Orang yang mendapati dirinya kuat secara mental. Ia akan menghadapi itu semua dengan ketenangan yang mantap. Alih-alih memikirkan fitnah orang, bisa-bisanya mungkin, kalau keturunan bromo corah akan segera membalaskan sakit hatinya, lewat jalur yang sama bejatnya dengan jalur yang diambil orang tuanya dulu. Anak gundik akan membalaskan itu semua, dengan cara memposisikan dirinya di status selevel mucikari. Orang-orang Semitik trah Ibrani, mereka akan membalaskan pengusiran dunia atas bangsanya, lewat jalur penantian yang teramat sabar terhadap seorang Mesiah. Selebihnya, banyak pula contoh lain yang jauh lebih beradab. Semisal anak garong yang jadi mu'adzin. Atau mungkin, anak koruptor yang kadung ada dalam naungan Illahiah.
Nyatanya, orang bermental kuat senantiasa berjumlah sedikit, ketimbang orang yang bermental icikiwir. Mau bukti? Silahkan kamu hitung saja, berapa persentase orang yang berhasil di tiap kelurahan. Atau mungkin, berapa persentase mereka yang hatinya benar-benar bersorban, ketimbang tukang nggosip di luar sana. Dan bagi mereka yang trahnya ada dalam hukuman masyarakat, sedang mentalnya sendiri terlampau lemah, maka pengasingan diri ialah jawaban atas itu semua.
5. Rasa Sombong yang Akut
Kalau kamu naksir seorang cewek yang ada di lingkungan sekitar rumah, sedang dalam pergaulan ia tidak begitu terlihat supel dan terbuka, dan keempat faktor sebelumnya kamu anggap meragukan. Boleh jadi, ia masuk dalam kategori yang satu ini. Kuat kemungkinan, orangtuanya mendoktrin ia dengan paham-paham 'mencintai diri sendiri'. Ialah perpanjangan lidah dari seorang Nietszhe, yang menjadikan dirinya sebagai 'aku atas segala hal'.
Lepas dari itu semua, definisi sombong sebenarnya relatif sulit buat digambarkan dan diterjemahkan. Maklum saja, otak saya saat ini belum sampai ke titik definisi yang membahas perkara arogansi dan kawan-kawan sejawatnya. Kalau kamu punya terjemahan yang efektif mengenai definisi tersebut, saya dengan senang hati akan mendengarkan. Welcome.
Namun begini, coba kamu perhatikan. Adakah orang yang dicap masyarakat sebagai arogan akut itu, sudi mengobrol hangat dengan penunggang Lambo? Kemudian, adakah ia bermuka dingin saat disapa penjual daging celeng? Jika ya, selamat! Berarti sangkaanmu selama ini benar. Pengasingan dirinya, tak lebih dari sekedar pembuktian terhadap lingkungan sekitar. Kalau ia lebih suka memaknai hidupnya, sebagai 'aku atas segala hal'.
-------------------
PS: Persepsi paling akhir akan sedikit meragukan, kalau orang tersebut sama-sama menaruh respect terhadap si penunggang mobil dan si penjual daging. Mungkin saja ia tidak sesombong yang dibayangkan orang. Pun saat seseorang berlagak sombong lewat tingkah dan omongan di hadapan orang yang angkuh. Ini tidak bisa disebut pula sombong sepenuhnya. (Dihalalkan sombong atas orang yang sombong, begitu kira-kira para ulama memberikan fatwanya).
Lebih-lebih agama bilang, letak kesombongan yang sebenarnya itu ada di dalam kalbu. Orang pakai sandal dan baju bagus belum tentu masuk kategori arogan, kalau di hatinya ia merasa biasa-biasa saja. Ini yang membuat saya bingung mendefinisikan kesombongan itu sendiri. Hingga juntrungannya, semua berujung pada pendekatan persepsi yang lain. Saya lebih memilih untuk mendefinisikan, kalau pengasingan diri tidak melulu dibentuk atas faktor arogansi. Sedang arogansi itu sendiri, sudah pasti jadi faktor penentu atas pengasingan diri. Semoga, persepsi saya ini membantu otak kita berputar agak lama. Wes, itu saja lah.
--------------------
09 Juni 2017.