Jalan aspal yang mulus di kampungnya, akan lebih banyak dilalui kendaraan operasional perusahaan tambang ketimbang mobil pengangkut hasil pertanian dan perkebunan Gampong, Safriman berandai-andai.Â
Safriman benar-benar terenyuh hatinya. Ia tak ingin Pak Geuchik pasang badan dan harus menerima resiko penolakan tambang.Â
Empat atau lima tahun lalu, ia sempat kenal sejumlah aktivis di Banda Aceh yang kerap mengadvokasi masyarakat di Aceh. Mulai dari isu korban konflik, sengketa lahan sawit, masalah tambang dan lainnya. Tapi seingatnya, beberapa dari mereka telah jadi politisi. Ada yang telah jadi anggota dewan. Selain sudah sulit ditemui, hampir tak terdengar mereka bicara soal isu-isu yang sama. Sementara penggantinya, tak terdengar lagi seperti dulu.
Safriman merasa tak kuasa. Aksi massa bisa dihalau. Advokasi hukum, mereka merasa kehilangan pejuangnya. Lalu siapa yang sekarang berpihak pada kepentingan orang kampung? Pak Geuchik, jabatan kepala desa terlalu kecil untuk melawan kelindan kepentingan modal yang melakukan eksploitasi alam di kampungnya. Kampung Safriman, sama seperti beberapa wilayah lain di Indonesia, hanya menyisakan pilu dan derita yang tak bisa disuarakan.Â
"Mungkin nasib kita di gampong, bergantung pada tangan-tangan kuasa di Jakarta sana," sangka nya.Â
Jakarta, kota pusat pemerintahan yang yang berjarak jauh dari kantong-kantong derita dan ketidakadilan di penjuru negeri. Banyak suara yang tak sampai terdengar di sana. Suara pinggiran yang tak mampu menyeberang lautan untuk didengar di telinga aparatur pemerintahan. Suara anak bangsa yang berharap keadilan dari tangan-tangan pemimpin di ibukota negeri yang tak pernah sekalipun mereka sambangi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H