus sebagai Green Finance Specialist (GFS) dari RENAC dan juga lulus berbagai training yang diberikan oleh International Energy Agency (IEA). Juga aktif sebagai penulis opini tentang manajemen dan kebijakan energi di beberapa media nasional, juga berhasil mempublikasikan hasil penelitiannya tentang efisiensi energi dan energi terbarukan di berbagai jurnal internasional bereputasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Seberapa Kusamkah Wajah Kampus Kita? Sebuah Ulasan untuk Topik Utama Majalah Tempo Edisi 30 Januari 2021

7 Februari 2021   10:35 Diperbarui: 26 September 2021   23:24 1500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu, jurnal abal-abal itu apa sih? Nah, inilah perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Bisa saja jurnal tersebut tidak diindeks oleh Scopus. Atau, mungkin saja jurnal tersebut tadinya sempat bagus. Sehingga bisa diindeks oleh Scopus. Tetapi, setelah itu proses manajemen publikasinya berantakan. 

Contoh. Topik yang dipublikasikan tidak sesuai dengan cakupan jurnalnya. Tidak melakukan proses evaluasi (review) yang benar. Fokusnya untuk mendapatkan biaya publikasi dari penulis. Dan, masih banyak lagi keburukan-keburukan lainnya. 

Akhirnya, pada evaluasi berikut tidak masuk dalam kriteria Scopus. Lalu Scopus membuangnya dari daftar indeksnya. Biasanya yang kena jurnal ini adalah penulis yang kurang awas. Tidak update. Tidak paham soal beginian. Tertipu oleh rayuan gombal yang ngaku-ngaku sebuah jurnal.  

Kedua; adanya sistem pemeringkatan (ranking system) yang dianggap sebagai ajang balap-balapan antar kampus, baik secara nasional maupun internasional. Ini kan bagus. Bisa jadi bahan evaluasi. Paling tidak, ada 4 badan pemeringkatan untuk universitas secara internasional. 

Ada QS World University Rankings (QS), Times Higher Education (THE), Centre for World University Rankings (CWUR), Academic Ranking of World Universities (ARWU). 

Secara umum, keempat badan tersebut menggunakan indikator yang meliputi; reputasi akademik dan lulusan, jaringan penelitian internasional, publikasi ilmiah dan sitasi, program internasional dan mahasiswa asing, kualifikasi staf pengajar, dsb. Semuanya memberikan bobot yang berbeda satu sama lain untuk masing-masing indicator. 

Nah, kita fokus ke publikasinya saja sekarang. Porsi publikasi internasional ini sangat besar dalam system peringkat universitas. Semakin top peringkat kampus, semakin dilirik kampus itu oleh calon mahasiswa atau calon lembaga lainnya dalam bentuk kerjasama, donasi, atau daya serap alumni. Ini tentu untuk kampus yang mandiri tanpa terlalu mengandalkan dana dari pemerintah bagi PTN, atau dari Yayasan bagi PTS.

Mengapa kampus di Indonesia seperti berlomba-lomba dalam publikasinya? Saya pikir, selagi kampus harus memenuhi biaya operasionalnya yang tidak sedikit, mau tidak mau kampus harus ikut “liga” kampus secara nasional maupun internasional. Tujuannya, agar mendapatkan peluang atau daya tarik seperti yang sudah saya jelaskan di atas. 

Maka, mau tidak mau masing-masing kampus harus menggenjot kinerjanya agar terlihat kinclong. Ini secara tidak langsung sudah melibatkan kampus masuk ke dalam “liga” tadi. Konsekuensinya adalah “posisi”. 

Untuk itu, salah satu caranya adalah dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas riset. Hasilnya, paling tidak bisa membuktikan sudah ada yang sampai di muara publikasi. Untuk itu, ada beberapa solusi yang harus dilakukan oleh kampus agar tidak kusam, bahkan semakin kinclong: 

Pertama; melakukan evaluasi diri terkait dengan publikasi. Ada beberapa tahapan. Pemetaan (mapping) kemampuan publikasi dengan topik riset dan semua staff yang ada di kampus. Kemudian, mapping jurnal tujuan sesuai dengan mapping skill yang ada. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun