Mohon tunggu...
Rikrik S
Rikrik S Mohon Tunggu... -

Inventor 'Buku Pintar'. Mencintai segala perkara yang beraroma klasik. Sekongkolannya Wiro Sableng :D XD. Author of "Tukinem Biduan Pantura". Gabung kompasiana buat memperbanyak kawan ;). Tuan rumah atas blog berikut rikrikes.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perihal Pengasingan Diri

15 Juni 2017   04:13 Diperbarui: 15 Juni 2017   04:43 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tuhan menciptakan manusia bukan untuk suatu kesia-siaan. Terlampau banyak peranan manusia di muka bumi, yang mesti kita hitung satu per satu. Terlepas itu peranan yang menguntungkan atau... membinasakan.


Kita semua mafhum, secara garis besar manusia ditakdirkan atas dua peran. Pertama, mengemban misi sebagai makhluk sosial. Dan terakhir, makhluk yang diciptakan atas dasar fitrahnya sebagai hamba yang lemah. Baik poin awal maupun poin akhir, semuanya sama-sama kehendak Tuhan. Di posisi semacam ini, mungkin kamu akan bilang, "sebenar-benarnya manusia, ialah mereka yang sami'na wa atho'na terhadap Khaliq-nya sendiri." Ok, deal. Saya sepakat.


Lanjut.

Terlepas dari segala hal yang terkait dengan basa-basi tak jelas saya, sebenarnya saya ingin mengerucutkan manusia dalam koridor sosial saja. Usahlah bahas soal fitrah manusia itu sendiri, biar saja itu jadi jatah para 'alim ulama. Takut nantinya saya keseleo lidah terlalu jauh.


Jadi begini. Agaknya, sering dari kita semua, yang mengalami fenomena nyinyir dan gosip tiada berujung. Padahal... kebanyakan omongan orang di luar sana, secara mayoritas, bukanlah perkara yang patut untuk didengar terlampau serius. Manusia yang menghabiskan banyak waktunya untuk bergaul di sekitaran rumah, biasanya akan mendapati kupingnya tak luput dari perkara nggosip. Kamu sebagai ahli sosiolog bilang, kalau fenomena semacam ini, seringkali disebut sebagai kecemburuan sosial. Wajar dan akan selalu ada.


Parahnya, nyinyir dan gosip akan berhembus semakin kencang, tatkala itu menimpa orang yang tidak intens bergaul di lingkungan sekitar rumah. Biasanya si empunya rumah akan dicap sombong, arogan atau label-label serupa, yang menjurus pada julukan-julukan garihal. .


Menurut hemat saya, bolehlah pikiran kita agak dibuka sedikit. Karena ada beberapa faktor yang menjadikan manusia, menyukai pengasingan. Berikut faktor-faktor yang saya maksud:


1. Perkara Waktu yang Tak Memungkinkan

Banyak orang di luar yang mendedikasikan hidup untuk sebuah profesi. Terlepas itu profesi yang bergengsi atau sebaliknya. Kebanyakan dari mereka biasanya cukup ulet untuk menjalani pekerjaan yang ada. Secara normal jam kerja biasanya ada di kisaran 7 -- 8 jam.


Entah itu sudah termasuk jam istirahat atau tidak sama sekali. Di luar itu, bila pekerjaan lain ditambahkan untuk menambah jam kerja, kamu tahu sendiri, kalau yang demikian lembur namanya. Sudah jadi rahasia umum, jam lembur biasanya menyita banyak waktu.


Karena alasan pekerjaan itulah, biasanya seseorang akan menghabiskan banyak waktunya di tempat kerja. Kalaulah orang itu pulang, boro-boro ia bisa bergaul dengan lingkungan sekitar. Wong energinya saja sudah habis dikuras sebelum ia sampai di rumah. Mau bagaimana?


2. Menjaga Fokus

Ini biasanya banyak terjadi untuk mereka yang menjalani pekerjaan sebagai freelancer. Bahasa sederhananya, pekerja lepas. Pekerjaan semacam ini menuntut kreatifitas dan fokus yang tinggi. Kalau seorang freelancer sedang cari-cari inspirasi, bisa saja ia keluyuran ke luar rumah, ngobrol ngalor-ngidul dengan banyak orang yang ia temui. Tapi kalau sebaliknya, ketika ia mebutuhkan fokus, ia akan memusatkan segala pikirannya terhadap pekerjaan.


Fokus ialah memusatkan konsentrasi terhadap tujuan yang ada. Kalau ia seorang pengarang, tentu ia akan memusatkan pikirannya terhadap hal-hal yang berhubungan dengan ide, plot, penokohan, dan serentetan istilah sastra lainnya. Lalu, kalaulah ia seorang desainer, ia akan memusatkan pula pikirannya terhadap apa yang dinamakan estetika, pewarnaan, dsb. Intinya, untuk fokus, seseorang menginginkan dirinya tidak mau diganggu. Inilah yang mendasari ia tidak mau bergaul, dengan para penggosip di luar sana. Ia benar-benar membutuhkan pengasingan.


3. Harmoni Hidup yang Tak Mau Diganggu

Indonesia sebenarnya tidak begitu mengenal budaya individualis dan kebutuhan privasi yang sifatnya benar-benar akut. Semua didasarkan pada adat moyang kita, yang menjunjung tinggi nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan. Tak mengherankan, kalau kita sebagi trah nusantara, seringkali dicap sebagai orang yang ramah dan menyukai keterbukaan. Kendati memasuki abad sekarang, nilai-nilai tersebut perlahan luntur.


Ketika penguasa orba memusatkan modernitas dan pemerintahan secara terpusat, budaya urban mulai marak. Demi menimbulkan branding yang benar-benar kuat, ibu kota negara dirias sedemikian rupa. Kunjungan-kunjungan kenegaraan sedikit banyak juga mempengaruhi gaya hidup para pejabat kenegaraan itu sendiri. Lambat namun pasti, gaya hidup modernitas menjalar hingga ke kalangan sipil. Penduduk urban yang mulai mapan, mulai mengenal pula, mengenai apa yang dinamakan privasi.


Mereka seringkali dianggap dedengkot di kalangan awam. Kalau kebetulan lingkungan sekitarnya menggelar acara-acara tertentu, orang-orang dari golongan ini akan hadir dengan sewajarnya. Selebihnya, demi menjaga nama di mata masyarakat, mereka biasanya tidak akan segan untuk menyumbangkan materi. Sedang dalam pergaulan sehari-hari, mereka cenderung tidak mau diganggu. Mereka ingin menikmati hidup, menyekolahkan anak, dan bersenggama... tanpa mesti diintip orang :) 


4. Mental yang Lemah

Seringkali terngiang-ngiang di telinga, kalau hukuman paling berat, bukanlah hukuman serupa jeruji penjara atau tiang gantungan. Orang bijak bilang, hukuman yang paling berat ialah hukuman masyarakat. Hukuman semacam ini, acapkali tidak berlabel dengan jelas di atas jidat seseorang. Tapi dampaknya, akan terasa dalam jangka waktu yang tidak menentu. Cenderung abadi. Bahkan, hukuman semacam ini, bisa-bisanya menjalar terhadap anak cucu si orang yang punya perbuatan. Menyedihkan memang.


Terlepas kamu mau setuju atau tidak, fenomena semacam ini memang nyata. Pembunuhan karakter jauh lebih menyakitkan dan berdampak, ketimbang penolakan cinta, yang acapkali dirasakan si darah muda.


Seorang remaja yang punya trah bromo corah, biasanya akan mendapati dirinya menjadi korban fitnah, jika masyarakat kadung dibikin resah oleh hal-hal yang tidak diinginkan. Lebih-lebih, jika semua itu terpaut dengan perkara hilangnya harta benda milik orang. Sesuci apapun seorang perempuan, ia akan senantiasa digoda banyak pria, kalaulah ibunya dulu, punya julukan tiada senonoh. Namun apa lacur? Memang begitu aturan main di dunia. Orang saling tuding menuding, demi segala hal yang memang patut dipergunjingkan. Anjing!


Orang yang mendapati dirinya kuat secara mental. Ia akan menghadapi itu semua dengan ketenangan yang mantap. Alih-alih memikirkan fitnah orang, bisa-bisanya mungkin, kalau keturunan bromo corah akan segera membalaskan sakit hatinya, lewat jalur yang sama bejatnya dengan jalur yang diambil orang tuanya dulu. Anak gundik akan membalaskan itu semua, dengan cara memposisikan dirinya di status selevel mucikari. Orang-orang Semitik trah Ibrani, mereka akan membalaskan pengusiran dunia atas bangsanya, lewat jalur penantian yang teramat sabar terhadap seorang Mesiah. Selebihnya, banyak pula contoh lain yang jauh lebih beradab. Semisal anak garong yang jadi mu'adzin. Atau mungkin, anak koruptor yang kadung ada dalam naungan Illahiah.


Nyatanya, orang bermental kuat senantiasa berjumlah sedikit, ketimbang orang yang bermental icikiwir. Mau bukti? Silahkan kamu hitung saja, berapa persentase orang yang berhasil di tiap kelurahan. Atau mungkin, berapa persentase mereka yang hatinya benar-benar bersorban, ketimbang tukang nggosip di luar sana. Dan bagi mereka yang trahnya ada dalam hukuman masyarakat, sedang mentalnya sendiri terlampau lemah, maka pengasingan diri ialah jawaban atas itu semua.


5. Rasa Sombong yang Akut

Kalau kamu naksir seorang cewek yang ada di lingkungan sekitar rumah, sedang dalam pergaulan ia tidak begitu terlihat supel dan terbuka, dan keempat faktor sebelumnya kamu anggap meragukan. Boleh jadi, ia masuk dalam kategori yang satu ini. Kuat kemungkinan, orangtuanya mendoktrin ia dengan paham-paham 'mencintai diri sendiri'. Ialah perpanjangan lidah dari seorang Nietszhe, yang menjadikan dirinya sebagai 'aku atas segala hal'.


Lepas dari itu semua, definisi sombong sebenarnya relatif sulit buat digambarkan dan diterjemahkan. Maklum saja, otak saya saat ini belum sampai ke titik definisi yang membahas perkara arogansi dan kawan-kawan sejawatnya. Kalau kamu punya terjemahan yang efektif mengenai definisi tersebut, saya dengan senang hati akan mendengarkan. Welcome.


Namun begini, coba kamu perhatikan. Adakah orang yang dicap masyarakat sebagai arogan akut itu, sudi mengobrol hangat dengan penunggang Lambo? Kemudian, adakah ia bermuka dingin saat disapa penjual daging celeng? Jika ya, selamat! Berarti sangkaanmu selama ini benar. Pengasingan dirinya, tak lebih dari sekedar pembuktian terhadap lingkungan sekitar. Kalau ia lebih suka memaknai hidupnya, sebagai 'aku atas segala hal'.

-------------------

PS: Persepsi paling akhir akan sedikit meragukan, kalau orang tersebut sama-sama menaruh respect terhadap si penunggang mobil dan si penjual daging. Mungkin saja ia tidak sesombong yang dibayangkan orang. Pun saat seseorang berlagak sombong lewat tingkah dan omongan di hadapan orang yang angkuh. Ini tidak bisa disebut pula sombong sepenuhnya. (Dihalalkan sombong atas orang yang sombong, begitu kira-kira para ulama memberikan fatwanya).

Lebih-lebih agama bilang, letak kesombongan yang sebenarnya itu ada di dalam kalbu. Orang pakai sandal dan baju bagus belum tentu masuk kategori arogan, kalau di hatinya ia merasa biasa-biasa saja. Ini yang membuat saya bingung mendefinisikan kesombongan itu sendiri. Hingga juntrungannya, semua berujung pada pendekatan persepsi yang lain. Saya lebih memilih untuk mendefinisikan, kalau pengasingan diri tidak melulu dibentuk atas faktor arogansi. Sedang arogansi itu sendiri, sudah pasti jadi faktor penentu atas pengasingan diri. Semoga, persepsi saya ini membantu otak kita berputar agak lama. Wes, itu saja lah.

--------------------


09 Juni 2017.

Salam, Rikrik S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun